Mohon tunggu...
Meilinda Adharini
Meilinda Adharini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Magister Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mendefinisikan Ulang Desentralisasi Pasca Omnibus Law

13 Juni 2021   05:42 Diperbarui: 13 Juni 2021   06:03 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam konteks desentralisasi, terbentuknya Undang- Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law merupakan sebuah tantangan tersendiri. Dalam UU Cipta Kerja Pasal 17 yang mengatur beberapa ketentuan dalam UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ketentuan angka 5 pasal 10 menyebutkan bahwa wewenang Pemerintah Daerah Provinsi dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam penyelenggaraan penataan ruang, sedangkan di undang- undang sebelumnya yaitu UU Nomor 26 tahun 2007, ketentuan tersebut tidak ada. Hal ini menandakan bahwa, wewenang pemerintah daerah dalam pengelolaan penataan ruang harus sesuai dengan ketentuan dan arahan dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak memiliki otonomi untuk dapat mengembangkan pengelolaan penataan ruang di daerahnya. Dalam pengelolaan penataan ruang pemerintah daerah seolah-olah didikte oleh kewenangan dari pemerintah pusat, hal ini tentunya sangat mencederai konsep desentralisasi yang mana berdasarkan asas otonomi berupa penyerahan penuh kewenangan dalam mengelola sumber daya termasuk penataan ruang kepada pemerintah daerah beserta masyarakat. 

Selain itu, perbedaan antara UU Cipta Kerja dengan UU Nomor 26 tahun 2007 terkait penataan ruang terlihat jelas pada tidak dicantumkannya kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota dalam penataan ruang kawasan strategis pada UU Cipta Kerja. Jika dilihat kembali pada UU Nomor 26 tahun 2007 Pasal 10 dan 11, di sana menjelaskan terkait bagaimana kewenangan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/ kota dalam mengelola penataan ruang kawasan strategis. Hal tersebut tentunya mengarahkan perspektif publik bahwa, adanya UU Cipta Kerja ini tidak menginginkan adanya kawasan strategis yang dikelola oleh pemerintah daerah, dan tentunya akan mengurangi kewenangan dan produktivitas kinerja dari pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya alam yang berada di wilayahnya. 

Bukan hanya itu, dalam UU Cipta Kerja pasal 250 yang mana menyatakan bahwa Perda dan Perkada dilarang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang- undangan yang baik, asas materi muatan peraturan perundang- undangan, dan keputusan pengadilan (pasal 250 UU Nomor 11 tahun 2020). Hal tersebut tentunya bertentangan dengan konsep otonomi daerah di mana daerah memiliki otonomi atau wewenang tersendiri dalam membuat suatu kebijakan. Adanya pasal 250 terkait Pemerintah Daerah dalam UU Cipta Kerja menjelaskan kembalinya kekuasaan sentralisasi dengan ditariknya kembali wewenang pemerintah daerah dalam mengelola dan mengurus rumah tangganya sendiri. Menurut beberapa pakar hukum Universitas Gadjah Mada dalam Catatan Kritis Terhadap UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjelaskan bahwa konsep otonomi daerah membedakan antara Perda Delegasi dengan Perda Atribusi. Perda Delegasi adalah perda yang lahir dari pemberian, sedangkan Perda Atribusi adalah perda yang lahir dari kewenangan yang melekat selaku daerah otonom (Riyanto, Sigit. Maria Sumardjono. Dkk. 2020). 

Sayangnya Pasal 250 tidak begitu jelas dalam mendeskripsikan Perda Atribusi atau Perda Delegasi yang harus di kontrol oleh pemerintah pusat. Akan tetapi terlepas dari ketidakjelasan pasal tersebut, pasal 250 telah menggiring opini publik bahwa adanya UU Cipta Kerja memang penuh dengan kejanggalan terutama menyebabkan munculnya kembali sentralisasi dari pemerintah pusat yang mana melemahkan konsep desentralisasi. Selain itu adanya pengenaan sanksi yang tercantum dalam Pasal 252 UU Cipta Kerja yang ditujukan kepada penyelenggara pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/ kota yang masih memberlakukan Perda yang tidak sesuai dengan ketentuan pemerintah pusat. Adanya pengenaan sanksi ini dipandang sebagai alat pemerintah pusat dalam mengintervensi pemerintah daerah. Dari penjelasan di atas menandakan dengan adanya UU Omnibus Law, definisi atau pemaknaan desentralisasi di Indonesia tidaklah murni sesuai dengan konsep desentralisasi yang di dalamnya terdapat konsep New Public Service dan menjunjung tinggi otonomi daerah. Dengan ditetapkannya UU Omnibus Law konsep desentralisasi di Indonesia bukan berdasarkan asas otonomi daerah dan prinsip New Public Service akan tetapi lebih berorientasi kepada sentralisasi pemerintah pusat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun