Infants begin to show signs of detecting different emotions within the first year of life! author and psychologist Daniel Goleman suggested that EQ (or emotional intelligence quotient) might actually be more important than IQ.
Dalam dunia pendidikan ada dua istilah yang sangat populer yaitu Intellectual Intelligence dan Emotional Intelligence. Keduanya sering disingkat dengan IQ dan EQ.Â
Mari kita bahas sedikit tentang perbedaan keduanya secara rinci. Intellectual Intelligence erat kaitannya dengan skill analitik dan kognitif. Intinya IQ condong fokus pada Visual and spatial processing, Knowledge of the world, Fluid reasoning, Working memory and short-term memory, Quantitative reasoning. Secara ringkasnya IQ terpusat pada kemampuan otak yang berbentuk pemahaman dan ingatan.
Sedangkan Emotional Intelligence atau EQ mengarah pada kemampuan mengenal dan mengontrol emosi. Baik itu kemampuan mengatur emosi secara individu atau bagaimana memahami dan menginterpretasi emosi orang lain.Â
Nah, hal yang paling menarik dalam dunia pendidikan, kebanyakan orang menilai SUKSES dengan merujuk pada IQ. Artinya, seseorang dengan kemampuan analitik, pemahaman dan ingatan yang baik dianggap lebih pandai dan diramal lebih sukses di masa depan. Namun, benarkah demikian?
Critics began to realize that high intelligence was no guarantee for success in life
Uniknya, jika dicermati lebih lanjut, IQ bukanlah ukuran menilai kesuksesan seseorang. Para ahli psikologi berpendapat bahwa kemampuan seseorang itu tidak boleh diukur dengan beberapa hal saja seperti analytical, visual, and spatial skill, reasoning, dan memory.Â
Inilah mengapa konsep Multiple Intelligence muncul ke permukaan dikenalkan oleh Howard Gardner. Menariknya, para peneliti masih mendebatkan apakah kemampuan seseorang didasari nature(secara alami) atau nurture (didikan).
Sekarang, mari kita melompat sedikit ke kurikulum sekolah. Pada awalnya, konsep kurikulum sekolah hanya tertitik pada IQ, baru kemudian konsep EQ muncul di awal era 90 an karena para psikolog mendapatkan fakta bahwa EQ memiliki peran signifikan dalam kesuksesan.
Di Indonesia sendiri kita mengenal istilah Pendidikan Karakter. Kata 'karakter' inilah yang mengacu pada EQ, dimana siswa diarahkan untuk memiliki kemampuan mengenal emosi.
Strategies for teaching emotional intelligence include character education, modeling positive behaviors, encouraging people to think about how others are feeling, and finding ways to be more empathetic toward others.Â
Fokus Pendidikan Karakter sebenarnya hanya berstandar pada regulasi emosi dan inilah mengapa konsep EQÂ melekat erat disini. Termasuk didalamnya, bagaimana seseorang bisa berempati pada orang lain.
Apakah EQ bisa didapat dari dalam rumah?
Konsep pendidikan karakter terbaik sebenarnya dan sejatinya dimulai dari dalam rumah. Cara orangtua membesarkan anak sangat erat kaitannya dengan tingkat EQÂ anak.Â
Sayangnya, kebanyakan orangtua masih membesarkan anak dengan mengedepankan IQ ketimbang EQ. Ini terlihat dari cara orangtua mengarahkan anak yang terpusat pada sisi intelektual semata.
Misalnya anak diarahkan untuk belajar dari sejak umur belia dan porsi bermain anak sangat sedikit. Pahitnya, sistem sekolah di negeri ini masih mengedepankan IQ. Contoh kecil, untuk masuk sekolah dasar (SD) seorang calon siswa harus melewati tes tertentu yang mengarah ke kemampuan analitik, spatial, verbal, dan tentunya ingatan.Â
Padahal, IQ seseorang bersifat Multiple dan tidak tertitik pada satu atau dua hal saja. Karena dalam ilmu neurology, kemampuan otak menyerap ilmu bersifat elastis. Otak bisa menyesuaikan seberapa besar porsi memori yang disimpan tergantung bagamaina cara menyimpannya. Konsep ini juga dikenal dengan istilah Neural plasticity.
Dan yang penting untuk diketahui, IQ berbanding lurus pada EQ. Seorang anak akan memiliki IQ yang baik didukung oleh kemampuan mengontrol emosi yang baik pula. Kemampuan otak menyimpan informasi sangat ditentukan oleh keadaan emosi. Porsi memori otak saat marah dan senang akan berbeda.Â
Emotion has a substantial influence on the cognitive processes in humans, including perception, attention, learning, memory, reasoning, and problem solving Â
Secara kognitif, emosi memiliki efek pada memori dan juga kemampuan menganalisa dan pemecahan masalah. Ketidakmampuan mengatur emosi jelas berdampak pada kemampuan otak menyimpan informasi dalam jangka waktu panjang.
Sangat berbeda dengan EQ, dimana kemampuan mengenal emosi didapat oleh bayi dengan mengobservasi dan stimuli dari luar. Input pada otak bayi tidak bisa mengenal emosi dengan sendirinya melainkan melalui kontak visual dan verbal melalui interaksi dan komunikasi.
Disini, orangtua perlu memahami bahwa pola interaksi dan komunikasi akan membentuk EQÂ anak secara tidak langsung. Orangtua yang jarang berkomunikasi dan berinteraksi dengan anak akan mengakibatkan anak memiliki EQÂ yang kurang baik.
Dengan kata lain, anak yang jarang menghabiskan waktu bersama orangtua akan sangat sulit memiliki kemampuan mengatur dan meregulasi emosi dengan baik.Â
Walaupun, secara IQÂ seorang anak lebih unggul karena faktor ilmu, namun secara jangka panjang ia akan sulit berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain karena kemapuan memahami emosi yang tidak diwarisi secara alami.
Nature atau Nurture?
Nah, sedikit kembali ke pembahasan awal. Apakah EQÂ bisa didapat secara alami (nature) dari keturunan atau bisa diajarkan (nurture)?
If your emotional abilities aren't in hand, if you don't have self-awareness, if you are not able to manage your distressing emotions, if you can't have empathy and have effective relationships, then no matter how smart you are, you are not going to get very far.
---Daniel Goleman
Dalam lingkup EQ, kata yang paling penting adalah manage. Artinya, kemampuan mengatur emosi. Nah, kapan seseorang belajar memahami emosi? jawabannya dimulai sejak umur 1 tahun.
infants begin to show signs of detecting different emotions within the first year of life!
Sejak umur 4-5 bulan, bayi mulai mampu membedakan suara dan mengaitkannya dengan emosi yang muncul dari ekspresi wajah. Ringkasnya, seorang ibu atau ayah yang berkomunikasi dengan anak mesti lebih sering memperlihatkan intonasi bicara yang berbeda disertai ekspresi wajah yang berbeda pula.
Tujuannya agar anak bisa mendapat input berbeda berkaitan dengan senang, sedih, marah dan lainnya. Anak akan terus menyimpan input berbeda di otaknya dan secara otomatis otak akan membangun kemampuan intepretasi emosi.
Pada umur dua tahun, seorang anak akan mulai mampu mengenal emosi dan mengaitkan dengan keinginan/hasrat seseorang. Contohnya, jika diberikan beberapa pilihan makanan/buah/minuman yang berbeda, anak yang berumur dua tahun sudah mampu mengaitkan emosinya dengan jenis makanan yang ia sukai.
Implikasinya adalah, pada umur 1 sampai 2 tahun seorang anak harus memiliki input untuk mengenal emosi dengan baik. Pada dua tahun ini seorang anak mulai mengenal dirinya dan mengaitkan dengan sekitar.
Selama 24 bulan setelah lahir, orangtua sangat perlu membersamai anak dengan interaksi dan komunikasi yang intens. Tentunya jika ingin EQÂ anak berkembang baik secara alamiah.
Apa yang terjadi jika orangtua sibuk bekerja?
Momen bersama anak di dua tahun pertama tidak bisa diulang di dua tahun selanjutnya. Maknanya, kemampuan seorang anak mengenal, mengatur dan meregulasi emosi tidak bisa diajarkan di sekolah. Semua ini didapat hanya dengan dua hal : Interaksi dan Komunikasi.
Jika orangtua tidak memberikannya di 24 bulan sejak anak lahir maka konsekuensinya anak akan sulit mengenal dan mengatur emosinya sendiri. Ini sebabnya banyak sekali anak yang cepat marah, mudah sedih, temperamen, tantrum, dan pucuknya memiliki percaya diri yang rendah.
Kembali ke pertanyaan awal, apakah IQ yang lebih diutamakan atau EQ? tentunya setiap orangtua punya goal tersendiri. Semua memiliki konsekuesinya tersendiri.
Ada satu kalimat yang menarik saya jumpai dalam sebuah artikel, 'scientific fact that emotions precede thought'. When emotions run high, they change the way our brains function...diminishing our cognitive abilities, decision-making powers, and even interpersonal skills. Understanding and managing our emotions (and the emotions of others) helps us to be more successful in both our personal and professional lives.
Ringkasnya, emosi mendahului pikiran. Saat seseorang memiliki emosi tinggi,fungsi otak berubah dan mengakibatkan kemampuan kognitif berkurang, termasuk kemampuan mengambil keputusan, mengatur emosi yang mengarah pada kesuksesan.
Saya rasa hal ini ada benarnya, saat seseorang sedang sedih atau marah, pikiran pasti kacau. Sudah barang tentu kalau seseorang sedang sedih akan mengambil keputusan atau pilihan yang mungkin salah.
Disini bisa kita pahami, seorang anak yang memiliki IQÂ tinggi namun kurang pada EQÂ akan sulit sukses karena emosinya akan menghambat pikirannya.
Inilah yang terjadi pada pendidikan kita saat ini, kita memiliki banyak orang pintar yang gagal mengenal emosi dan berempati pada orang lain. Akibatnya, kepandaiannya hanya berakhir pada dirinya dan sidikit bermanfaat pada orang lain.
Jika harus menilik kebelakang, maka pertanyaan penting bagi kita orangtua, Apakah cara kita berkomunikasi dan berinteraksi dengan anak sudah benar? Apakah waktu kita bersama anak sudah cukup atau mungkin tidak ada?
Masing-masih punya jawaban sendiri. Mari kembali merenung dan menganalisa. Mungkin saja kita sebagai orangtua memiliki kemampuan mengatur emosi yang tidak baik. Lantas, mampukah kita menjadikan rumah sebagai sekolah terbaik anak?
Referensi bacaan:
Early emotion understanding (baca disini)
Theory of Intelligence in Psychology (baca disini)
Is IQ or EQ more important? (baca disini)
Nature of Emotional Intelligence (baca disini)
The influences of Emotion on Learning and Memory (baca disini)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H