Bunga berbaris di depan rumah, usai dimandikan. Mereka sibuk memasak diri. Beberapa hari sebelumnya, bunga-bunga itu hampir mati diterkam kambing tetangga. Beruntunglah pemiliknya segera terbangun dari ranjangnya yang khusyuk.
Bersahabat dengan terik menjadi kulit Pak Mayo menghitam. Ia tak pernah memakai baju lengan panjang yang pantas untuk kulitnya. Ia juga tak sudi memakai sepatu yang pantas untuk kakinya. Kulit dan kakinya dibiarkan. Pikirnya sederhana, "Toh sudah punya istri. Mau apa lagi orang sudah tua, tinggal menunggu kapan giliran."
Sederhana orangnya, tak serumit tetangganya yang rajin ke salon misalnya. Juga harus menjelma lutung kasarung saat bertempur dengan terik.
"Iblis benar hewan ini!" geram lelaki beruban itu di antara pepadi yang terserang walang sangit.
"Sudah kubilang berkali-kali jangan ganggu tanamanku. Jangan mampir di ladang, masih tetap saja. Aku tidak ingin kalian mati gara-gara aku. Pergi. Pergi sana!"
***
Secuil cerita dari ladang adalah kisah para petani. Menjaga tanaman serupa ia menjaga anak-anaknya. Seperti kisah lain si Penjaga Bunga.
Setiap hari bunga-bunga miliknya harus disiram, kalanya diberi rabuk untuk membantu nutrisi tanah dan tanaman. Kadang pula, bunga-bunga itu tumbuh dengan tak subur. Si Penjaga Bunga pun sedih. Kembali ia rawat dengan baik, sangat baik, supaya bunga-bunganya subur, tumbuh dengan kokoh, lalu berbunga indah.
Tibalah, bunga itu dewasa. Kemudian, saling bermekaran menunjukkan keindahannya.
Datanglah pencinta bunga.
"Bolehkan aku membeli bunga cantik itu?" kata Sang Pembeli.