Mohon tunggu...
Mursyid Burhanuddin
Mursyid Burhanuddin Mohon Tunggu... Administrasi - Direktur

Dewan Pertimbangan Ikatan Penerbit Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penulis Kuno di Era Digital

25 Maret 2018   16:29 Diperbarui: 25 Maret 2018   17:11 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: ensiklo.com

Saat itu saya lagi minum kopi di kedai yang tak jauh dari rumah. Tiba-tiba dikejutkan oleh dering suara smartphone saya. Dari seberang sana, terdengar oleh saya suara seseorang yang saat itu sedang berada di Flores. Ia adalah seorang penulis yang sedang menawarkan naskahnya untuk kami terbitkan. Kami memang sedang menjajaki kemungkinan menerbitkan beberapa naskah baru untuk tahun ini. Kalaupun tidak terkejar, toh masih bisa diterbitkan tahun depan, pikir saya.

"Memangnya naskah sudah siap, Pak?" tanya saya.

"Sudah. Tulisan tangan," katanya. Ia menyebutkan beberapa naskah kepada saya serta memberikan penjelasan dan pertimbangan-pertimbangan.

Di kalangan penerbitan ia dikenal sebagai penulis senior. Sudah banyak naskahnya yang diterbitkan. Ia juga sudah terbiasa memberikan pelatihan guru-guru dengan konsep dan metode praktis yang ditemukannya. Lalu, dikembangkannya sekaligus sebagai nilai tambah dari buku-buku yang ditulisnya. Dengan konsep yang benar dan metode praktis itu para pembaca akan lebih mudah memahami konsep dasar dan bagaimana menyelesaikan soal-soal yang rumit dengan cara lebih mudah. Uniknya, ia menulis naskah pakai bolpoin. Bukan diketik di laptop atau di komputer.

Dalam hal pemanfaatan teknologi, saya lebih mendingan ketimbang dirinya. Bahkan, bisa jadi saya tergolong "kaum gadget." Yang hampir separoh urusan berhubungan dan tak bisa lepas dengan peranti itu.  

Tapi, ternyata ia tidak. Bahkan, smartphone pun ia gunakan hanya sesekali saja. Untuk menelpon atau mengirim SMS. Mungkin ia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan sebagian orang seperti "putus hidupnya" jika seharian tidak pegang smartphone dan tidak menggunakan media sosial.

Tentu ia tidak sendirian dengan sikapnya yang demikian.

Beberapa penulis kawakan juga sudah terbiasa untuk tidak bergantung pada kecanggihan teknologi. Bahkan, banyak diantara mereka lebih memilih membaca buku (edisi cetak) dan tetap menggunakan mesin ketik. Mereka juga enggan beralih ke komputer. Salah satunya adalah Suparto Brata.

"Dua ratus novel saya tulis pakai mesin ketik ini, Mas. Saya tidak tahu cara menggunakan komputer," kata Suparto Brata kepada saya waktu itu.

Suparto Brata adalah sastrawan asal Surabaya. Rumahnya tak jauh dengan tempat tinggal saya. Ketika masih hidup, ia beberapa kali mengajak saya masuk ke kamar kerjanya yang cukup lapang dan menunjukkan berderet-deret buku yang sebagian diterbitkan oleh Gramedia. Tak lupa, ia memamerkan koleksi mesin ketik tua yang setia menemaninya selama puluhan tahun di kamar itu. Ia tidak pernah membuat sketsa tulisan terlebih dulu dan langsung mengetiknya begitu saja, itu menjadi ciri khas dan kehebatannya. Jika perlu ada perbaikan, ia tinggal menghapusnya pakai tipp-ex.

Emha Ainun Najib, atau yang lebih dikenal dengan Cak Nun, juga begitu. Jika saat ini kita sodori mesin ketik dan kertas, ia akan melahapnya dan dengan cepat sebuah karya akan diselesaikannya. Kebiasaan seperti itu bermula dari kondisi kepepet, ketika ia masih menempati rumah petak ukuran 4 x 4 meter. Ketika itu Sabrang (Letto) masih bayi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun