Suatu waktu saat membuka medial sosial, sebuah berita terpampang jelas di kedua mata. Saya tergerak mengecek kolom komentar dan membaca sebuah kalimat berbunyi "mereka sedang bercocok tanam".
Pikiran saya sejenak berpetualang jauh. Frasa bercocok tanam 100% bermakna positif. Tapi, kalimat dari kolom komentar tidak sedang membahas jenis tanaman dan proses pembibitan di sebuah ladang. Sama sekali tidak!
Berita tersebut adalah tentang sepasang muda-mudi yang tertangkap basah sedang melakukan atraksi tidak layak. Walaupun sebenarnya mereka tidak basah saat ditemukan.
Saya sejenak terdiam memikirkan bagaimana pergeseran makna sebuah frasa telah berjalan jauh. Â Bahkan, dalam konteks yang tidak seharusnya.
Sebuah frasa positif bisa berubah makna dan dipakai luas sebagai sebuah bahasa kiasan. Unik dan menarik tentunya!
Tentu ini bukan kebetulan semata. Sebagaimana kata anjir yang menyebar luas sebagai sebuah identitas. Dari sebutan binatang, lalu berkamuflase menjadi panggilan keakraban dalam lingkup pertemanan remaja dan anak muda.
"alah ko jirrr", "Anjirrr lo", "sini jirrr"
Begitulah percakapan antar remaja di tempat umum saat ini. Mereka tidak malu untuk menggunakan kata kebun binatang di depan orang yang lebih tua. Seakan normal dan biasa saja tanpa rasa malu!
Pergeseran makna dalam bahasa Indonesia terjadi lebih cepat sejak media sosial menemani kehidupan para remaja. Istilah bercocok tanam jelas tidak layak digunakan, walaupun sebagai sebuah kiasan belaka.
Kata dan frasa negatif kini bahkan dijadikan bahan candaan dan juga dalam konteks tertentu digunakan sebagai sapaan pembuka percakapan. Tata bahasa remaja dan anak muda secara tidak langsung membuang budaya ketimuran bangsa Indonesia.Â