SAMPANG - Laporan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Sampang per 22 Agustus 2025 menunjukkan sebuah potret yang mengkhawatirkan. Di saat tahun anggaran telah berjalan lebih dari dua pertiga, serapan anggaran untuk program pembangunan dan pelayanan publik justru berjalan di tempat. Ironisnya, belanja untuk gaji dan operasional birokrasi justru terserap dengan lancar, menciptakan ketimpangan yang tajam antara kepentingan aparatur dengan kebutuhan riil masyarakat.
Data yang dirilis melalui portal Kementerian Keuangan mengungkap, dari total anggaran belanja sebesar Rp 2,09 triliun, realisasinya baru mencapai 44,81%. Angka ini jauh dibawah target ideal pro-rata yang seharusnya sudah berada di kisaran 67% pada akhir bulan kedelapan.
Namun, angka rata-rata tersebut menyembunyikan masalah yang lebih serius jika dibedah lebih dalam.
Pembangunan Fisik Hanya Sebatas Angka di Kertas
Fakta paling mencolok adalah mandeknya Belanja Modal. Pos anggaran yang menjadi jantung pembangunan infrastruktur seperti jalan, sekolah, dan fasilitas kesehatan ini realisasinya hanya 12,98% dari total pagu Rp 200,03 miliar. Angka ini bukan sekadar statistik; ini adalah representasi dari puluhan proyek fisik yang dinantikan warga namun kemungkinan besar masih tertahan di meja perencanaan atau proses lelang yang berlarut-larut.
Di sisi lain, Belanja Pegawai justru menunjukkan performa yang paling sehat dengan realisasi mencapai 62,55%. Pola ini melahirkan sebuah anomali: "mesin" pemerintah tetap berjalan dengan lancar untuk menghidupi dirinya sendiri, namun "produk" yang seharusnya dihasilkan untuk publik yakni pembangunan dan pelayanan gagal dikirimkan tepat waktu.
"Ini adalah gejala klasik dari lemahnya kapasitas perencanaan dan eksekusi," ujar Adul seorang pengamat kebijakan publik.
"Pola seperti ini, jika tidak segera diatasi, akan berujung pada dua risiko besar: proyek gagal terlaksana, atau dipaksakan selesai di akhir tahun dengan kualitas yang dikorbankan." Tambahnya
Kondisi serupa terjadi pada Belanja Barang dan Jasa (realisasi 38,80%) dan Belanja Bantuan Sosial (realisasi 17,23%). Artinya, kegiatan operasional pelayanan di kantor-kantor dinas hingga penyaluran bantuan untuk warga miskin juga berjalan jauh lebih lambat dari seharusnya.
Dampak Domino dan Perencanaan yang Perlu Dipertanyakan
Keterlambatan ini menciptakan efek domino yang merugikan. Lambatnya proyek pemerintah berarti melambat pula perputaran ekonomi di tingkat lokal yang bergantung pada belanja material dan penyerapan tenaga kerja dari proyek tersebut.
Di sisi pendapatan, meski realisasi secara umum mencapai 48,51%, terdapat sebuah kejanggalan yang menyoroti kualitas perencanaan anggaran. Pos "Lain-lain PAD yang Sah" mencatat realisasi fantastis sebesar 345,70%. Jauhnya realisasi melampaui target bukanlah sebuah prestasi, melainkan indikasi lemahnya kemampuan pemerintah daerah dalam memetakan dan memproyeksikan potensi pendapatannya sendiri.
Memasuki kuartal terakhir tahun 2025, Pemerintah Kabupaten Sampang kini berpacu dengan waktu. Tanpa adanya terobosan dan akselerasi luar biasa untuk mengejar ketertinggalan, sisa anggaran yang besar terancam menjadi Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA). SiLPA memang bisa digunakan di tahun berikutnya, namun ia juga merupakan cermin dari kegagalan pemerintah membelanjakan uang rakyat sesuai rencana pada waktunya.
Publik kini menanti penjelasan dan langkah konkret dari para pemangku kebijakan di Sampang. Apa sebenarnya akar masalah dari keterlambatan ini, dan bagaimana strategi untuk memastikan setiap rupiah dalam APBD benar-benar bekerja untuk pembangunan, bukan sekadar berakhir sebagai angka di laporan akhir tahun.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI