Mohon tunggu...
Mutiara Me
Mutiara Me Mohon Tunggu... Mahasiswa - saya

Belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Muslim Berkelana (Bag. 4): Berjilbab di Jepang

11 Maret 2018   21:57 Diperbarui: 12 Maret 2018   02:51 1347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berjilbab di Jepang (sumber: worldbulletin.net)

Sudah hampir 4 tahun saya tinggal di sebuah kota di perfektur Aichi yang terkenal dengan industri automobilnya, juga pelabuhan terbesar nomer satu di Jepang untuk pengiriman mobil dan suku cadang ke banyak negara di dunia. Di sini pula tinggal banyak pekerja asing, terutama dari Brazil, Filipina, Korea, China dan juga Indonesia. Selain perusahaan, di sini banyak juga kampus-kampus yang dituju oleh para pelajar dari berbagai negara, termasuk pelajar dari negara mayoritas Muslim.

Seperti di kota-kota besar pada umumnya, penduduk di sini sudah ngga terlalu asing lagi dengan tampilan jilbab untuk Muslim. Apalagi sekarang banyak dibuka restoran dan berbagai macam menu Jepang yang HALAL. Untuk persiapan Olimpiade 2020 sendiri, Jepang juga sudah bersiap diri dengan berbagai fasilitas Muslim-friendly seperti tersedianya ruang sholat di berbagai tempat umum.

Namun menurut pengalaman saya dan orang-orang disekitar saya, masih banyak orang Jepang yang memandang sinis dan aneh kepada mereka yang berjilbab, tak terkecuali di kota besar. Ini adalah cerita saya, berjilbab di Jepang.

Di kota yang orang-orangnya lebih sibuk dan individu, memang biasanya mereka hanya melirik dan berlalu. Dan sebenarnya selama ini tidak pernah ada konflik yang berarti antara Muslim di Jepang dan penduduk lokal. Selama saling menghormati dan tidak mengganggu, hidup beragama di Jepang sangatlah damai-damai saja. Hanya saja, ada dua hal yang biasanya menyebabkan orang Jepang tiba-tiba sensitif terhadap penampilan seseorang yang berjilbab.

Yang pertama adalah pemberitaan media.

Suatu hari di tahun 2017, dua remaja Jepang yang baru masuk kereta, buru-buru berjingkat dari duduknya setelah melihat saya di sebelahnya. Kemudian mereka berbisik-berbisik membicarakan agama Islam yang dikaitkan dengan kekejaman ISIS. Tak bisa dipungkiri, kejadian terpenting yang memengaruhi pandangan masyarakat Jepang terhadap Muslim di Jepang sampai sekarang adalah tentang pemberitaan ISIS memenggal dua wartawan Jepang di Timur Tengah yaitu pada awal 2015. Sejak itu banyak dari mereka yang takut dekat-dekat dengan Muslim. Terutama yang terlihat identitas Muslim nya.


Di sini, berita seperti itu biasanya diulang-ulang di TV: 1 x 24 jam x 7 hari x 30 hari. Dibahas menyeluruh, diulang scene-scene yang itu-itu terus, sampai hafal dan menancap di memory hingga tak terbatas waktu. Efeknya langsung ke saya, kami yang berjilbab ini. Saya yakin di tempat lain Muslim juga mulai mengalami perlakuan-perlakuan semacam ini atau lebih buruk lagi sejak isu ISIS itu viral. Kalau tentang ini, memang tidak banyak yang bisa saya lakukan. Saya hanya berusaha selalu bersikap sebaik-baiknya agar pandangan mereka tidak selalu negatif. Derasnya propaganda di media sendiri memang tak terelakkan.

Faktor kedua adalah, musim panas!

Iya, musim dimana banyak orang melirik tajam dan memberikan raut muka yang terheran-heran dengan pakaian kami yang masih terus tertutup, saat mereka sendiri kepanasan meski dengan pakaian minim.

Panasnya bisa mencapai 40 derajat celcius lebih, dan kelembaban yang parah seperti di sauna. Kalau di Indonesia, memang sering panas terik tapi angin masih sepoi-sepoi adem. Kalau di Jepang, angin summer berhembus seperti semburan nafas Naga berapi. Goreng krupuk baru 2 menit dijamin melempem.

Belum lagi, hari yang lebih panjang dari malam. Dan akan lebih berat pada bulan Ramadhan jika bertepatan pada musim panas, menjadikan jam berpuasa lebih panjang. Itu juga terjadi di belahaan bumi di utara yang bahkan hampir tidak kebagian malam.

Saat summer inilah, Muslim ditambah lagi dengan tantangan menggunakan outfit yang pas untuk menghadapi kelembaban dan kepanasan yang luar biasa. Selain itu juga umpatan orang yang melihat. Pertanyaan yang sering adalah: "Kamu ngga kepanasan?" dan orang yang bertanya biasanya pakai tank top tipis, celana di atas paha, rambut lepek, keringat bercucuran dan sambil mengayunkan kipas tangan ke kiri-kanan, depan-belakang. Sementara kita, berbaju lengkap dari ujung kaki ke ujung rambut tanpa terlihat begitu kepanasan.

