Mohon tunggu...
MEX MALAOF
MEX MALAOF Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Terus Bertumbuh dan Berbuah Bagi Banyak Orang

Tuhan Turut Bekerja Dalam Segala Sesuatunya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hindari Calon Mertua Bermental Kompor dan Kuali

19 Maret 2021   01:11 Diperbarui: 19 Maret 2021   01:18 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Sejatinya, yang mengambil keputusan untuk hidup bersama sebagai suami-istri dalam satu keluarga adalah seorang lelaki dan seorang perempuan muda, yang sudah saling mengenal secara baik dan matang, selama menjalani masa pacaran dalam waktu tertentu. 

Mereka berdualah yang akan menjalani atau mengarungi ganas dan tenangnya bahtera rumah tangga tersebut bukan orang lain, termasuk orangtua kedua belah pihak. 

Orangtua bersama dengan pihak lain, hanya memberikan dukungan, perhatian, dan berbagai hal baik lainnya untuk melengkapi dan menyempurnakan apa yang sudah direncanakan, diimpikan, dan dicita-citakan oleh keduanya.

Oleh karena itu, selepas seorang pria dan seorang wanita dinyatakan resmi atau sah sebagai suami istri lewat suatu upacara ritual keagamaan tertentu, mereka memiliki hak dan kewajiban untuk mengurus, mengatur, menata dan meniti kehidupan keluarga mereka sendiri. 

Segala persoalan, suka-duka, sehat-sakit, untung-malang, pahit-manis, dan lain sebagainya, menjadi tanggungan keduanya. Itulah janji yang harus mereka perjuangkan dan wujudnyatakan guna sampai pada kebahagiaan mereka sebagai suami-istri. 

Orangtua tidak perlu campur tangan, apalagi sampai mendikte kehidupan anak-anak sampai hal-hal yang sebenarnya menjadi urusan atau rahasia rumah tangga mereka. 

Menjadi pertanyaan adalah mengapa masih saja ada orangtua tertentu yang getol mencampuri urusan atau persoalan rumah tangga anak-anak mereka? Terlalu sayangkah? kurang yakinkah dengan pasangan anak sendiri? atau mau supaya kehidupan anak-anak sama seperti kehidupan mereka? 

Masih banyak pertanyaan lain yang bisa dimunculkan sehubungan dengan hal ini, tergantung motivasi, harapan, dan cita-cita masing-masing orangtua terhadap anak-anaknya. 

Akan tetapi, wajarkah kalau kemudian hanya karena alasan rasa sayang yang sebenarnya keliru atau karena ego orangtua yang rasanya berlebihan dan tidak terwujud, lalu mengambil sikap untuk mencampuri urusan rumah tangga anak-anak, bahkan sampai menghancurkan mereka? 

Mungkin ada orangtua yang berkilah bahwa tidak mungkin itu terjadi. Orangtua mana yang mau keluarga anak hancur? Kenyataannya masih ada yang terjadi demikian.

Walaupun jaman ini semakin modern akan tetapi, masih saja terdapat pola pikir keliru yang melekat pada orangtua-orangtua tertentu dalam menyikapi persoalan yang terjadi dalam keluarga anak-anak. 

Masih saja ada orangtua yang karena alasan sayang atau tidak mau anaknya menderita setelah menikah, turut bermain api, memanas-manasi, dan menggoreng permasalahan yang terjadi dalam keluarga anaknya. 

Ketika terjadi persoalan dalam keluarga anak, sebagai orangtua, bukannya mencari dan menemukan solusi untuk menyelesaikannya, malahan membuat permasalahan semakin rumit.

Para orangtua yang bermental kompor dan kuali, ketika berhadapan dengan masalah yang terjadi dalam keluarga anak-anak, selalu mengungkit kejadian-kejadian masa lalu, bahkan membawa-bawa latar belakang dan budaya yang masih melekat pada tempat-tempat tertentu. "Itukan, dulu ibu sudah bilang, si anu itu tak becus tapi kamu masih mau juga. Apa yang terjadi sekarang? Ah... dulu kami tidak setuju karena dia tak punya pekerjaan tapi kamu yang mau. Rasakanlah itu". 

Ada juga yang orangtua tertentu yang tak jarang memberi ultimatum. "Kalau kamu tidak bisa memberikan keturunan untuk keluarga kami maka, kamu akan ditinggalkan. Kalau kamu tidak sanggup membiayai atau menjamin kehidupan anak kami maka, kami akan menjemputnya", dan lain sebagainya. 

Apa yang terjadi dalam keluarga anak, kalau memiliki mertua bermental kompor dan kuali yang hanya bisa memanas-manasi dan menggoreng persoalan? Cepat atau lambat keluarga anak akan bubar. Oleh karena itu, penting untuk mengenal secara baik juga bagaimana mental dan pola pikir calon mentua sebelum menikahi anaknya. 

Pada umumnya, para calon mertua yang bermental kompor dan kuali, akan nampak dalam tutur kata, sikap, dan cara memperlakukan anak-anaknya. Ada perhatian dan kasih sayang yang berlebihan, suka mengatur dan mengendalikan anak-anak di luar batas, maunya anak-anak mementingkan keinginan dan kehendak mereka, tidak memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk memilih dan menentukan hidup, dan lain sebagainya. 

Masing-masing orangtua, harus diakui bahwa memiliki harapan yang besar agar anak-anaknya memiliki keluarga yang baik dan bahagia. Akan tetapi, untuk mewujudkan harapan itu, tidak perlu harus mengatur dan mendikte urusan rumah tangga anak-anak. 

Sejauh mereka masih mampu menyelesaikan persoalan dalam keluarga sendiri secara baik-baik, orangtua tidak perlu mencari-cari alasan untuk membuat suasana semakin keruh bahkan gelap. 

Orangtua seharunya adil, tidak memihak, tidak berat sebelah (membela dan memihak anak sendiri), lalu menyelesaikan persoalan keluarga anak-anak dengan mengambil jalan pintas (suruh cerai, dibawa kembali ke rumah, memberi materi tanpa sepengetahuan pihak isteri atau suami anak, dan lain sebagainya).

SALAM

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun