Seminggu berlalu. Hari Minggu pagi, aku duduk di teras rumah, majalah baru di tangan. Aku membalik halaman demi halaman, mencari judul cerpenku. Tidak ada.
Minggu berikutnya, aku mencoba lagi. Masih tidak ada.
Aku mulai mengirimkan cerpen baru, kali ini lebih singkat, lebih padat. Tapi setiap majalah tiba di tanganku, hasilnya sama---kosong.
Beni, teman sebangku, suatu siang bertanya,
"Cerpen lo udah dimuat belum?"
Aku tersenyum kecut. "Belum. Mungkin editor belum siap membaca karya sehebat ini."
Beni tertawa, menepuk bahuku. "Atau jangan-jangan lo yang belum siap nulis sebagus itu?"
Aku tak menjawab, hanya menatap keluar jendela kelas. Dalam hati aku berkata, Suatu hari, namaku akan ada di sana. Di halaman yang kini kosong dari kehadiranku.
...
Malam itu hening. Satu-satunya suara hanyalah detak jam dinding dan dengung kipas angin yang berputar malas. Di meja belajarku, laptop menyala dengan layar kosong, kursor berkedip-kedip seperti menantang: "Ayo, tulis sesuatu."
Aku memutuskan---malam ini aku akan memulai novel pertamaku. Bukan cerpen, bukan puisi, tapi novel. Sebuah karya besar yang kelak dibaca jutaan orang, difilmkan, dan diundang di berbagai festival sastra.
Kuketik judul di baris pertama: "Pelaut di Tengah Badai".
Aku tersenyum puas. Judul ini akan menjadi legenda.
Lalu, aku mulai membuat outline. Tokoh utama, Latar, Konflik, hingga Ending yang masih kupikirkan. Aku terus menulis daftar ide itu hingga halaman penuh---semuanya terasa begitu hebat di kepalaku.
Tiga hari kemudian, laptopku masih menampilkan halaman outline yang sama. Setiap kali mencoba menulis bab pertama, aku terjebak di satu paragraf lalu menghapusnya lagi.
Sore itu, Rani---teman kuliah yang kebetulan lewat di kosku---melihat layar laptopku.
"Kok masih outline?" tanyanya sambil tersenyum geli.
"Ini... aku lagi nyiapin fondasi cerita biar kokoh," jawabku cepat.
Rani mengangkat alis. "Fondasi yang kebanyakan dibangun bisa bikin rumah nggak jadi-jadi, lho."