Biaya kuliah anak hari ini tidak lagi sebanding dengan pendapatan orang tua. Harga sembako meroket, biaya hidup semakin tinggi, sementara gaji mentok di angka yang sama.Â
Jika wajib sekolah berlaku selama 9 tahun, apakah pilihan untuk kuliah di generasi sekarang masuk katagori prioritas?
Himpitan ekonomi bagi kaum kelas menengah kebawah semakin terasa. Sebaliknya, lowongan pekerjaan yang mensyaratkan lulusan universitas juga sangat terbatas seiring kompetisi antar lulusan.
Lantas, bagaimana seharusnya orang tua bersikap, sebaiknya tetap menyekolahkan anak sampai kuliah atau cukup sampai di Sekolah Menegah Atas (SMA)?
Mari kita bahas dan analisa mana pilihan yang paling masuk logika melihat kondisi negara hari ini.
Nilai tukar Ijazah SMA dewasa ini menggambarkan betapa pendidikan kita memiliki nilai tukar yang murah. Lulusan SMA harus bersaing untuk mendapatkan satu kursi pekerjaan langka.Â
Ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Begitulah sulitnya menemukan posisi untuk ditukarkan dengan selembar ijazah SMA. Bahkan, bagi keluarga miskin, mimpi untuk melihat anak mendapat pekerjaan yang layak hanya khayalan dan angan-angan.
Jika saja orang miskin punya pilihan, mereka berada di posisi serba salah. Mengirim anak ke sekolah dengan seabrek biaya yang harus disiapkan menambah beban kepala keluarga.
Jangan membayangkan untuk memilih jurusan kuliah anak, mimpi untuk menguliahkan anak saja sudah berat rasanya. Biaya SPP kuliah sepertinya berbanding terbalik dengan potensi pekerjaan di masa depan.
Ijazah yang didapat dari kampus ternama bernilai jika jurusan yang dipilih memang dibutuhkan. Simpelnya, biaya UKT sampai tamat kuliah belum menjamin nilai yang sama ketika ijazah berada di tangan.