Mentari, sang penguasa siang. Cahayanya berhamburan dan membakar tubuh sang bumi, dan sanggup menghanguskan belantara kehidupan. Perkasa! Kulit sang raja pun, sanggup dibakarnya.
Tetapi keperkasaannya tiada pernah ia pertahankan. Bukan hanya sekali atau sesekali, dia rela dan pasrah. Kepada awan, kepada senja dan kepada malam.
Kepada awan yang lembut, sang mentari rela terhisap dan redup cahanya. Entah di puncak gelora atau kapan saja ketika rinai sang hujan mulai mengintip dan mendung menaungi langit sang bumi.
Kepada senja dia rela terbius, lalu merunduk, ketika malam mulai merindu kuasa. Senja memeluknya dan menidurkannya di pangkuan gunung.
Kepada malam dia pasrah ditelan hidup-hidup, dalam prosesi persembahan sesajen sang senja kepada sang malam.Â
Mentari adalah lambang kekuasaan yang rendah hati, yang membiarkan dirinya ditaklukan awan, senja dan malam. Dia mati berkali-kali, dan bangkit berulang-ulang  bersama sang pagi.Â
Dia tahu, kuasanya bukan segalanya. Lihat, dia tersenyum bersama awan, senja dan malam yang menelannya. Dia tahu, seribu kali, awan, senja dan malam membungkus dan menelannya, sejuta kali, sang pagi akan menjemputnya. Bercumbu mesra dibalik gunung.
Engkau yang di istana keangkuhan. Adakah nuranimu mengalir darah kerelaan dan ragamu mampu merunduk? Seperti mentari kepada awan, senja dan malam?Â
Ziaralah kepada sang mentari. Â