Beberapa tahun terakhir, istilah hustle culture atau budaya “kerja terus-menerus” menjadi sangat populer di kalangan anak muda, terutama mereka yang aktif di media sosial, dunia startup, kreatif, atau freelancing. Hustle culture digambarkan sebagai gaya hidup produktif yang penuh semangat, ambisi, dan kerja tanpa lelah untuk mengejar kesuksesan finansial maupun personal. Kutipan-kutipan seperti “sleep is for the weak”, “grind now, rest later”, atau “you have the same 24 hours as Elon Musk” menjadi slogan tidak resmi dari budaya ini.
Secara etimologis, istilah hustle culture berasal dari kata Bahasa Inggris, hustle, yang berarti antara lain aksi energik, mendorong seseorang agar bisa bergerak lebih cepat secara agresif, dipadukan dengan kata culture yang berarti budaya. Sedangkan definisi hustle culture menurut pakar psikologi adalah budaya yang membuat seseorang menganut workaholism atau gila kerja (Setyawati, 2020). Istilah workaholism diperkenalkan pertama kali oleh Wayne Oates dalam bukunya yang berjudul Confessions of a Workaholic : the Facts About Work Addiction pada tahun 1971. Kini tren hustle culture dimaknai sebagai suatu keadaan bekerja terlalu keras dan mendorong diri sendiri untuk melampaui batas kemampuan hingga akhirnya menjadi gaya hidup. Dengan kata lain, tiada hari tanpa bekerja, hingga tak ada lagi waktu untuk kehidupan pribadi. Budaya gila kerja inilah yang telah menjadi standar bagi sebagian orang untuk mengukur hal-hal seperti produktivitas dan kinerja.
Hustle culture juga bukan hanya fenomena barat, tetapi telah menjalar dan mengambil bentuk lokal melalui tagar seperti #kerjakerasbagaikuda, #budakkorporat, dan #pantangpulangsebelumterang. Hal ini terjadi terutama di kota besar seperti Jakarta dan Tangerang. Hustle culture juga bukan sesuatu yang tiba-tiba, melainkan berakar dari sejarah panjang sistem ekonomi, dimulai dari Scientific Management oleh Frederick Taylor yang menekankan produktivitas sebagai ukuran nilai kerja, hingga kapitalisme neoliberal yang menuntut fleksibilitas total dan self-branding sebagai bentuk eksistensi diri.
Dilansir dari Youtube SIGMA TV UNJ, menurut Ade Lestari, M.Psi, yang merupakan seorang psikolog,
“ada beberapa faktor yang membuat generasi muda terlibat dalam hustle culture, baik yang disadari maupun tidak disadari. faktor pertama adalah adanya tekanan sosial yang seakan akan memberikan standar keberhasilan seorang pemuda, sehingga menimbulkan kecemasan juga. Selain itu, faktor tekanan finansial bahwa kita sangat erat dengan fenomena sandwich generation, bahwa kita sebagai kaula muda dituntut untuk bisa mandiri memenuhi kebutuhan diri sendiri. Tapi, kita perlu untuk mempersiapkan finansial kita untuk persiapan masa depan, tapi bisa saja kita terjerat pada kondisi keuangan yang dibutuhkan oleh keluarga asal kita. Jadi kondisi-kondisi finansial seperti ini yang seringkali menimbulkan kecemasan dan membuat si kaula muda merasa bahwa aku harus bekerja lebih lama, lebih keras untuk bisa mencapai tujuan keuangan.”
Fenomena ini juga tidak bisa dilepaskan dari meningkatnya paparan media sosial yang menampilkan gaya hidup sukses secara instan. Dalam konteks ini, hustle culture bukan sekadar gaya hidup individual, melainkan sebuah konstruksi sosial yang muncul dari tekanan kapitalisme lanjut, dinamika kelas sosial, dan krisis identitas dalam era digital. Seperti disampaikan oleh Perić (2023), dalam masyarakat neoliberal, produktivitas dan performa menjadi ukuran utama keberhargaan individu, bahkan mengalahkan nilai-nilai sosial dan spiritual lainnya.
Analisis Sosiologis
a. Hustle Culture dan Kapitalisme Laten
Hustle culture sejatinya merupakan kelanjutan dari nilai-nilai kapitalisme modern yang menempatkan produktivitas sebagai ukuran utama nilai manusia. Dalam sistem ini, waktu luang dipandang sebagai kemewahan atau bahkan kelemahan. Karl Marx dalam teori alienasi menyebutkan bahwa dalam kapitalisme, manusia terasing dari hasil kerjanya, dari dirinya sendiri, dan dari orang lain.
Dalam hustle culture, anak muda bekerja terus-menerus, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan, tetapi juga untuk membuktikan eksistensi dan self-worth mereka. Akun media sosial menjadi etalase keberhasilan; semakin sibuk dan produktif seseorang terlihat, semakin tinggi pula status sosialnya. Ini menciptakan tekanan psikologis kolektif bahwa “jika kamu tidak sibuk, kamu gagal.”