Mohon tunggu...
Khoirul Amin
Khoirul Amin Mohon Tunggu... Jurnalis - www.inspirasicendekia.com adalah portal web yang dimiliki blogger.

coffeestory, berliterasi karena suka ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Masih dalam Bayang-bayang Risiko Kawin Muda

21 April 2021   22:55 Diperbarui: 26 April 2021   08:45 1644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pernikahan yang diakui secara hukum. (sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com)

SEJARAH emansipasi perempuan di Indonesia terlahir bersamaan dengan perjuangan sosok Raden Ajeng Kartini. Perjuangan yang juga bermula dari pergolakan batin seorang Kartini muda yang tidak nyaman dengan situasi budaya paternalistik bangsawan keraton, namun kurang menguntungkan perempuan kala itu.

RA Kartini yang masih belia kala itu, harus dihadapkan pada keputusan ayahanda dijodohkan dengan seorang Adipati Rembang. 

RA Kartini muda yang punya pendidikan bagus, dan banyak bergaul dengan anak muda Belanda teman sekolahnya, punya pemikiran dan pilihan tersendiri. Melalui surat-surat yang ditulisnya, Kartini mencoba 'melawan' takdir harus menikah muda, karena memilih mengejar cita-citanya.

Jaman terus berubah mengiringi usia Kemerdekaan Indonesia hingga hampir seabad ini. Akan tetapi, masih ada kultur yang tetap mengakar kuat dan menjadi fenomena sosial terkait primordialisme terhadap kaum perempuan. Di beberapa daerah di Indonesia, primordialisme ini yang akhirnya memunculkan banyak kasus nikah muda.

Persepsi bahkan kultur yang menempatkan perempuan cukup di rumah dan menjadi pendamping hidup pasangannya, masih ada di masyarakat kita. 

Di dalam situasi kultural ini, perempuan seperti tersandera, yang akhirnya berujung kepasrahan. Ketika dalam posisi dan kondisi yang lemah, ini bahkan menjadikan mereka tidak punya pilihan dan cita-cita lain selain menikah meski masih belum cukup umur.

Perkawinan sejatinya bukan sekadar ikatan resmi pasangan yang menikah untuk bisa membangun rumah tangga. 

Dalam kehidupan masyarakat, perkawinan menjadi status sosial baru yang berbeda, meskipun usia pasangan masih sangat muda. Keluarga dan rumah tangga, adalah entitas sosial yang akhirnya tidak lagi berdiri sendiri, dan tentunya lebih kompleks untuk dijalani.

Siap tidak siap, berkeluarga tentu membutuhkan kemandirian, kedewasaan, kematangan berpikir, toleransi, pengertian, serta empati. Semua hal itu saling bersambut dalam hubungan take and give, atau menyesuaikan dengan keseharian dan lingkungan yang ada di sekitar. 

Kasus adanya keretakan rumah tangga akibat ketidaksiapan berkeluarga kerap terjadi. Berbagai masalah yang harus dihadapi pasangan dalam keluarga, akhirnya bisa memicu ketidakharmonisan tersebut. Masalah lainnya, bisa karena latar belakang pendidikan yang rendah atau perekonomian yang kurang kuat.

Bagi pasangan perempuan, tidak semata siap secara mental namun harus juga harus dipastikan kesehatan reproduksinya. Jika terlalu diabaikan, maka ini akan mengancam perempuan muda yang nantinya menjadi calon ibu. 

Sakit kronis atau kematian akibat kesehatan reproduksi yang lemah, menjadi gejala sosial yang nyata pada ibu yang manikah masih terlalu muda.

Ada data memprihatinkan soal risiko yang bisa mengancam kesehatan reproduksi di Kabupaten Malang. Sampel data dari faskes puskesmas di lima kecamatan misalnya, hanya didapati antara 10 sampai 30 persen pasangan calon pengantin nikah muda yang terdaftar di Kantor Urusan Agama (KUA), didapati pernah memeriksakan diri dan diketahui gejala kesehatan reproduksinya.

Dari hasil pemeriksaan absolut pasien, didapati kasus (calon) sebagian pengantin wanita mengalami anemia (kekurangan darah) dan kekurangan gizi. 

Temuan gejala ini mengkhawatirkan, karena bisa juga menimbulkan risiko fisik, termasuk juga kesehatan reproduksi perempuan yang kawin usia muda.

dr Wahyu Widiati, tenaga kesehatan asal Kabupaten Malang menyebutkan, rahim pada ibu berusia muda belum sepenuhnya siap, sehingga meningkatkan risiko keguguran. Saat bersalin, ibu yang mengidap anemia dan/atau kekurangan energi dan kalori juga berisiko perdarahan saat melahirkan.

Ketika mengalami gejala sakit pascapersalinan ini, si ibu dikhawatirkan tidak berhasil menyusui eksklusif sehingga bayinya berisiko gagal tumbuh dan rentan menyebabkan terjadinya stunting baru. Si ibu bahkan rentan pada risiko kanker payudara.

Berisiko Tinggi, Kawin Muda Masih Marak

ilustrasi kampanye nikah mudah (ANTARA/diunduh)
ilustrasi kampanye nikah mudah (ANTARA/diunduh)
Perempuan kini serta isu kesehatan mental dan reproduksinya masih perlu atensi, karena menjadi fenemona sosial yang masih mungkin terjadi di mana-mana. 

Masyarakat dalam strata sosial lebih rendah, masih dibayangi perkawinan usia muda atau di bawah umur, yang sebenarnya bukan serta merta menjadi keinginannya.

Persoalan pernikahan dini telah menjadi permasalahan tersendiri bagi Indonesia. Karuan saja, berdasarkan data 2018 (dilansir di BBC.com), pernikahan dini ditemukan di seluruh bagian wilayah Indonesia. 

Sebanyak 1.184.100 perempuan berusia 20-24 tahun didapati telah menikah saat masih usia 18 tahun. Jumlah terbanyak berada di Jawa, yakni sejumlah 668.900 perempuan.

Selain karena situasi kultural, bayang-bayang risiko kawin muda ini setidaknya bisa muncul dari adanya kesempatan. Meski ada regulasi pemerintah yang sudah mengatur batasan usia minimal calon pengantin, namun tetap ada klausul yang akhirnya memperbolehkan perkawinan di bawah umur.

Melalui meknisme dispensasi kawin oleh institusi Pengadilan Agama, pasangan calon yang masih belum cukup umur sesuai batasan dalam perundangan perkawinan, tetap ada kesempatan untuk menikah bahkan di usia sangat muda.

Ada temuan, bahwa pandemi Covid-19 bahkan memicu masalah baru meningkatnya jumlah pernikahan dini di Indonesia. Dilansir BBC.com, selama Januari-Juni 2020 lalu, tercatat 34.000 permohonan dispensasi pernikahan dini (di bawah umur 19 tahun) diajukan, dan 97% di antaranya dikabulkan. Padahal sepanjang 2019, hanya tercatat 23.700 permohonan.

Hingga kini, adanya ancaman risiko pernikahan dini ini cukup nyata karena jumlahnya yang justru cenderung bertambah . Setidaknya, dalam catatan Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Malang, terjadi lonjakan permohonan dispensasi kawin di bawah batasan umur yang ditentukan. 

Lonjakan ini terjadi sejak setahun terakhir. Tepatnya, pada November 2019 tercatat 361 permohonan dispensasi kawin diterima PA Kabupaten Malang. Sementara, pada Desember (2019), sejumlah 291 permohonan dispensasi kawin belum cukup umur diputuskan dan disetujui.

Selama 2020 yang juga dalam situasi pandemi, tercatat 1.783 permintaan perkara dispensasi kawin diterima Pengadilan Agama Kabupaten Malang. Paling banyak terjadi di bulan Juli sejumlah 258 dan November sebanyak 241 berkas permintaan. Dari jumlah ini, sejumlah 1.726 perkara dispensasi kawin diputus dan disetujui.

Panitera Muda Permohonan, Hadijah Hasanudin mengungkapkan, rata-rata permohonan dispensasi kawin ini diajukan calon pasangan wanita berusia 16 tahun ke bawah, dan laki-laki kurang dari 21 tahun. Akan tetapi, lanjutnya, ada juga kasus permohonan dispensasi kawin dengan usia perempuan 13 atau 14 tahun. Namun, pada akhirnya ditolak permohonannnya.

Temuan data ini menjadi gejala dan fakta baru, bahwa nikah muda masih marak meski batas usia minimal kawin sudah dinaikkan. 

UU Perkawinan terbaru, Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, mengatur batas minimal usia calon pengantin laki dan perempuan adalah 19 tahun. Sebelumnya, diatur minimal 16 untuk perempuan dan 19 bagi laki-laki.

Lagi-lagi, nikah muda sejatinya lebih bereisiko bagi perempuan. Ahmad Ghozali, hakim di Pengadilan Agama Kabupaten Malang menegaskan, prioritas yang dipertimbangkan dalam memutus dispensasi kawin lebih pada kesiapan calon pengantin laki-lakinya, utamanya pada sisi ekonomi.
Jadi, meski usia calon pengantin perempuan masih di bawah umur, akan tetap saja disetujui jika laki-lakinya lebih siap dan mapan. 

Ghozali menyebutkan, 90 persen lebih permohonan dispensasi kawin bagi pasangan muda yang disidangkan, akhirnya diputus tetap disetujui, dengan lebih mempertimbangkan kesanggupan ekonomi pihak calon pengantin laki-laki.

Mirisnya, soal dispensasi kawin ini terkesan dijalankan lebih mengedepankan azas pelayanan publik. Sementara, soal atensi risiko kawin muda terkait kesiapan dan kematangan, termasuk kesehatan reproduksi calon pengantin, lebih diserahkan untuk menjadi kewenangan dan perhatian pihak lain.

