"Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat"---ungkapan Abraham Lincoln ini menjadi salah satu dasar dan prinsip pelaksanaan demokrasi di dunia, termasuk di Indonesia. Dalam hukum dan tata negara Indonesia, demokrasi mendapat tempat istimewa, yakni dalam Pancasila, khususnya sila keempat yang berbunyi: "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan."
Kebebasan berpendapat sejatinya juga telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), tepatnya Pasal 28E ayat (3), serta diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Banyak pihak menilai bahwa pelaksanaan demokrasi yang sesungguhnya baru terjadi setelah lengsernya rezim Soeharto pada tahun 1998. Sebelumnya, demokrasi seolah tertutup oleh kenyataan pahit yang membuat kita meneteskan air mata ketika mengingatnya: pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, kolusi, nepotisme, pemilu yang telah diatur, pembredelan media, dan lain-lain.
Setelah berakhirnya Orde Baru, perbaikan fungsi hukum dan demokrasi menjadi salah satu fokus utama pemerintah saat itu, tentunya disertai pula dengan pemulihan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan berbagai masalah lainnya. Kebebasan menjadi salah satu hal penting yang diperjuangkan.
Secara perlahan, berbagai undang-undang mulai diciptakan untuk menjamin kebebasan berpendapat bagi setiap warga negara. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Sejak saat itu, masyarakat memiliki hak untuk menyampaikan pendapat tanpa dibatasi oleh negara.
Namun, pertanyaan yang muncul dalam benak saya adalah: apakah undang-undang yang diciptakan untuk menjamin kebebasan berpendapat ini benar-benar digunakan untuk membangun bangsa melalui kritik konstruktif, atau justru dijadikan media oleh individu atau kelompok tertentu yang memiliki agenda lain, seperti kepentingan ekonomi atau politik?
Persoalan mengenai kebebasan berpendapat ini kembali mencuat pada masa-masa panas politik di Indonesia, khususnya menjelang pemilihan presiden. Banyak kelompok merasa dikriminalisasi ketika menyampaikan pendapat di ruang publik.
Peristiwa yang muncul adalah terdapat sekelompok orang yang tersinggung, keberatan, dan merasa dicemarkan nama baiknya oleh karena pendapat yang disampaikan oleh kelompok lainnya. Sering kali terjadi peristiwa yang memberikan kesan kepada masyarakat bahwa proses penegakan hukum terkait kebebasan berpendapat bersifat tumpul ke atas dan tajam ke bawah, atau terkesan membela salah satu pihak saja.
Hal inilah yang kemudian memunculkan stigma negatif di tengah masyarakat bahwa proses demokrasi tidak berjalan dengan baik dan lancar, karena adanya campur tangan berbagai kepentingan---baik politik, ekonomi, kebudayaan, sosial, maupun lainnya.
Belakangan ini, muncul fenomena di mana banyak pihak menyampaikan ujaran kebencian, penghinaan, dan ungkapan-ungkapan yang dinilai merendahkan pihak lain, namun tetap berlindung di balik prinsip bahwa kebebasan berpendapat dilindungi oleh undang-undang. Secara umum, banyak yang mencibir atau mencemarkan nama baik orang lain, tetapi menganggap hal tersebut sebagai bagian dari praktik demokrasi.
Fenomena inilah yang kemudian menimbulkan pergesekan dan benturan di tengah masyarakat, khususnya terkait bagaimana seharusnya proses penegakan hukum dijalankan dan bagaimana arah keberlangsungan demokrasi ke depannya jika semakin banyak orang berlindung di balik asas kebebasan berpendapat.
Di sisi lain, pemerintah juga telah mengeluarkan beberapa regulasi dan undang-undang yang dapat digunakan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan, serta menyediakan mekanisme hukum untuk menindaklanjuti kasus-kasus tersebut. Namun demikian, sering kali muncul persoalan ketika seseorang merasa tidak mencemarkan nama baik pihak lain, sementara pihak yang merasa dicemarkan menganggap dirinya telah dirugikan.