Dari sekian banyak pejabat Indonesia, hanya sebagian kecil yang mungkin suka membaca. Budaya membaca di kalangan pejabat masih kalah dibanding budaya korupsi.Â
Apa jadinya Indonesia jika 60% saja pemangku jabatan suka membaca?
Kalau kita menghitung anggaran kunjungan kerja pejabat ke luar daerah, jumlahnya cukup fantastis. Belum lagi kunjungan kerja ke luar negeri yang memakan biaya besar.
Padahal, manfaat kunjungan kerja tidak langsung dirasakan oleh masyarakat. Terlebih anggaran yang dipakai berasal dari uang rakyat. Apakah tidak  lebih baik ditukar dengan buku saja?
Budaya membaca pejabat masih jauh dibawah rata-rata. Hal ini terlihat jelas dari ketidakmampuan berdiskusi dan pemilihan diksi saat memberi jawaban di depan publik. Seharusnya pejabat memberi contoh bagaimana bertutur kata dan berinteraksi.Â
Kalau saja satu pejabat diberi anggaran, katakanlah 10 juta untuk  dua kali kunjungan kerja, maka jumlah tersebut cukup untuk membeli 10 buku paling bagus. Belum lagi dihitung uang transpostasi, penginapan, makan, dll.
Jadi, bukankah jauh lebih baik setiap pejabat dipangkas biaya kunjungan kerja dan dialihkan untuk membaca satu buku setiap bulan. Dalam satu tahun, seorang pejabat sudah harus membaca 12 buku.
Buku-buku yang telah dibaca pejabat dipaparkan dalam rapat. Pejabat yang tidak membaca buku dari anggaran yang telah ditetapkan dianggap gugur haknya sebagai pejabat.Â
Sebaliknya, pejabat yang rajin membaca buku dan aktif menerapkan apa yang telah dibaca patut diapresiasi lebih lanjut. Misalnya, diberi diskon belanja atau diundang makan ke rumah warga.
Budaya literasi pejabat perlu ditingkatkan. Untuk itu, syarat dan mekanisme pemilihan pejabat juga perlu dimodifikasi dengan memasukkan syarat jumlah buku yang telah dibaca.Â