Lembaga legislatif sebagai sebuah lembaga perwakilan bagi sebuah negara yang menganut sistem trias politika tentu saja memiliki peran yang signifikan. Peran lembaga legislatif sebagai pembuat undang-undang dan juga menyampaikan aspirasi rakyat tentu saja menjadi hal yang vital dalam sebuah sistem pemerintahan.Â
Lembaga legislatif yang mana di dalamnya di duduki oleh beberapa orang, baik laki-laki ataupun perempuan memiliki hak yang sama atau sederajat. Aspirasi mereka tentu saja harus tetap di dengar tanpa adanya diskriminasi gender. Walaupun memang pada faktanya di lapangan budaya patriarki masih mendarah daging dalam kultur pemerintahan di Indonesia. Lelaki selalu dianggap memiliki peran yang lebih besar dan juga lebih di dengar ketimbang perempuan. Dengan adanya fakta seperti ini, tentu saja menjadi hal yang sangat miris bagi para perempuan-perempuan yang ingin berkontestasi dalam politik negara.
DPR RI sebagai lembaga legislatif di Indonesia sebenarnya memiliki aturan tersendiri mengenai keterwakilan perempuan dalam kursi legislatif. Perempuan diberikan porsi tersendiri agar mereka diberikan kesempatan lebih ketimbang laki-laki.Â
Affirmative action sebagai sebuah kebijakan yang mana memberikan kuota sebesar 30% bagi perempuan untuk bisa masuk kedalam lembaga legislatif, akan tetapi dari tahun 2009 hingga terakhir tahun 2019 kuota tersebut masih belum terpenuhi. Padahal dengan adanya aturan ini tentu saja membantu agar perempuan memiliki peran yang lebih dan juga mendapatkan perhatian khusus dalam setiap kebijakan-kebijakan yang akan dibuat kedepannya.Â
Dengan adanya kebijakan seperti ini tentu saja diharapkan dapat mengurangi adanya diskriminasi gender, yang mana sampai sekarang ini masih kasus-kasus diskriminasi gender masih sering terjadi. Walaupun memang tidak bisa dipungkiri sistem kaderisasi partai politik di Indonesia yang memang belum secara demokratis terhadap semua gender dan juga stigma politik yang buruk di masyarakat terkait sosok kepemimpinan perempuan, membuat sulit melahirkan sosok-sosok kartini dalam panggung legislatif nasional.
Jika kita sekarang melihat di dalam lembaga legislatif tingkat keterisiaan kuota affirmative action setiap tahunnya memang meningkat. Akan tetapi, tingkat keterisiaannya masih jauh dibandingkan kuota yang disediakan. Pada tahun 2009-2014 tingkat keterisiaannya hanya sebesar 18.04%, di tahun 2014-2019 hanya sebesar 17.86%, sedangkan di tahun 2019-2024 hanya 20.52%.Â
Hal ini menandakan bahwasannya memang perjuangan perempuan untuk ikut andil dalam sebuah sistem pemerintahan masih sangatlah tampak. Tentu saja ini menjadi nilai plus bagi sistem pemerintahan kita. Dimana agar nantinya hak-hak perempuan ini tetaplah diperhitungkan dan juga diberikan perhatian lebih.Â
Posisi perempuan tidak bisa kita anggap remeh dalam lingkup kekuasaan legislatif. Buktinya saja saat ini jabatan Ketua DPR RI dipegang oleh sosok perempuan yang sudah seringkali kita dengar namanya. Dengan adanya kondisi seperti ini, tentu saja menjadi sebuah momentum yang baik bagi perempuan untuk menghapus stigma-stigma yang ada di masyarakat. Rancangan undang-undang mengenai perempuan yang seringkali mencuat di media publik seharusnya dapat lebih mudah untuk di sahkan. Seperti RUU P-KS, RUU Pemilu, RUU Partai Politik, dan RUU Pekerja Rumah Tangga yang memang dimana di dalamnya mengatur terkait hak-hak perempuan.Â
Kesempatan-kesempatan saat ini dimana memang tingkat keterisiaan perempuan di dalam lembaga legislatif yang semakin meningkat, seharusnya menjadi titik awal kebangkitan perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya. Sosok Kartini diharapkan dapat muncul kepermukaan untuk membuktikan bahwasannya memang perempuan tidak bisa diremehkan. Baik perempuan maupun laki-laki mereka semua memiliki hak atas proses demokrasi mereka masing-masing. Tidak ada kebebasan yang destruksikan kebebasan kelompok/gender tertentu (gender maupun profesi).