Penulis : Said Jinan, S. Pd.I_Guru MIN 1 Lembata.
Di sebuah dusun yang bernama  Tiri, di lereng lembah yang diselimuti panorama yang memijat pandangan mata, hidup sebuah sistem sosial yang halus namun berakar kuat---demokrasi berbasis kearifan lokal. Di sana, musyawarah bukan sekadar forum kata, tetapi ruang spiritual tempat nurani, adat, dan akal budi bersua dalam keseimbangan.
Masyarakat Dusun Tiri memiliki tradisi panjang dalam memecahkan persoalan bersama melalui musyawarah mufakat. Namun, sebagaimana kehidupan itu sendiri, mufakat tidak selalu mudah dicapai. Kadang kala, perbedaan pandangan mengeras menjadi dinding batu yang tak tertembus kata. Di titik itulah, lahir satu kebijaksanaan khas --- tahap "lobiying", yang dalam bahasa lokal dimaknai sebagai " uyung Nute Mau Toye lo wowo bele eu'__ "berjalan dalam kata untuk menyatukan rasa."
Ketika suara mufakat menemui jalan buntu, para tetua tidak menyerah pada benturan kehendak. Mereka mempraktikkan kearifan yang diwariskan dari leluhur: mendekati  yang berselisih, menyatukan yang berbeda bukan untuk menekan, tetapi untuk melunakkan hati dan menumbuhkan empati. Di balai bambu, di serambi rumah, di antara redup cahaya senja, kata-kata lembut dijalin dalam bingkai keikhlasan, hingga akhirnya terbangun kembali kesepahaman tanpa luka.
Kini, ketika arus globalisasi menggempur tatanan lokal, kearifan Sun Tiri tetap berdiri sebagai monumen hidup kebudayaan deliberatif Nusantara---suatu sistem demokrasi organik yang memadukan rasionalitas dan spiritualitas, logika dan cinta kasih, serta menjadikan kata bukan alat kuasa, melainkan jembatan menuju harmoni sosial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI