Mohon tunggu...
Suci Ayu Latifah
Suci Ayu Latifah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Satu Tekad Satu Tujuan

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Resolusi Suci Ayu Latifah "Ketika Aku Ingin..."

23 Juli 2019   21:20 Diperbarui: 23 Juli 2019   21:25 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di suatu hari, sekitar aku berusia empat tahun, datanglah seseorang ke rumah. Waktu itu, aku tengah bersama Ayah duduk-duduk di teras. Sementara Ibu pergi ke toko. Nenek menyapu halaman. Laki-laki itu datang seorang diri. Usai menanyakan kabar keluarga, laki-laki itu memberikan informasi duka kepada Ayah. Bahwasannya adik perempuan Ayah, Bulik Sumarni telah meninggal dunia di tempat kerja.

Cerita punya cerita, Bulik sempat dirawat tiga hari di rumah sakit karena sakit demam dan pusing. Sebelum masuk rumah sakit, sekitar seminggu sudah sakit. Karena tuntutan pabrik, Bulik menguatkan diri tetap kerja.  Akhirnya, di suatu siang pingsanlah, dan dilarikan ke rumah sakit. Di suatu malam, setelah mendapat perawatan Bulik menghembuskan napas terakhir. Saat itu, Bulik belum menikah. Rencana masih tahun besar akan dilamar oleh kekasih satu kerjaan.

Mendengar kabar duka itu, nenek yang semula menyapu ikut nimbrung. Dan, sebentar kemudian Ibu datang dengan barang belanjaan yang niatnya akan dibawa menjenguk nenek yang ada di Pangkal. Tanpa menunggu lama, lelaki itu membawa Ayahku ke Pangkal. Sebab, keluarga Pangkal termasuk nenek belum tahu kabar ini. Saudara yang di Pangkal tidak berani memberitahu nenek. Biarkan anaknya yang memberitahukan, pikir mereka. Padahal, selain Ayah, anak nenek yang satunya juga ada di Pangkal. Entah karena apa, beliau juga tak tega memberitahukan ini pada nenek.Karena, Paklik sendiri begitu mendengar itu sontak menangis, seperti tidak percaya bahwa adik perempuan satu-satunya itu meninggal.

Bersama ayah, aku pergi ke rumah Nenek Pangkal terlebih dahulu. Ibuku menyusul bersama kedua adiknya laki-laki. Tibanya di Pangkal, suasana rumah sepi. Nenek sedang masak di dapur. Tahu kedatanganku, Nenek senang sekali. Beliau langsung menggendongku, lalu menunjukkan masakannya. Ya, hari itu Nenek memasak tempe goreng, kesukaanku. Nenek paling tahu, aku akan datang sehingga beliau membuat tempe goreng, canda Nenek waktu itu.

Riangnya menggendong cucu perempuan pertamanya, Ayah mendekati kami. Ayah mengajak kami duduk di jogan (ruang tamu berbentuk lesehan). Aku duduk di samping Nenek. Tak lama dari itu, adik Ayah laki-laki, bernama Boyani datang. Beliau mengajak Aziz, anak lelaki tunggalnya dengan Katin. Kami duduk bersama di jogan. Ayah membuka obrolan. Ayah bercerita kalau Bulik sakit demam di Blitar. Karena sakitnya parah, Bulik dibawa pulang saja.

Alangkah terkejutnya Nenek mendengar kabar itu. Beliau meneteskan air mata, karena tak tega melihat anak prawannya sakit di tempat kerja. Dengan sifat ke-bapak-an, Paklik Boyani merangkul Nenek, ia tak kuasa ikut menangis dan memeluk Nenek dengan erat. Kemudian, membisikkan bilamana Bulik sudah dijemput oleh Tuhan. Kilat telah berlalu disusul guntur menggelegar, tangis menjadi satu. Tak kuasa, Nenek meraung-raung baik harimau kelaparan. Karena aku masih terlalu belia aku biasa, tak ada rasa takut, hanya saja kasihan melihat Nenek yang sebentar kemudian pingsan, sadar, lalu pingsan lagi.

Nenek dibawa ke kamar untuk ditenangkan. Ayah segera pergi ke masjid untuk mengumumkan kematian Bulik. Sementara, Paklik mengondisikan tempat pemandian, kayu untuk patok nisan, dan piranti lainnya. Aku ikut Nenek di kamar. Tak lama kemudian, beberapa orang ibu-ibu datang ke rumah. Mereka ada yang langsung ke dapur, ada yang mencari bunga lalu dirangkai, dan adapula yang menemani menenangkan Nenek. Aku terpaku melihat Nenek yang terus menangis. Muncul rasa kasihan, ingin memeluk Nenek. Tapi siapa nyana, ketika aku mendekat, Nenek tanpa sadar menendangku. Aku pun menangis. Seseorang ibu membawaku keluar. Ibu itu membawaku ke sebuah rumah. Ia memberiku obat oles pada tanganku yang terkena tendangan Nenek.

Setelah kejadian itu, aku tidak tahu apa yang terjadi pada Nenek. Aku juga tidak tahu bagaimana Bulik saat belum dimasukkan liang lahat. Satu jam kemudian, setelah ibu itu menitipanku pada anak tetangga, Ibu datang. Ia menggendongku. Kutanyakan pada Ibu, apakah Bulik sudah datang. Ibu menjawab, sudah dimakamkan.

Semenjak kematian Bulik, kami tinggal di Pangkal untuk menemani Nenek Pangkal. Sementara waktu aku kehilangan  atau tepatnya tak bersama lagi oleh teman-teman di Sawoo. Kata Ibu, kalau kangen Nenek Sawoo, bisa menjenguk sewaktu-waktu. Kalau kangen bermain, bisa bermain saat berkunjung ke rumah Nenek Sawoo. Aku mengikut saja apa kata Ibu, karena Ibu lebih tahu mana yang terbaik.

***

Hari-hari di Pangkal, aku merasa sendirian. Belum memiliki teman baru. Tiba-tiba rasa kangen kepada teman lama membuncah. Sekadar pelepas rindu, aku bermain sendiri membuat patung dari tanah dan bermain kelereng. Sebenarnya, aku belum punya kelereng. Kelereng yang aku mainkan ini milik teman lelakiku, Arif. Sempat ia meminjamkan kelereng untukku, dan belum aku kembalikan.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun