Mohon tunggu...
Maulana Agus Wardhana
Maulana Agus Wardhana Mohon Tunggu... Mahasiswa - .

.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hari Santri Nasional

21 Oktober 2021   21:00 Diperbarui: 22 Oktober 2021   00:51 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Latar Belakang Hari Santri Nasional

Setiap tahun pada 22 Oktober adalah peringatan Hari Santri Nasional. Acara peringatan tersebut diadakan oleh Presiden Joko Widodo di Masjid Istiqlal Jakarta pada 22 Oktober 2015. 

Hari peringatan nasional ini ditetapkan untuk memperingati dan meneladani semangat jihad para pejuang dalam rangka merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang digagas oleh para Ulama. 

22 Oktober merupakan peristiwa bersejarah, yaitu resolusi jihad yang dibacakan oleh ulama atau juga pahlawan nasional K.H. Hasyim Asyari pada 22 Oktober 1945. 

Seruan ini termasuk perintah bagi umat Islam untuk berperang (jihad) melawan pasukan sekutu yang ingin menjajah kembali wilayah NKRI pasca proklamasi kemerdekaan. 

Sekutu ini berarti bahwa Inggris adalah pemenang Perang Dunia kedua dan mengambil alih koloni Jepang atau wilayah jajahan Jepang. 

Di belakang tentara Inggris ada tentara Belanda yang melakukan persekutuan untuk mengambil alih wilayah jajahan tersebut. Aspek lain di balik keputusan Hari Santri Nasional ini adalah pengakuan resmi pemerintah Republik Indonesia atas peran besar umat Islam dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan serta melindungi Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Ini juga merevisi catatan sejarah beberapa negara, terutama yang ditulis di era Orde Baru, dan hampir tidak menyebutkan peran ulama dan santri. Hal inilah yang menjadi latar belakang penetapan Hari Santri Nasional.

Bercerita tentang Resolusi Jihad, yang melatar belakangi adalah semangat juang para Santri dan Kiai yang mengawali Resolusi Jihad ini. 

Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama pertama kali diusulkan oleh kakek Presiden keempat atau biasa disapa dengan sapaan Gus Dur, yakni K.H. Hasyim Asyari, yang menjadi Ulama atau Kiai yang tersorot pada saat itu, karena ia percaya bahwa perjuangan kemerdekaan mungkin masih belum berakhir karena negara ini masih seperti terasa terjajah, meskipun deklarasi dikeluarkan pada 17 Agustus 1945. 

Hal ini karena menyambut kedatangan brigadir ke 49 atau biasa dikenal sebagai "British Indian Division" yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal AWS Malaby, yang merupakan hasil dari rencana agresi militer II Belanda. 

Dalam buku "Resolusi Jihad" karya Abdul Latif Bustami dan Tim Sejarah Tebuireng, "Perjuangan Ulama dari Ketaatan Agama ke Negara" menulis, Warga Nahdlatul Ulama, kiai, santri, dan nahdliyin telah memberikan kontribusi nyata dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. 

Perjuangan yang dipimpin oleh para ulama dan semangat para santri telah mencapai puncaknya. M. Hasyim Asy'ari disebut sebagai pelopor "Resolusi Jihad" pada 22 Oktober 1945, sebelum pertempuran di Surabaya pada 10 November 1945. Resolusi tersebut memberikan legitimasi kepada pemerintah dan juga merupakan kritik terhadap sikap politik negatif agresi militer Sekutu. 

Resousi Jihad adalah pernyataan tertulis yang disetujui oleh perwakilan masyarakat, yang berisi permintaan untuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia sesuai dengan ajaran Islam, dan bahkan mengharuskan pemerintah Indonesia untuk secara tegas menyatakan jihad fi sabilillah. 

Revolusi jihad dimulai dengan peristiwa sebelumnya, yakni datangnya sekutu "British Indian Division". Setelah kemenangan Sekutu atas Jepang pada 14 Agustus 1945, yang menandai penyerahan tanpa syarat oleh Jepang, Setelah itu, Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan bangsa Indonesia secara de facto pada 17 Agustus 1945.

Bagi organisasi Nahdlatul Ulama ini, Belanda dan Jepang bukan lagi pemegang kekuasaan hukum. Kedatangan Belanda yang menunggangi sekutu dipandang sebagai agresi terhadap kekuatan Islam yang sah, pemerintah Republik Indonesia. Karena itu, Nahdlatul Ulama tidak punya pilihan lain selain tertinggal dari Republik dan mengusir Sekutu, apa pun taruhannya. 

KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan surat keputusan agama yang menolak kembalinya kekuasaan kolonial dan mengakui hak NKRI yang baru merdeka sesuai dengan syariat Islam. 

Ajaran atau wejangan dari KH Hasyim Asyari sebagai pelopor Resolusi Jihad yang membangkitkan semangat juang bangsa Indonesia terutama para Santri yang dirangkum sebagai berikut: "Hukum memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardhu 'ain bagi tiap tiap orang Islam yang mungkin meskipun bagi orang kafir. 

Hukumnya bagi yang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotannya adalah mati syahid. Hukumnya orang yang memecahkan persatuan kita sekarang ini wajib dibunuh". Dengan lahirnya resolusi jihad ini, semangat membela kemerdekaan umat Islam semakin membara. 

Peristiwa heroik yang melatar belakangi Pertempuran Surabaya yang terjadi pada 10 November 1945 dan diperingatilah sebagai Hari Pahlawan setiap 10 November tidak terlepas dari semangat resolusi jihad yang digagas di markas Nahdlatul Ulama di Bubutan Surabaya, Jawa Timur.

Karena kegigihan perjuangannya inilah yang membuat Kiai Hasyim ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno pada Keputusan Presiden (Keppres) nomor  249 tahun 1945. 

Sebelumnya, Nahdhatul Ulama (NU) telah memiliki milisi atau para Santri yang sempat dilatih secara militer oleh Jepang berkat siasat K.H. Hasyim Asyari. Nama organisasi itu adalah Laskar Hizbullah, yang turut dikobarkan semangatnya melalui Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama. 

Martin van Bruinessen seorang Antropolog Belanda bercakap dalam salah satu forum Nahdlatul Ulama (1994), "Tradisi, rekanan relasi Kuasa, Pencarian perihal Baru mencatat di tanggal 21 dan  22 Oktober 1945, wakil-wakil cabang NU pada seluruh Jawa serta Madura berkumpul pada Surabaya serta menyatakan perjuangan kemerdekaan menjadi jihad (perang suci) melawan penjajah. 

KH Hasyim Asyari mengumpulkan Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Syamsuri, serta para kiai lainnya. Mereka berkumpul pada kantor PBNU, Bubutan, Surabaya. pertemuan itu turut dihadiri oleh panglima Hizbullah, yaitu Zainul Arifin. Di kantor inilah lembaga nmenyepakati untuk mengeluarkan Surat Keputusan Resolusi Jihad".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun