Mohon tunggu...
Megaskp
Megaskp Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Luka] Menjahit Rasa

10 November 2018   23:12 Diperbarui: 11 November 2018   00:09 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pic: thedailybeast.com

---

Satu bulan berlalu sejak kami mencoba untuk menyatukan perasaan kami berdua.

Abrian pria yang sangat menyenangkan. Setidaknya aku sudah mengetahuinya sejak dulu. Dia memberiku kebebasan untuk mengembangkan semua potensi yang kumiliki. Sayangnya lagi aku masih menganggapnya tak lebih dari pendengar setia, dan bukan sebagai pendamping jiwa apalagi untuk berbagi rasa.

Tak ada kenangan manis yang berarti. Semua berjalan hampa. Tak ada rindu yang membuat batin tersiksa, cuma tanya jawab yang terdengar sangat biasa. "Kamu lagi dimana, ngapain, sama siapa..?" Selalu seperti itu. Dan jawabannya pun selalu sama. Aku tak menikmatinya. Sungguh tak menikmatinya. Meski mencoba untuk membuat semuanya berjalan wajar.

---

Hati tetaplah hati. Yang tak pernah bisa menipu. Dua bulan, tiga bulan, hingga akhirnya "kalau kita menikah,apakah semua akan baik-baik saja...?" Tanya Abrian datar. Mendengarnya mengatakan itu jiwaku seolah meranggas, tak dapat merasakan perasaan yang lain selain amarah yang siap meluap. "Carilah orang lain..." Aku bergegas pergi meninggalkannya.


---

Semesta seolah ikut merasakan kegundahan hati yang tengah melanda. Langit menurunkan butiran air hujan dengan sangat derasnya. Kilauan kilat dan kerasnya suara petir seolah saling bersahutan berteriak "dasar bodoh...", "Dasar wanita keras kepala..", "dasar egois..." Dan masih umpatan lainnya seolah terdengar dan terngiang di telinga.

Percikan hujan yang terpercik ke wajah sesekali menyadarkan dimana aku berada saat itu. Gubuk tua yang menjual kopi pahit dan beberapa macam gorengan panas. Ditemani wanita separuh baya dengan mantel lusuhnya yang mencoba menghangatkan diri dengan memeluk dirinya sendiri.

"Wanita itu kalau jiwanya sudah terluka bisa lebih keras dari karang di pantai.." gumamnya tiba-tiba. Aku spontan menoleh padanya. "Bisa lebih tangguh dari kaum Adam." Katanya lagi. "Dan yang paling bahaya, bisa lupa pada usia." Aku terus memperhatikannya. Dia mengambil sebatang rokok kretek, membakarnya dengan beberapa kali menekan pemantik api di tangannya yang hitam dan kelihatan mulai keriput.

"Kelemahan wanita itu, selalu tak bisa melepaskan diri dari cerita masa lalu, sayangnya ibu telat menyadari, karena terlalu egois pada diri sendiri hingga akhirnya banyak kesempatan hidup yang terlewati begitu saja." Wanita itu menghisap rokoknya dengan sangat dalam, lalu mengepulkan asapnya perlahan. Tentu saja dia bukan perokok kemarin sore. "Mungkin ibu tak perlu berjualan kopi di gubuk tua ini seandainya dulu bisa mengalah sedikit demi kebahagiaan diri sendiri di saat ini." Katanya lagi. Dia melirik dan langsung menatap mataku yang sejak tadi memperhatikannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun