https://www.kompasiana.com/masyuana
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia terus mendorong agenda reformasi birokrasi sebagai upaya untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang profesional, akuntabel, dan berorientasi pada pelayanan publik yang berkualitas. Salah satu elemen penting dari reformasi ini adalah perombakan sistem manajemen kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS), khususnya bagi mereka yang menduduki Jabatan Fungsional. Transformasi tersebut bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja ASN serta menyelaraskan sistem penilaian kinerja dengan prinsip meritokrasi yang adil dan obyektif.
Sebelumnya, penilaian terhadap pejabat fungsional dilakukan melalui mekanisme pengumpulan dan evaluasi berkas angka kredit (PAK), yang menuntut setiap pejabat fungsional untuk mendokumentasikan bukti fisik dari kegiatan yang mereka lakukan, sesuai dengan butir-butir tugas jabatan masing-masing. Sistem ini dinilai tidak hanya memakan waktu, tetapi juga menimbulkan beban administratif yang tinggi dan berpotensi mengaburkan fokus utama pejabat fungsional terhadap tugas profesionalnya. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk melakukan penyederhanaan melalui pengalihan sistem penilaian kinerja ke dalam bentuk Sasaran Kinerja Pegawai (SKP), yang diharapkan dapat lebih sederhana, transparan, dan fokus pada hasil kerja.
Transformasi ini secara resmi diberlakukan melalui terbitnya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan RB) Nomor 1 Tahun 2023, serta diperkuat oleh Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 3 Tahun 2023. Kedua regulasi ini menyatakan bahwa penilaian angka kredit bagi pejabat fungsional tidak lagi dilakukan melalui pengumpulan berkas-berkas PAK, melainkan dikonversi langsung dari hasil evaluasi SKP yang dinilai oleh atasan langsung. Dalam Permenpan RB Nomor 1 Tahun 2023, Pasal 37 mengatur bahwa hasil penilaian kinerja PNS, yang tertuang dalam predikat kinerja SKP, akan dikonversi langsung menjadi angka kredit tahunan bagi pejabat fungsional. Ini merupakan langkah penting dalam penyederhanaan birokrasi yang diharapkan dapat memangkas beban administratif yang selama ini membelenggu PNS dalam urusan pengumpulan bukti fisik. Harapannya, pejabat fungsional dapat lebih fokus pada substansi pekerjaannya tanpa harus terjebak pada urusan dokumentatif yang rumit dan memakan waktu.
Namun, idealisme dalam kebijakan sering kali berbenturan dengan realitas praktik di lapangan. Di tengah semangat simplifikasi, justru muncul distorsi terhadap esensi dari jabatan fungsional itu sendiri. Jabatan fungsional adalah jabatan keahlian yang berbasis pada kompetensi dan profesionalisme. Tugas dan tanggung jawab jabatan fungsional telah diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan, seperti dalam Peraturan Menteri PANRB Nomor 45 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional, yang menekankan bahwa setiap jabatan fungsional memiliki butir kegiatan tertentu yang menjadi basis penilaian dan pengembangan karier.
Secara konsep, jabatan fungsional bukanlah jabatan pelengkap yang bisa disesuaikan dengan kehendak atasan. Ia adalah jabatan profesi, yang menuntut kompetensi teknis, integritas, dan tanggung jawab terhadap mutu pekerjaan yang dilakukan. Dalam konteks ini, konversi penilaian ke dalam bentuk SKP seharusnya tetap berpijak pada butir tugas jabatan fungsional sebagai kerangka kerja utamanya. Sayangnya, dalam banyak praktik yang terjadi, penilaian berbasis SKP justru membuka ruang yang terlalu besar bagi subjektivitas atasan dalam menentukan beban kerja dan hasil kinerja bawahannya.
Tidak sedikit kasus di mana pejabat fungsional diminta atau bahkan "dipaksa" untuk mengerjakan tugas-tugas yang tidak memiliki relevansi dengan butir kegiatan jabatan fungsionalnya. Tugas-tugas seperti menjadi panitia kegiatan, membantu administrasi umum, atau melaksanakan tugas-tugas ad hoc lainnya justru lebih mendominasi pekerjaan sehari-hari. Ironisnya, tugas-tugas inilah yang kemudian masuk dalam SKP dan dinilai sebagai bentuk kinerja yang produktif. Di sisi lain, tugas-tugas substantif yang seharusnya menjadi fokus utama dari jabatan fungsional justru diabaikan karena tidak masuk dalam target kinerja yang ditetapkan oleh atasan.
Fenomena ini tidak hanya menyimpang dari semangat awal reformasi birokrasi, tetapi juga mencederai prinsip meritokrasi. Meritokrasi adalah sistem di mana promosi, penghargaan, dan pengembangan karier dilakukan berdasarkan kompetensi, kinerja, dan capaian profesional. Dalam konteks jabatan fungsional, meritokrasi seharusnya mendorong setiap individu untuk mengembangkan keahlian teknis dan menghasilkan output kerja yang sesuai dengan bidangnya. Ketika penilaian SKP justru menilai pekerjaan yang tidak relevan dengan jabatan, maka prinsip meritokrasi menjadi kabur. Promosi dan kenaikan pangkat tidak lagi didasarkan pada kualitas pekerjaan fungsional, tetapi pada kesediaan untuk menjalankan tugas tambahan yang ditentukan secara sepihak.
Lebih dari itu, situasi ini mengancam profesionalisme pejabat fungsional. Seorang analis kepegawaian, misalnya, seharusnya fokus pada analisis kebutuhan pegawai, perencanaan SDM, atau evaluasi jabatan. Namun, ketika ia lebih banyak diberi tugas sebagai notulen rapat, panitia acara, atau pengelola administrasi umum, maka kompetensi teknisnya akan mandek. Dalam jangka panjang, hal ini berdampak pada kualitas sumber daya manusia ASN secara keseluruhan. Organisasi pemerintahan yang seharusnya dipenuhi oleh para profesional di bidangnya, justru menjadi tumpukan jabatan formalitas tanpa makna substantif.
Pergeseran orientasi penilaian ini juga menciptakan dilema etika dan psikologis bagi pejabat fungsional. Mereka yang berusaha bertahan dengan menjalankan tugas-tugas sesuai butir jabatan sering kali dianggap tidak kooperatif. Sebaliknya, mereka yang bersedia mengerjakan apa pun yang diberikan atasan meskipun di luar tugas fungsional justru mendapatkan penilaian kinerja lebih baik. Hal ini menciptakan insentif negatif yang menjauhkan ASN dari profesionalisme dan integritas kerja.
Kondisi semacam ini jelas membutuhkan koreksi. Penilaian kinerja berbasis SKP memang sebuah langkah maju, tetapi perlu dikawal dengan ketat agar tidak menyimpang dari tujuan awal. Penilaian tetap harus dilakukan oleh atasan langsung, tetapi atasan wajib memahami dengan benar ruang lingkup dan butir tugas dari jabatan fungsional yang dinilai. Penyusunan SKP harus melibatkan pejabat fungsional itu sendiri, agar target kinerja yang ditetapkan benar-benar mencerminkan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional.
Pemerintah juga perlu memperkuat pengawasan dan memberikan pedoman teknis yang lebih rinci mengenai cara penilaian SKP untuk jabatan fungsional. Dalam hal ini, koordinasi antara Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kementerian PANRB, dan instansi teknis terkait menjadi sangat penting. Tanpa regulasi pelaksana yang tegas dan mekanisme kontrol yang jelas, maka penyimpangan dalam implementasi akan terus terjadi.
Dalam jangka panjang, jika distorsi penilaian ini dibiarkan, maka profesionalisme ASN akan mengalami kemunduran serius. Jabatan fungsional akan kehilangan identitasnya sebagai jabatan keahlian dan hanya menjadi pelengkap administratif. Ini tidak hanya merugikan individu ASN itu sendiri, tetapi juga berdampak buruk pada kualitas layanan publik dan kredibilitas institusi pemerintah secara keseluruhan.
Sudah saatnya kita kembali pada esensi jabatan fungsional: jabatan yang berbasis pada kompetensi dan profesionalitas. Penilaian kinerja harus menjadi alat untuk mendorong peningkatan mutu kerja, bukan sekadar instrumen administratif yang dapat dimanipulasi. Dengan demikian, reformasi birokrasi yang sejati dapat terwujud---bukan hanya dalam dokumen dan peraturan, tetapi juga dalam praktik kerja sehari-hari di lingkungan pemerintahan.
Mau membaca artikel Cahya Yuana Lebih lanjut:
https://www.kompasiana.com/masyuana
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI