Dalam pengelolaan pesisir, terdapat beberapa masalah yang sering muncul, seperti  pengelolaan daerah pesisir belum diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan lebih tinggi, sehingga daerah terlihat kesulitan dalam menetapkan suatu kebijakan terkait dengan wilayah pesisir; pemanfaatan dan pengelolaan yang bersifat sektoral kedaerahan sehingga mengakibatkan sering terjadinya tumpang tindih antar aturan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam mengatur daerah pesisir; konsep kesatuan ekosistem biota pesisir yang satu kesatuan ekosistem yang tidak dibatasi wilayah administratif pemerintahan, sehingga secara pelaksanaan di lapangan bisa menimbulkan konflik antara pemerintahan daerah terkait pelaksanaan ataupun pola pengembangan ekosistem biota laut pesisir dan masih banyaknya multitafsir dalam pelaksanaan kewenangan daerah, tiap daerah seolah-olah memiliki peran sehingga gesekan penafsiran kepemilikan dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir sering terjadi.
Konsep pengelolaan pesisir terpadu secara perencanaan strategis menghendaki adanya keberlanjutan dalam pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir.Â
Pemanfaatan wilayah tersebut dapat ilakukan dalam berbagai sektor, seperti pemanfaatan kawasan pesisir untuk mengejar pertumubuhan ekonomi masyarakat jangka pendek maupun jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi ini juga berimbas pada kebijakan para stakeholder untuk memelihara dan mendukung kualitas lingkungan wilayah pesisir.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 abrasi adalah  proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang  bersifat merusak yang dipicu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah  pantai tersebut.Â
Abrasi pantai tidak hanya membuat garis-garis pantai menjadi semakin sempit, tapi bila dibiarkan begitu saja akibatnya bisa menjadi lebih berbahaya. Seperti kita ketahui, negara kita Indonesia sangat terkenal dengan keindahan pantainya.Â
Setiap tahun banyak wisatawan dari mancanegara berdatangan ke Indonesia untuk menikmati panorama pantainya yang sangat indah. Apabila pantai sudah mengalami abrasi, maka tidak akan ada lagi wisatawan yang datang untuk mengunjunginya.Â
Hal ini tentunya sedikit banyak akan mempengaruhi perekonomian di Indonesia karena secara otomatis devisa negara dari sektor pariwisata akan mengalami penurunan.
Upaya untuk menanggulangi bencana abrasi yakni dengan rehabilitasi hiutan mangrove dan pemasangan alat pemecah ombak. Untuk melindungi wilayah pesisir dari ancaman abrasi, angin laut, penyusupan air asin ke arah daratan, menyerap bahan pencemar, serta mempertahankan produktivitas pantai dan laut, perlu dibuat zona perlindungan wilayah pesisir dengan pembangunan hutan mangrove ataupun hutan pantai.Â
Peran hutan mangrove bagi stabilitas wilayah pesisir, semakin kuat dibahas setelah terjadi tsunami 26 Desember 2004. Banyak kalangan semakin menyadari akan pentingnya hutan mangrove sebagai pelindung wilayah pesisir dari berbagai ancaman bencana alam, termasuk tsunami. Ekosistem kawasan pesisir akan semakin stabil jika semakin tertutup oleh hutan mangrove.
Dilansir dari E-Jurnal Binawakya(2019), daerah perlindungan mangrove dirancang sebagai satu kesatuan dengan mangrove silvofishery, sehingga secara keseluruhan membentuk jalur hijau, baik di sempadan pantai maupun di sempadan sungai.Â
Peraturan yang berlaku yang dapat dipergunakan sebagai dasar konservasi mangrove antara lain adalah Inmendagri No. 26 tahun 1997 tentang Jalur Hijau Mangrove dan Keppres No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.Â