Dalam peraturan tersebut antara lain disebutkan bahwa  lebar jalur hijau ditetapkan 130 kali nilai rata-rata selisih air pasang tertinggi dan terendah tahunan yang diukur dari garis air surut terendah ke arah daratan.Â
Namun, dalam pelaksanaannya juga perlu diperhatikan kekuatan gelombang, tinggi pasang surut, kekuatan angin, struktur pantai, kondisi penggunaan lahan pesisir, serta kepadatan permukiman dan sosial ekonomi penduduknya.
Pemecah Gelombang Sejajar Pantai, dibuat terpisah ke arah lepas pantai, tetapi masih di dalam zona gelombang pecah (breaking zone). Bagian sisi luar pemecah gelombang memberikan perlindungan dengan meredam energi gelombang sehingga gelombang dan arus di belakangnya dapat dikurangi.Â
Pantai di belakang struktur akan stabil dengan terbentuknya endapan sedimen. Pencegahan abrasi dengan membangun pemecah gelombang buatan di sekitar pantai dengan maksud untuk mengurangi abrasi yang terjadi tanpa dibarengi dengan usaha konservasi ekosistem pantai (seperti penanaman bakau dan/atau konservasi terumbu karang).Â
Akibatnya, dalam beberapa tahun kemudian abrasi kembali terjadi karena pemecah gelombang buatan tersebut tidak mampu terus-menerus menahan terjangan gelombang laut.Â
Namun, sering kali pengalaman tersebut tidak dijadikan pelajaran dalam menetapkan kebijakan selanjutnya dalam upaya mencegah ataupun mengatasi
Penanganan abrasi pantai memang sulit. Solusi di atas memiliki resiko dan kekurangan masing-masing. Pemasangan alat pemecah ombak tentunya memerlukan biaya yang sangat besar, waktu yang lama, dan wilayah yang luas sedangkan penanaman vegetasi mangrove pun tidak dapat dilakukan di semua  jenis pantai karena mangrove hanya tumbuh di daerah yang berlumpur.Â
Hal ini akan menjadi sangat sulit karena sebagian besar pantai di Indonesia merupakan perairan yang dasarnya tertutupi oleh pasir. Seperti kita ketahui bahwa tanaman bakau tidak dapat tumbuh pada daerah berpasir.
Tidak hanya itu, rehabilitasi hutan mangrove juga memiliki kendala di pemerintahannya sendiri. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, kewenangan Pemerintah Pusat dalam rehabilitasi hutan dan lahan, termasuk hutan mangrove hanya terbatas menetapkan pola umum sedangkan penyelenggaraan oleh pemerintah daerah.Â
Jadi, keputusan untuk pemulihan lahan masih diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Tetapi meskipun sangat sulit, usaha untuk mengatasi abrasi ini harus terus dilakukan.Â
Jika masalah abrasi ini tidak segera ditanggulangi, maka bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan luas daratan di Indonesia banyak yang akan berkurang. Bahkan beberapa pulau terancam hilang.Â