Penyadaran dan Penguatan Berkesinambungan

Sudah banyak upaya pemahaman soal kesehatan reproduksi remaja, fiqih perempuan, pendidikan keluarga, atau kiat-kiat sukses berumah tangga. 

Namun, sejauh ini lebih bersifat gerakan kampanye, sosialisasi terbatas, atau mungkin sekadar pengayaan pengetahuan bagi remaja atau usia sekolah.

Bagi masyarakat luas dan orang tua, berbagai pemahaman itu juga tak kalah penting, karena mereka juga yang nantinya turut mengantarkan anak-anaknya sukses dalam membangun sebuah rumah tangga. 

Parenting yang memperkuat pemahaman ini harusnya digalakkan lebih massif dan meluas. Selebihnya bisa dari berbagai literatur yang lebih khusus soal kesehatan mental dan reproduksi.

Pemahaman terhadap masyarakat luas ini semestinya lebih fokus pada aspek kesehatan mental dan reproduksi serta dampaknya, jika terlalu dipaksakan pada remaja atau anak di bawah umur. Sehingga, ini sekaligus menjadi penyadaran publik bahwa nikah terlalu muda lebih berisiko bagi pasangan yang mengalami.

Penyadaran lebih mengena dan meluas ini, tentunya tidak terkendala dan berbenturan dengan ego kebijakan sektoral yang akhirnya bisa saling lempar dan lepas tangan. Tetap harus diakomodir menjadi atensi bersama dan menjadi program aksi lintas sektor.

Upaya mengamankan sekaligus menekan risiko kehidupan bagi perempuan muda sudah lama dicanangkan pemerintah. Setidaknya melalui simulasi Generasi Berencana (GenRe), yang diinisiasi BKKBN pusat hingga tingkat daerah. 

Melalui Genre, idealisme dan harapan terwujud keluarga masa depan yang sejahtera dan sukses sangat ditekankan. Sasarannya, usia pelajar jenjang SMA sebagai calon yang nantinya berkeluarga, sekaligus juga terhadap warga masyarakat di lingkungannya.

Akan tetapi, upaya seperti masih perlu banyak ditingkatkan dengan aksi dan rencana strategis, agar GenRe ini tidak semata gerakan kampanye, dan tidak lebih sekadar pemodelan sebuah konsep keluarga masa depan yang cukup terwakili oleh keberadaan para duta GenRe.

Sekali lagi, kawin usia muda tentunya berpotensi punya anak pada usia muda. Keluarga dengan pasangan muda ini juga punya risiko yang rentan muncul, baik psikis maupun fisiologis. Ketidakmatangan psikologis yang bisa menyebabkan masalah psikis dikarenakan kurang siap mental membina rumah tangga.

Terkhusus, ibu muda yang cepat punya anak, rentan mengalami sindroma Baby Blues atau depresi pasca melahirkan dan selama merawat bayinya. Baby blues atau tekanan batin berlebihan ini bisa karena banyak sebab, terlebih jika buah hatinya sangat butuh perhatian ekstra selama masa 1000 hari pertamanya.

Pasangan muda yang sudah siap menikah perlu lebih dikawal dan menjadi atensi serius secara berkesinambungan. Kesinambungan ini bermula sejak pranikah, hingga mungkin beberapa tahun pertama usia pernikahannya.

Pilihan atensi dan intervensi bagi fenomena kawin muda ini tentu banyak bentuknya. Baik melalui sosialisasi, ataupun dengan rencana aksi sistemik dan terstruktur melalui program pendidikan pranikah hingga pendampingan keluarga pada pasangan muda. 

Yakni, melalui berbagai kegiatan parenting pembinaan keluarga dan pelatihan sejenisnya. Tentunya, banyak hal yang bisa diberikan menyangkut kesiapan mental maupun kesehatan reproduksi calon pengantin muda ini.

Paling penting, adalah akses bagi didapatinya aksi pencegahan ataupun penguatan bagi kawin muda ini. Sebuah studi akademis menyebut, praktik perkawinan di bawah umur rentan terjadi pada perempuan di pedesaan yang berasal dari keluarga miskin serta tingkat pendidikan yang rendah.

Juga, akses informasi dan fasilitasi bagi kasus terkait kesehatan mental dan reproduksi. Kelompok masyarakat marginal ini yang selama ini kesulitan mendapatkan akses dan layanan solusi perempuan berisiko akibat perkawinan usia muda.

Dalam konteks ini, keberadaan pusat konseling dan akses layanan pranikah bagi usia dini harus diperbanyak dan diperkuat. Berbagai pihak terkait yang lebih proaktif dalam menyediakan fasilitasi ini. Tidak serta merta menunggu kasus muncul, baru kemudian ditangani. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun