Mohon tunggu...
Beti.MC
Beti.MC Mohon Tunggu... -

Ibu rumah tangga yang memberi ruang untuk menulis pengalaman dan ikut mengkampanyekan "Kerja Layak PRT dan STOP PRT Anak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Resep Singkat Menambahkan Kebahagiaan pada Anak dalam Proses Belajar

27 Oktober 2017   13:06 Diperbarui: 27 Oktober 2017   14:12 2268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah menuliskan tips sederhana untuk pendidikan anak, RESES: Waktu Istirahat Otak untuk Anak-anak dan mengulas tentang pemberian Pekerjaan Rumah (PR) bagi siswa, beberapa teman memberikan komentar yang menambah energi untuk terus menggali isi buku Teach Like Finland. Secara khusus memang aku membagi link tulisan kepada teman-teman yang kutahu berprofesi sebagai guru. Baragam tanggapan makin menguatkanku untuk mencari topik lainnya untuk diceritakan.

Salah satu komentar yang aku ingat yaitu tentang "siswa-siswa Finland mungkin niat belajar sudah ada, sehingga manajemen waktu udah bisa". Ini tanggapan dari sahabat sekolahku yang saat ini mengajar di SD. Dia juga merasakan tantangan mengajar anak-anak di lingkungannya. Rupanya anak-anak lebih senang bermain dan orang tua tidak memperdulikan pendidikan anak. 

Ah, rupanya masih ada tantangan di luar kegiatan yang bisa diatur oleh pihak sekolah/guru. Tanggapan lain mengamini bahwa memang perlu rehat sejenak supaya anak-anak tidak kebosanan, tapi nampaknya masih perlu advokasi untuk bisa menjadikan Reses sebagai pembiasaan di sekolah. Tak apa, aku menampung respon-respon itu untuk ditanggapi, sambil mencari ide lagi, tentu saja harus baca beberapa topik untuk melengkapi pertanyaan-pertanyaan yang terlontar.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Sebuah pesan masuk di WA pada pukul 04.00, pagi ini. Ting. Rupanya salah seorang guru anakku memberikan respon cukup mendalam mengenai tulisanku tentang PR: Beban atau Uji Kemandirian. Beberapa diantaranya menyangkut jumlah PR yang (pantas) untuk dikerjakan anak, keterlibatan orang tua dalam pendampingan belajar di rumah, tidak perlunya hukuman fisik yang menurutnya bukan zaman now (lagi) dan hubungan yang akrab antara guru dan siswa. Pendapat yang terakhir inilah yang menggelitikku, sudahkah sekolah memberikan suasana belajar yang menyenangkan untuk siswa dengan membangun interaksi yang humanis, bukan pola kuasa?

Beberapa minggu terakhir, aku menyapa dan menulis di medsos dengan #janganlupabahagia. Terinspirasi pola pendekatan yang ditularkan para guru di Finland, aku ingin kebahagiaan juga menjadi pola untuk kehidupan anak-anak di Indonesia! Bukan soal di sana jumlah penduduknya sedikit dan negaranya sudah mapan sehingga bisa menerapkan kebahagiaan sebagai sikap hidup mereka, tapi lebih pada, bahwa kebahagiaan itu berasal dari dalam diri kita, tidak selalu tergantung pada situasi di luar. Kalau kita meyakini dan menumbuhkan sikap bahagia itu, tentulah kebahagiaan bisa tumbuh subur, karena itu aku sedang mencoba menanam dan memupuk rasa bahagia itu terus menerus.

Mari melihat arti kata bahagia itu, sebelum kita lanjutkan apa saja yang menjadi bahan terwujudnya kebahagiaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,

bahagia/ba*ha*gia/1n keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan)


Sementara kalau mengacu pada istilah psikologi, bahagia itu merupakan emosi positif yang dialami seseorang, yang terkadang tidak nampak wujudnya secara fisik. Banyak ahli memberikan definisi mengenai kebahagiaan ini. Tapi kali ini aku ingin menuliskan kebahagiaan dalam proses belajar pada anak-anak dengan menggunakan konsep dari Raj Raghunatan(2016). Menurutnya ada 4 bahan kebahagiaan itu, yaitu:

  • Rasa memiliki
  • Kemandirian
  • Penguasaan
  • Pola pikir

Wow.... apa bisa kita mewujudkan kebahagiaan pada anak-anak? Yakin bisa. Aku akan menuliskan hal-hal praktis yang bisa dilakukan oleh kita sebagai pendidik anak, baik guru maupun orang tua. Kita kupas dulu yang nomor 1 ya, rasa memiliki.

Sering kan mendengar, sense of belonging? Jika sering menggunakan pastilah tahu maknanya.  Ini kutipan dari mesin pencari Google ya.....sense of belonging biasanya diartikan sebagai rasa memiliki suatu kelompok atau organisasi dalam diri anggotanya. James Gilmore (2005) menyatakan bahwa, "A sense of belonging is the feeling of being connected and accepted within one's family and community."

Mengapa penting ada rasa memiliki pada siswa sekolah? Ya, para siswa perlu merasa bahwa kegiatan sekolah bukan semata-mata sebagai rutinitas, sebagai tugas seorang anak. Tapi, bersekolah lebih merupakan sebuah kegiatan untuk perkembangan dirinya, menjadi tempat dimana anak bisa mewujudkan rencana-rencananya, menjadi media menunjukan minat, bakat dan kemampuannya. 

Jadi, sekolah itu bukan ajang "pencarian nilai", tapi menjadi media yang baik untuk mengembangkan potensi anak. Para siswa penting merasakan bahwa dirinya diterima dalam lingkungan sekolah dan terlibat dalam proses belajar karena semua pihak saling mendukung proses pembelajaran. Itulah makna sense of belonging yang dimaksud.

Di sinilah penting adanya kesamaan pemahaman antara guru, orang tua dan siswa, bahwa kegiatan di sekolah bukan hanya tanggung jawab guru saja, sementara orang tua lepas tangan karena merasa sudah membayar SPP atau tugasnya hanya sampai di gerbang sekolah. Guru menjadi pihak yang perlu mengenal pribadi masing-masing anak, membangun interaksi yang menyenangkan, mengambil ruang untuk "bermain" dengan anak, memfasilitasi kebutuhan belajar selama di sekolah, dan juga tidak kalah penting, mengantisipasi konflik yang terjadi di lingkungan sekolah dan mengatasi "bullying". 

Bukankah, sangat mungkin terjadi permasalahan siswa di sekolah? Perlu sekali sekolah memikirkan adanya tim untuk membantu kasus-kasus yang terjadi selama anak di sekolah.  Jika saat ini sudah ada guru-guru BK, alangkah baiknya jika ada tim kecil yang bisa membantu untuk deteksi dini permasalahan yang dialami anak supaya bisa ditangani secara lebih efektif.

Nah, bagaimana dengan peran orang tua? Tentu saja, orang tua mempunyai peran besar untuk proses pendidikan sepanjang perkembangan anak. Kegiatan di sekolah merupakan bagian dari kegiatan lainnya (bukan satu-satunya proses belajar anak). Pentingnya orang tua memahami sistem pembelajaran di sekolah untuk mendukung keberlangsungan pola pendidikan yang ditanamkan sekolah. 

Orang tua perlu mendampingi anak saat dia belajar di rumah untuk tugas-tugas yang mungkin belum dipahami. Inilah sinergitas yang dibutuhkan. Orang tua menjadi teman dalam belajar dan bisa bekerja sama dengan guru untuk memantau perkembangan anak. Pada banyak kasus bullying di sekolah, orang tua menjadi pihak yang mengenali bahwa anaknya memerlukan penanganan segera. Dan begitupun sebaliknya, jika ternyata anak justru mengalami bullying di lingkungan rumah, gurulah yang mengenali kebutuhan anak.

Lalu, bagaimana peran siswa? Ya, merekalah yang sedang menjadi topik pembahasan sebenarnya. Anak-anak, bahkan di usia dini, sudah mempunyai peran dalam proses belajar aktif. Anak-anak bukanlah kertas kosong! Justru warna-warni kemampuan anak inilah yang harus digali dan dicermati agar berkembang optimal. Di sekolah, para siswa tentu ingin ruang belajarnya bukan sekedar mendengar, mencatat atau mengerjakan tugas saja. Rasa memiliki bisa dikembangkan dengan pelibatan anak-anak dalam setiap sesi belajarnya. 

Para siswalah inti dari proses belajar di sekolah. Dengan begitu, merekalah yang harusnya banyak dilibatkan untuk proses pendidikan. Mengajak anak memahami impian yang ingin dicapai selama pembelajaran, penting dimulai sejak dini supaya siswa tahu apa yang harus dilakukan. Melibatkan anak dalam proses penyiapan materi atau bahkan menyajikan topik yang akan dibahas dalam sesi pembelajaran juga sangat mungkin! Anak-anak merasa tertantang lho untuk mengerjakan tugas, bukannya jadi malas. 

Para siswa menjadi bersemangat jika diberi peran dalam kelas, karena anak merasa diajak dalam proses, bukan sekedar jadi pengamat! Ada banyak kreativitas yang bisa dibuat anak dalam proses belajarnya. Inilah yang menjadikan anak-anak "merasa diterima" karena hasil karyanya bisa dilihat dan ditampilkan pada teman, guru bahkan orang tua.

Nah, masing-masing sudah mendapat peran dan gambaran dalam proses pembelajaran di sekolah. Tidak sulit jika semuanya dilakukan secara bertahap. Bahkan jangan ragu untuk tetap memberi ruang anak-anak untuk bermain di sela-sela belajar. Pengalaman di sekolah Finland, para guru nampak menerapkan "start" yang pelan untuk awal pembelajaran demi memelihara hubungan dengan siswa dan meletakkan dasar untuk belajar selama 1 tahun pembelajaran.

Jadi, sudah tahu sedikit resep bahagianya anak-anak Finland? Ayo terapkan pada anak-anak kita! Mari kita mulai hari-hari dengan anak-anak dengan kebahagiaan, memancarkan semangat untuk terus membuka ide-ide baru. Jadikan kebahagiaan sebagai strategi dan tujuan untuk di kelas. Dengan demikian, kita memperbaiki produktivitas dan meningkatkan kecerdasan sosial dan emosional anak. Bukankah kita ingin anak-anak menjadi cerdas dengan raut wajah bahagia? Bukan sebaliknya, nilai tinggi didapat tapi penuh kecemasan dan ketakutan. Silahkan pilih!

Selamat mendampingi anak-anak Anda belajar dengan penuh kebahagiaan, mulai dari sekarang.

#janganlupabahagia

#teachlikefinland

Salam,

Beti.MC

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun