Ketiga, kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dengan siswa, rekan sejawat, orang tua, dan masyarakat. Guru bukan makhluk menara gading. Ia harus mampu membangun hubungan yang sehat, hangat, dan terbuka. Guru yang bisa mendengar dan menghargai pendapat anak, akan jauh lebih berpengaruh daripada guru yang hanya mengandalkan kekuasaan.
Keempat, kompetensi kepribadian adalah yang paling mendasar. Ini mencakup integritas, tanggung jawab, keteladanan, dan ketulusan. Guru dengan kepribadian baik akan menjadi cermin yang dilihat dan ditiru oleh siswanya. Mereka bukan hanya mengajarkan nilai, tapi mewujudkan nilai itu dalam tindakan sehari-hari.
Empat kompetensi ini tidak bisa terbentuk dalam semalam. Ia hanya tumbuh di dalam pribadi guru yang ikhlas melayani dan selalu ingin belajar. Guru yang hanya bekerja demi gaji, biasanya akan cepat merasa lelah dan kehilangan semangat. Tapi guru yang niatnya untuk membentuk manusia dan menyebar kebaikan, akan selalu punya energi untuk bertumbuh. Ia akan belajar dari pengalaman, dari rekan, dari muridnya sendiri. Ia tidak pernah merasa paling tahu, tapi selalu ingin jadi lebih baik.
Kita semua pasti punya kenangan tentang seorang guru yang tidak terlupakan. Bukan karena ilmunya yang hebat, atau metodenya yang unik. Tapi karena jiwanya menyentuh hati kita. Karena ia sabar ketika kita sulit memahami pelajaran. Karena ia percaya pada kita ketika orang lain meragukan. Karena ia mendoakan kita bahkan ketika kita sudah lulus. Guru seperti inilah yang dimaksud dengan "ruhul mudarris"---jiwa guru yang menjadi roh pendidikan.
Dalam dunia yang terus berubah cepat seperti sekarang, teknologi boleh saja menggantikan banyak hal, bahkan mungkin mengajarkan materi lebih cepat dan efisien. Tapi jiwa guru tidak akan pernah bisa digantikan mesin. Anak-anak tetap butuh didengar, dipahami, dan dicintai. Dan itulah tugas mulia seorang guru: menghadirkan diri sepenuhnya, bukan hanya pikirannya, tapi hatinya.
Akhirnya, pepatah pesantren tadi mengingatkan kita bahwa pendidikan bukan sekadar proses mentransfer ilmu, tapi lebih dari itu: proses menanamkan nilai, membentuk karakter, dan membimbing jiwa-jiwa muda menemukan jalannya. Kurikulum, metode, dan guru adalah alatnya. Tapi jiwa gurulah yang menjadi nyawanya.
Semoga semakin banyak guru yang menyadari bahwa dirinya bukan hanya pengajar, tapi penumbuh. Bukan hanya pelaksana kurikulum, tapi penjaga peradaban. Dan semoga pendidikan kita semakin hidup---karena para guru tidak hanya hadir sebagai pribadi, tetapi juga sebagai jiwa yang menyala.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI