Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Pemerhati literasi | peneliti bahasa | penulis buku bahasa Inggris

Menulis untuk berbagi ilmu | Pengajar TOEFL dan IELTS | Penulis materi belajar bahasa Inggris| Menguasai kurikulum Cambridge Interchange dan Cambridge Think | Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Memaknai Frasa Bercocok Tanam sebagai Bahasa Kiasan

23 Juni 2025   14:56 Diperbarui: 23 Juni 2025   15:06 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu waktu saat membuka medial sosial, sebuah berita terpampang jelas di kedua mata. Saya tergerak mengecek kolom komentar dan membaca sebuah kalimat berbunyi "mereka sedang bercocok tanam".

Pikiran saya sejenak berpetualang jauh. Frasa bercocok tanam 100% bermakna positif. Tapi, kalimat dari kolom komentar tidak sedang membahas jenis tanaman dan proses pembibitan di sebuah ladang. Sama sekali tidak!

Berita tersebut adalah tentang sepasang muda-mudi yang tertangkap basah sedang melakukan atraksi tidak layak. Walaupun sebenarnya mereka tidak basah saat ditemukan.

Saya sejenak terdiam memikirkan bagaimana pergeseran makna sebuah frasa telah berjalan jauh.  Bahkan, dalam konteks yang tidak seharusnya.

Sebuah frasa positif bisa berubah makna dan dipakai luas sebagai sebuah bahasa kiasan. Unik dan menarik tentunya!

Tentu ini bukan kebetulan semata. Sebagaimana kata anjir yang menyebar luas sebagai sebuah identitas. Dari sebutan binatang, lalu berkamuflase menjadi panggilan keakraban dalam lingkup pertemanan remaja dan anak muda.

"alah ko jirrr", "Anjirrr lo", "sini jirrr"

Begitulah percakapan antar remaja di tempat umum saat ini. Mereka tidak malu untuk menggunakan kata kebun binatang di depan orang yang lebih tua. Seakan normal dan biasa saja tanpa rasa malu!

Pergeseran makna dalam bahasa Indonesia terjadi lebih cepat sejak media sosial menemani kehidupan para remaja. Istilah bercocok tanam jelas tidak layak digunakan, walaupun sebagai sebuah kiasan belaka.

Kata dan frasa negatif kini bahkan dijadikan bahan candaan dan juga dalam konteks tertentu digunakan sebagai sapaan pembuka percakapan. Tata bahasa remaja dan anak muda secara tidak langsung membuang budaya ketimuran bangsa Indonesia. 

Nilai kesopanan tidak lagi terlihat dari pilihan kata saat berinteraksi. Hal ini dipengaruhi oleh tontonan negatif yang tidak mendidik dan peran media sosial yang sulit dibendung.

Orang tua juga banyak yang tidak ambil pusing. Sebagian terlihat bersikap cuek bebek dan tidak tergerak menegur saat anak mereka menggunakan kata atau frasa negatif.  

Bagaimana kualitas generasi di masa depan jika pola berbahasa seperti ini berlanjut?

Orang tua jangan bersikap abai pada pola bahasa anak dan harus mengedukasi tata bahasa yang benar pada anak. Tak cukup disitu, periksa percakapan di media sosial mereka, lalu ajak mereka berdiskusi sambil memberi tahu kata atau frasa mana yang layak dan tidak layak diucapkan.

Semakin sering sebuah kata dan frasa dijangkau remaja, maka pergeseran makna jauh lebih sulit ternetralisir. Sebagaimana contoh frasa bercocok tanam yang mungkin tidak layak digunakan untuk sebuah tindakan negatif. 

Kalau remaja dan anak muda mudah menggunakan istilah populer berkonotasi negatif, bukan mustahil mereka jauh lebih mudah mempopulerkan ungkapan baru yang bernada negatif.

Hari ini mereka memakai istilah bercocok tanam, esok hari mungkin frasa menyemai benih dianggap sopan dan bernada lembut ketimbang menggunakan kata-kata yang sudah tertulis dalam kamus KBBI. 

Ya, begitulah bahasa. Berubah dalam sunyi dan berakhir dalam sebuah komunitas. Yang jelas, bahasa tidak hanya membawa identitas pemakai, tapi juga menggambarkan nilai kesopanan bertutur kata.

Jangan sampai remaja dan anak muda kehilangan jati diri dengan berbangga ria menggunakan frasa berkonotasi negatif di depan umum. Saat rasa malu telah hilang, ucapan negatif melanglang buana tanpa batas. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun