Mohon tunggu...
Khoirul Amin
Khoirul Amin Mohon Tunggu... Jurnalis - www.inspirasicendekia.com adalah portal web yang dimiliki blogger.

coffeestory, berliterasi karena suka ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menangkap Angin Surga Ekonomi Inklusif bagi Perempuan dan Difabel

1 Agustus 2022   00:15 Diperbarui: 1 Agustus 2022   00:22 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jefri Pratama, difabel pengamen yang ingin menjalani usaha sendiri. (dok)

PRESIDENSI G20 sudah di depan mata. Ada harapan baru bagi pulihnya kesejahteraan masyarakat pasca dua tahun tekanan pandemi Covid-19. Optimisme elalui ekonomi inklusif yang bukan sekadar mimpi tentunya.

Indonesia menjadi tuan rumah forum Presidensi G20 tahun 2022 ini. Pertemuan ini tentu sangat penting, dan diharapkan sangat berarti bagi bangsa kita. Tema yang diusung dalam Presidensi G20 ini: Recover Together, Stronger Together.

Negara Indonesia juga terdampak akibat pandemi global COVID-19. Kontraksi ekonomi dirasakan masyarakat, karena banyak kehilangan pekerjaan dan penghasilan selama masa sulit pandemi ini.

Selain memberlakukan protokol kesehatan, skema penyelamatan ekonomi masyarakat juga telah dikeluarkan pemerintah melalui kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Paling signifikan, memberikan bantuan sosial (bansos) langsung kepada rakyat kecil.

Ada juga dengan skema Bantuan Pemerintah Usaha Mikro (BPUM), Kartu Prakerja, relaksasi pembayaran kredit, Jaminan Kehilangan Pekerjaan oleh BPJS Ketenagakerjaan, dan beberapa program lainnya.

Seperti apa dampak intervensi langsung pemerintah melalui program-program tersebut, tentu belum sepenuhnya signifikan bagi pemulihan ekonomi penerima manfaat. Terlebih, bagi kelangsungan usaha yang dijalankan, apalagi pengembangannya.

Data Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), menyebutkan bahwa Perkembangan Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Besar di Indonesia dalam kurun waktu 2014-2018, yakni sebanyak 99,99 persen dari 64 juta unit usaha di Indonesia adalah Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Sekitar 60% dari jumlah pelaku UMKM tersebut, dikelola oleh perempuan.

Data pelaku UMKM perempuan ini seperti dirilis Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, I Gusti Ayu Bintang Darmawati, pada Juli 2020 lalu. Menurutnya, adapun 3 (tiga) sektor yang dikuasai yaitu fashion, kuliner dan kriya, dalam acara Seminar "Tingkatkan Kreasi Inovasi Ekonomi Kreatif agar Bangsa Indonesia Selamat dari Ancaman Pandemi COVID-19 tersebut.

Selama masa pandemi COVID-19, kiprah perempuan juga tak bisa dipungkiri cukup besar membantu menyelamatkan ekonomi keluarga. Banyak cerita pengalaman mengemuka, perempuan yang sejatinya bekerja di sektor domestik alias menjadi ibu rumah tangga, mendadak mampu menjadi pelaku ekonomi.

Sebagian besar dari mereka diketahui menjalani usaha jualan dengan lapak sederhana dan modal seadanya dari tabungan keluarga. Owner Klinik Boneka asal Kepanjen Malang, Sulikah Handayani misalnya, contoh potret perempuan dengan potensi yang cukup bisa diandalkan untuk meningkatkan derajat dan kesejahteraan ekonomi dari industri rumah tangga yang dijalaninya.

Sulikah mengaku, memulai usaha bonekanya dari coba-coba. Kala itu, ia hanya meniatkan usahanya dari modal awal sejumlah Rp 400 ribu.

"Semua berawal dari otodidak. Duit yang digunakan modal pertamanya merupakan uang belanjaan dapur yang disisihkan dari suami," kenangnya, seperti pernah dituturkan pada penulis.

Klinik Boneka awalnya dijalankan sendirian di rumah kontrakan, selanjutnya bisa terus berkembang rumah produksi dibuat juga di Kepanjen hingga saat ini. Sulikah juga mengajak dua saudara kandungnya untuk mengelola usaha ini, dan punya sedikitnya 2 karyawan lain.

Akan tetapi, selama pandemi dua tahun terakhir, usaha yang dijalani para perempuan ini sedikit mengalami kontraksi. Salah satunya, kesulitan mendapatkan bahan kain impor yang sebagian didatangkan dari luar negeri.

Selain fakta data tersebut, kesejahteraan ekonomi juga menjadi harapan besar kaum difabel. Jefri Pratama (23), pemuda asal Kalipare Kabupaten Malang misalnya, punya keinginan menjalankan usaha sendiri dalam keterbatasannya menyandang tuna daksa.

Selama ini, Jefri Pratama biasa ikut mengamen bersama sejumlah temannya. Ia mangaku menjalani kerja mengamen di pasar hampir dua tahun terakhir. Penghasilan yang didapatkannya dalam sehari rata-rata bisa Rp 60 ribu sampai Rp 80 ribu. Sejak pagi, dan berlanjut sore atau bahkan malam.

Dalam keterbatasan fisiknya, Jefri bisa dibilang pekerja keras. Mengamen baginya bukan asal dijalani, namun sudah menjadi penghasilan yang sangat dibutuhkan dalam kehidupannya. Terlebih, ia harus menghidupi keluarga kecilnya, dengan seorang anak balita bersama isterinya.

Karuan saja, dalam kondisi cacat fisik permanen kehilangan satu kaki dan harus dibantu alat penyangga kaki untuk berjalan, ia tetap memaksakan pulang setiap hari.

Jarak rumahnya di Kalipare dengan Kepanjen sekitar 35 kilometer, dan harus ditempuhnya untuk mencari penghidupannya dari mengamen. Ia mengaku, tidak ada pilihan lain saat ini untuk bisa bekerja menghidupi keluarganya.

Menurut Jefri, bisa menjalankan usaha ringan di rumah lebih diinginkannya. Akan tetapi, tidak cukup kemampuan lain yang bisa diandalkan darinya, dan ia merasa tidak ada dukungan lain yang bisa mewujudkan keinginannya tersebut.

Barangkali, fakta potensi berikut keinginan dan kegundahan yang terjadi pada Sulikah ataupun Jefri Pratama di atas, akan menemukan jawaban dari manfaatkan yang dihasilkan dari Presidensi G20 mendatang. Hal sama yang juga dimiliki sebagian besar perempuan dan disabilitas lain tentunya.

Keuangan Inklusif, Mimpi Nyata yang Diharapkan bisa Mensejahterakan

Keuangan inklusif (financial inclution) pertama kali dikenal dan menjadi tren dunia pascakejadian krisis global pada tahun 2008. Hal tersebut muncul sebagai reaksi dari dampak krisis yang melanda hampir seluruh negara di dunia tersebut kepada kelompok kalangan bawah atau yang disebut in the bottom of pyramid.

Siapa kelompok in the bottom of pyramid ini? Mereka adalah masyarakat dengan pendapatan rendah dan tidak teratur, dan tinggal di daerah terpencil. Juga, para penyandang disabilitas, buruh (migran) tanpa dokumen identitas yang legal, dan kelompok masyarakat pinggiran.

Pada pertemuan G20 Pittsburg Summit 2009, para anggota dari G20 telah menyepakati adanya peningkatan akses keuangan bagi masyarakat yang masuk dalam kelompok ini. Salah satunya, yang kemudian jamak disebut keuangan inklusif.

Kemenko Bidang Perekonomian RI telah merilis Sistem Keuangan Inklusif untuk Mensejahterakan Masyarakat. Dalam siaran persnya, ditegaskan bahwa keuangan inklusif merupakan kondisi ketika setiap anggota masyarakat memiliki akses terhadap berbagai layanan keuangan formal, yang berkualitas secara tepat waktu, lancar, dan aman, dengan biaya terjangkau.

Pemerintah melalui Perpres No 114 tahun 2020 telah menyiapkan Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI). Tujuannya, sebagai upaya mendukung pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan, untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui sistem keuangan yang inklusif.

Survei Nasional Keuangan Inklusif yang dilakukan oleh Sekretariat Dewan Nasional Keuangan Inklusif (S-DNKI) pada tahun 2020 menunjukkan, sekitar 81,4% orang dewasa pernah menggunakan produk atau layanan lembaga keuangan formal.

Secara terbatas, Kementerian Sosial (Kemensos) pernah mengeluarkan kebijakan menyiapkan bantuan modal usaha kepada para penyandang disabilitas yang telah menyelesaikan pendidikan vokasional di Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Penyandang Disabilitas (BBRVPD), Cibinong, Bogor pada 2019. Hal ini untuk mendorong lahirnya wirausaha mandiri di berbagai bidang usaha.

Sejumlah perusahaan disebutkan telah menjalin kerja sama memberi bantuan modal bagi difabel ini. Yakni, Bank Indonesia, BCA, BRI, Bank Mandiri, Astra, dan lain-lain. Dilaporkan, hingga tahun 2019 sebanyak 1.093 alumni menjadi wirausaha, dan 997 bekerja pada pihak lain.

Dalam kaitan ini, Bank Indonesia maupun bank Himbara lainnya, bisa melanjutkan inisiasi ini lebih luas untuk bisa dimanfaatkan bagi kesejahteraan disabilitas atau kelompok pinggiran lainnya. Terlebih, yang responsif gender pada perempuan.

Tentu saja, skema keuangan inklusif yang diberikan tidak sama atau secara khusus, bergantung latar belakang kondisi sasaran penerima manfaat. Bagi kelompok disabilitas misalnya, tentu mekanisme keuangan inklusif ini lebih ramah terhadap keterbatasan para difabel.

Akses keuangan inklusif berbasis digital seperti pinjaman online, agak kurang tepat jika diberlakukan bagi para difabel. Mereka rentan mengalami mispersepsi dan terjebak wanprestasi, jika tidak ada pelayanan dan pendampingan khusus dalam mengakses dan memanfatkannya.

Singkatnya, misi besar untuk kesejahteraan masyarakat marginal melalui Presidensi G20 bisa benar-benar dirasakan bagi perempuan dan difabel. Tidak sebatas komitmen bagus di atas kertas, namun cantik dan mengena bagi peningkatan taraf hidup mereka. Jika hanya tampak menyilaukan saat seremoni, namun kabur dalam pelaksanaannya, maka Presidensi G20 tak ubahnya tontonan hiburan bak angin surga yang jauh dari kenyataan. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun