Ingatanku terlempar ke masa lalu. Saat itu usia baru menginjak dua belas tahun dan akan lulus sekolah dasar. Mak mengandeng tanganku. Di bawah sinar mentari yang terik. Beberapa kali aku mengusap kening yang basah oleh keringat. Kami melalui jalan setapak pulang dari rumah kerabat. Perjalanan yang hampir dua kilo itu kami lalui dengan berjalan kaki. Kata mak uang ongkos ojek bisa dialihkan untuk biaya lainnya. Kami memang harus berhemat.
Ramadan bulan yang membawa arti istimewa bagi kami yang hidup susah. Bantuan sedekah dari orang sekeliling orang dan uang tabunganku telah terkumpul sedikit. Karena aku akan mendaftar ke sekolah tingkat menengah, uangnya masih kurang tiga ratus ribu lagi. Kedatangan kami berdua tadi pun ada alasannya. Sebagai janda mak hanya berdagang kue kecil-kecilan dan mengambil upah cuci dan setrika di beberapa rumah tetangga. Uang yang diperoleh biasanya cukup untuk kebutuhan kami berdua.
Mak berusaha meminjam uang, tetapi ditolak mentah-mentah oleh adik iparnya tersebut.
"Uang itu lebih manis dari gula,"Mak mengerutu.
Aku mengerutkan kening mencoba mencerna kalimat yang beliau ucapkan.
"Maksudnya, Mak?" tanyaku, karena otakku masih penasaran dan tak memahaminya.
"Nak, harta itu memang manis bisa mengubah seseorang baik fisik maupun sikapnya, mereka menikmati materi seakan meninggi, merasa berpunya dan kuasa, bertingkah layaknya raja yang baru punya singgasana, seperti pamanmu tadi,"jelas  mak.
Aku mulai paham apa yang dimaksud mak dan ingat akan hardikkan dan bentakkan kepada Mak tadi.
"Kalian, tak dapat medengar kami dapat rezeki, langsung menempel saja. Tak akan saya kasih pinjam. Pulang! sana, pulang! jangan ke sini lagi!" usirnya.
"Iya, Mas, suruh mereka pulang, ganggu orang tidur siang saja." Istrinya ikut menambahkan.