Di era media sosial, dakwah menemukan ruang baru: dakwah digital.
Tidak lagi terbatas di mimbar atau majelis taklim, pesan-pesan keagamaan kini melintasi batas waktu dan ruang melalui video pendek, podcast, atau postingan sederhana di media sosial.
Namun, di balik kemudahannya, dakwah digital juga menghadapi tantangan yang lebih kompleks  algoritma.
Algoritma media sosial bekerja berdasarkan engagement, bukan kebenaran.
Semakin banyak reaksi entah suka, komentar, atau bahkan perdebatan semakin besar peluang sebuah konten muncul di beranda pengguna lain. Akibatnya, konten yang provokatif sering kali lebih cepat viral dibanding konten yang mendidik.
Muhlis dan Musliadi dalam jurnal Retorika (2021) menegaskan, dakwah digital harus cerdas membaca pola algoritmik ini. "Dakwah di media sosial bukan sekadar soal isi pesan, tapi juga strategi agar pesan profetik bisa bertahan di ekosistem yang dikuasai mesin," tulis mereka.
Di sinilah fathanah (kebijaksanaan) dalam komunikasi profetik diuji: bagaimana mengolah pesan yang tetap bernilai, tetapi tetap mampu bersaing dalam logika algoritmik yang menuntut kecepatan dan perhatian.
Ujian Etika di Era Kecepatan
Namun mempertahankan komunikasi profetik di dunia digital bukanlah perkara mudah. Di platform yang menghargai kecepatan dan viralitas, manusia kerap kehilangan kesabaran untuk menimbang dampak dari ucapannya. Sekali kirim pesan, kata tak bisa ditarik kembali.
Muhlis dan Musliadi dalam jurnal Retorika (2021) mengingatkan bahwa media sosial merupakan pedang berbilah dua, bisa menjadi alat dakwah dan juga bisa menjadi sarana fitnah jika tidak disertai dengan etika profetik. Karena itu, sebelum berkomentar atau membagikan informasi sebaiknya kita bertanya pada diri sendiri "Apakah kata ini menebar Cahaya atau justru menambah gelap?"
Menumbuhkan Akhlak di Balik Layar
Menghidupkan komunikasi profetik berarti mengembalikan akhlak ke dalam kata. Tidak perlu menunggu panggung besar untuk mempraktikkan, cukup dimulai dari hal-hal kecil: menanggapi perbedaan dengan santun, menghargai lawan bicara, atau menasihati tanpa merendahkan.
Di dunia nyata, komunikasi profetik bisa hadir dimana saja dan kapan saja, misalnya di meja makan keluarga, diruang kelas, bahkan di grup WhatsApp yang sering kali panas oleh debat yang taka da ujungnya. Dalam dunia kerja, ia tampak ketika seseorang tetap jujur meski dapat tekanan tinggi, atau ketika seorang pemimpin mampu mendengarkan bawahannya dengan tulus.
Akhir kata: Saat Kata Menjadi Doa
Pada akhirnya, komunikasi profetik tidak hanya teori, melainkan perilaku hidup. Ia mengajarkan bahwa berbicara adalah ibadah, mendengarkan adalah empati, dan menulis adalah tanggung jawab moral. Ditengah bisingnya dunia digital, setiap orang bisa menjadi pemimpin bagi diri sendiri, yang menebarkan kedamaian lewat tutur katanya bukan karena pangkatnya, tapi karena ketulusan hatinya.