Di kamar hotel malam itu, saya membuka laptop, menatap layar kosong, dan mulai menulis. Menulis bukan sekadar untuk menceritakan kisah Mas Agung, tapi juga untuk mengingatkan diri sendiri: bahwa pejuang pendidikan tidak selalu berdiri di panggung atau berbicara di depan slide presentasi. Kadang mereka ada di balik setir motor, menyusuri jalanan kota, membawa tas berisi buku pelajaran di siang hari dan penumpang di malam hari. Mereka mungkin tidak pernah kita undang dalam rapat-rapat besar, tapi mereka hadir di kelas setiap pagi, dengan gaji yang jauh dari layak, demi masa depan anak-anak yang bahkan belum tentu mengingat nama mereka di masa depan.
Malam itu saya memutuskan satu hal: perjalanan pulang bersama pejuang yang tak tercatat ini tidak akan berhenti di hotel. Saya akan mencari cara agar apa yang saya lakukan ke depan benar-benar menyentuh mereka. Karena kalau tidak, saya hanya akan menjadi penonton yang nyaman di kursi empuk, sementara para pejuang sejati terus berkendara di jalanan, berjuang tanpa sorotan, dan berharap esok masih bisa mengajar.
Dan saya tahu, setiap kali saya naik ojek online lagi, saya akan selalu bertanya lebih dari sekadar rute. Siapa tahu, di balik helm dan jaket sederhana, ada lagi pejuang pendidikan yang sedang melaju di jalan, membawa cerita yang layak kita dengar---dan layak kita perjuangkan bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI