Retorika Luka
Aku pergi, meninggalkan halaman tua tanpa mendengar teriakan. Satu teriakan dari suara tua yang meminta dipapah, kekasihku. Aku mengenang satu pundak renta yang tak lagi menjadi milikku, milik Tuhannya. Selembar potret tanpa bingkai melambai-lambai mengiringi sepoi angin sore. Kubawa serta sebagai penunjuk arah.
Aku telah jauh, tak ada kah yang mengantarku? Yang berlari keatas bukit guna menangkap jauh bayangan hilang direngut jarak. Jemari keriput saling menyatu, tertidur lugu berselimut tanah merah, dengan bunga-bunga sebagai atap rumahnya. Tak adakah yang menitip oleh-oleh kepadaku? Agar tak menjadi seseorang yang lupa pulang.
Barangkali detak-detak sayu kehilangan, hanya retorika sebuah luka. Akan tiba waktunya aku menjadi anaknya, yang pulang setelah lama hilang.Â
Surabaya, 24 Juli 2021