Itu pertanyaan jebakan kalau buat saya. Dan, tidak akan pernah ada diskusi yang ideal dan memuaskan tentang “kepercayaan”, “belief”, “faith”, apalagi konteksnya sedang nunggu bis, di pinggir jalan dan orang hanya bertanya selewatan. 

Dengan panasnya udara dan cenderung orang lebih cepat emosi, kita banyak tersenyum saja dan bilang, "panas sih tapi ngga papa ini bahannya adem." 

Pertanyaan seperti itu masih termasuk sopan. Seorang teman saya ada yang diteriaki "Dasar GILA!" saat menyeberang jalan saat matahari sedang terik-teriknya, udara sedang lembab-lembabnya dan semua orang kegerahan. Bukan itu saja, ada juga teman berjilbab yang dibilang “hantu” oleh seorang anak kecil. 

Bukan fiktif, dan ini memang terjadi berulang kali. Makanya, saya lebih suka musim dingin saat semua orang "ubel-ubelan" syal, scarf, winter hat, jadi jilbab ngga aneh dipandang.

Jadi meskipun di kota besar di Jepang dimana Muslimah berjilbab sudah mulai banyak tinggal, hal-hal seperti itu masih terjadi, TERUTAMA karena dua hal tadi: satu, ketika ada pemberitaan negatif tentang Islam dan Muslim di media, atau dua, saat musim panas.


Bagaimana kalau di kota kecil? 

Di kota kecil kemungkinan besar orang-orangnya jarang melihat orang berjilbab. 

Suatu waktu, dari kota besar saya harus pindah ke suatu kota kuecil seluas 23 km persegi, yang populasinya cuma 16 ribu jiwa. Kota yang pernah terdampak tsunami tepat 7 tahun lalu.

Selama hampir setahun saya melakukan suatu penelitian di sana. Orang-orang di kota ini jarang sekali atau hampir ngga pernah melihat orang berjilbab. 

Orang Muslim itu layaknya "dongeng" yang jauh dari pandangan mereka dan hanya akan ditemui di negara-negara jauh yang mereka pandang hanya melalui layar kaca 21 inci. Orang Muslim Indonesia yang tinggal di situ dan memakai jilbab baru-baru ini ada, namun hanya migran temporer yang mungkin hanya sekitar 3 orang.

Hari-hari pertama di kota kuecil itu saya ngga nyangka, kaget, risih dilihati dari ujung kaki ke ujung jilbab oleh hampir SEMUA orang yang melihat saya, baik dewasa maupun anak-anak. Mereka melihat tanpa berkedip, bahkan sambil mengendarai mobil mereka menengok sejadi-jadinya pada saya yang sedang berjalan.

Sering anak-anak yang awalnya lagi becanda dengan temannya atau orang tuanya, tiba-tiba terdiam, tertegun, termangu, tapi ngga terpesona, melihat saya berjalan melewati mereka. Saya biasanya tersenyum, dan dengan tingkat keramahan semaksimal mungkin menyapa, "konnichiwa". Eh mereka malah cemberut, mlengos dan malah sering yang pasang muka marah, untungnya ngga ada yang sampai nangis atau lari.

Oh ada, pernah seorang anak sedang main di dekat saya, dan setelah melihat saya, ia langsung berlari ke ibunya ketakutan. Oh no :'( ...Ada perasaan sedih dengan reaksi mereka. Saya ngga berbahaya kok. Saya juga manusia kok, ngga beda… bukan alien! Bukan juga hantu! Rasanya ingin bilang begitu...tapi yah dipahami saja dimana-mana menjadi berbeda dan minoritas itu tidak selalu mudah diterima kan.

Memang masih banyak orang Jepang yang tidak nyaman dengan 'internasionalisasi' dan keberadaan 'orang asing' dengan alasan mempertahankan tatanan sosial, kultur dan kemurnian ras, dan juga karena mereka hanya mengenal kami dan penampilan berjilbab dari frame pemberitaan TV. Namun faktanya, roda perekonomian negaranya hanya bisa tumbuh jika mereka membuka pintu untuk orang asing untuk datang dan tinggal, jadi hubungannya (seharusnya) mutual.

Tak kenal memang tak sayang. Tapi sudah kenal pun belum pasti jadi sayang. Tapi pasti akan ada momen di kota kecil ini dimana sapaan saya akan berbalas senyum dan canda.

Jangan kuatir jika anda berjilbab dan datang ke Jepang untuk pelesir saja ngga masalah karena di tempat-tempat umum atau destinasi wisata orang Jepang tidak akan mempermasalahkan dan sudah biasa akan tampilan orang asing yang bermacam-macam. 

Beberapa tahun terakhir Jepang juga sudah lebih membuka diri terhadap pengunjung Muslim dengan tingginya angka devisa dari sektor pariwisata yang tak dipungkiri sangat diperlukan untuk Jepang menghadapi resesi ekonomi dengan menurunnya jumlah penduduk dan tenaga kerja.


07052017

dilengkapi  pada 11 Maret 2018

Mutiara me

Baca juga: Muslim Berkelana (Bag. 3): Branding Hijab Malaysia vs Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun