Mohon tunggu...
Lilin
Lilin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan

Perempuan penyuka sepi ini mulai senang membaca dan menulis semenjak pertama kali mengenal A,I,u,e,o

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan Kalideres

12 Juli 2021   21:54 Diperbarui: 12 Juli 2021   21:57 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada dua replika naga yang terbuat dari lampion berwarna-warni di tengah danau tepat di hadapanku sekarang. Danau buatan dengan air yang cukup jernih dan dua air mancur di kanan-kirinya. Semacam simbol kekuatan orang-orang besar di masa sekarang. Yang begitu megah dengan ornamen warna dan kegagahannya. Aku pastinya hanya berharap kekuatan dan kegagahan menulariku hingga lupa tentang persoalan hidup, hingar-bingar kehidupan, serta kekacauan ekonomi saat ini, di tanah air Indonesia yang katanya sudah merdeka sejak tujuh puluh lima tahun yang lalu. Mata kalian juga akan melihat wujud kegagahan dua naga tepat di hadapanku. Membuatku teringat bapak yang sedang duduk di balai-balai rumah kami masa lampau. Disruputnya teh panas buatanku untuk menambah ketenangannya sore itu. "Pantang pulang dalam kekalahan" kata itu selalu dia katakan untukku, kekasih setelah kekasih sejatinya, Ibuku.

Aroma rerumputan dan uap air mancur sampai ke hidungku. Seakan-akan menginginkan kuhirup dalam-dalam, di sinilah kekuatan alam yang mendukung dalam air itu membawaku ke puncak ingatan. Aku telah disangsikan sebagai seorang manusia, seorang perempuan, istri dan anak. Yang secara bersamaan kelemahan itu akan digilas oleh kaum pria. Aku benar-benar tidak menyukai ini, ketika aku melakukan perenungan dengan keadaan hening kian bertambah hening, seekor kupu-kupu yang terbang bebas hinggap di pundak kananku. Sungguh indah meskipun semua orang tahu seminggu atau sebulan lalu dia hanya sebuah kepompong, yang bisa saja hidupnya hanya akan sampai di situ. 

Jika engkau seorang penyair mungkin engkau bisa menggambarkan bagaimana rona wajahku dan kehidupan yang saat ini sedang kusaksikan.  Mungkin akan kau suarakan tangis-tangisan anak kecil yang terpaksa dirampas hak menyusu ibunya. Sedangkan dia masih belum bisa memegang  botol susu formula dengan tangan kecilnya yang belum tumbuh tulang. Aku benar-benar tidak menyukai keadaan ini. Kelak jika Tuhan memberiku hidup sekali lagi, akan kubangun rumah kecil dari kayu jati yang tak akan lapuk oleh waktu, dan sekelilingnya akan kubuatkan sungai dengan air jernih setelahnya kudirikan tembok dari beton tinggi-tinggi. Sehingga anak-anak dan kekasih hatiku tak mendapatkan pengaruh dari nasib buruk kehidupan ini. Biarkan sekali ini aku terus merenung dan tenang. 

Puluhan kilometer dari tempat ini, satu kawasan yang terkenal bau pesing dari kemaluan perempuan menjadi simbol kerajaan dari kesalahan masa lampau. Oh! Jika masa lampau itu adalah anjing pemangsa yang kelaparan seperti itulah dia akan menggonggong, mengejar dan ingin memangsa manusia kecil yang tak berdaya, bernama perempuan sepertiku. Gigi yang tajam serta cakarnya akan menembus daging,mengoyak-koyak kulitku. Sial sudah, entah mengapa pemikiran ini tak lekang dariku. Ini seperti diriku yang lain, yang ingin kusembunyikan di balik jubah kata-kata. Ini pula yang membuatku tak nyaman dalam menuliskan segala kuasa alam dan pikiran yang ingin ku puisikan. Aku hampir tak pernah lupa tentang kisah ini.

****

Si pemilik kawasan ini, nyai Senik. Ia adalah seorang perempuan empat puluh tahunan. Dengan perawakan sedikit gemol dan dandanan kebaya jarik mlipit menunjukan kewibawaannya di hadapan anak buahnya. Jadilah aku berdiri di antara anak buahnya. Menyaksikan dan menjadi korban kewibawaan, kasih sayang, dan kebengisan secara langsung dan berulang-ulang. Selama puluhan purnama penuh perlawanan. Para pekerja malam adalah perempuan-perempuan yang tidak berdaya tetapi selalu dipaksa untuk diberdayakan. Kerjasama yang tidak baik antara kecantikan dengan kemiskinan, membuat mereka benar-benar menjadi manusia kerdil yang bisu dan cacat harapan.

"Anjing!" Makian nyai Senik tepat di sebelahku, seorang Jawa tulen yang tak pernah bisa kusangka mampu mengeluarkan kata-kata itu. "Sudah kukatakan kalian semua untuk menebar rayuan dan perlakukan pelanggan sebaik mungkin tapi kalian seenaknya," teriak nyai Senik. "Berapa tamu yang kalian dapat malam ini? Apa kalian nggak mikir saat ini waktunya bayar pajak pemerintahan. Anjing tak berliur kalian ini!"

Kami hanya bisa terdiam dan tak berkata-kata. Karena bagaimanapun Krisis ekonomi di tahun 2008 ini begitu berdampak kepada seluruh perekonomian bangsa ini. Pastinya terhadap kantong pengusaha dan pejabat tamu-tamu kami. Apa peduli seorang Nyai Senik. Tak ada alasan apapun untuk kami, tak ada keadilan bagi kami. Keadilan bagi kami adalah imajinasi belaka. Ada nasib baik, jika seorang pengusaha atau pejabat yang membayar semua hutang-hutang tipu daya nyai Senik dan segala kebutuhan hidup selama di sini. Lalu membawa kami pergi untuk koleksi pribadi yang jika suatu hari nanti bosan dan dilepaskan. Bebas mau kemana dan melakukan apa saja. 

Seperti aku! Aku hanya salah satu yang beruntung dari ketidakberuntungan yang menaungi kehidupan ini. Tanpa sadar, aku berteriak parau yang entah tentang apa dan karena apa.

"Mengapa?" tanya seorang lelaki di sampingku, seorang pelukis yang kutahu beberapa waktu juga mulai kesepian menunggu peruntungan nasibnya di tempat ini. 

"Apanya? Tak ada yang menarik untuk diceritakan," jawabku sambil minum air mineral yang kuambil dari tangan pria itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun