Mohon tunggu...
Mas Teddy
Mas Teddy Mohon Tunggu... Buruh - Be Who You Are

- semakin banyak kamu belajar akan semakin sadarlah betapa sedikitnya yang kamu ketahui. - melatih kesabaran dengan main game jigsaw puzzle. - admin blog https://umarkayam.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Racun-racun Pendidikan (Bagian 2/2)

2 Mei 2018   12:00 Diperbarui: 2 Mei 2018   13:11 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(gambar dari topskeluarga.net)

Untuk bagian pertama dapat dibaca di sini

  • Kurang Menghargai Jerih Payah Anak

Terkadang orang tua inginnya sang anak selalu benar bahkan kalau bisa sempurna. Tekanan untuk selalu sempurna ini justru membebani anak dan tidak bisa mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Meski sudah ikut les di sana sini, sudah berusaha maksimal namun tetap saja hasilnya tidak sesuai dengan harapan orang tua. Orang tua yang dengan cepat men-jugde anaknya dengan kata-kata, "bodoh" atau "dasar gak becus" justru akan mematahkan semangat anak. Menghargai jerih payah anak akan meningkatkan semangat dan rasa percaya diri anak.

Di tahun 80-an ada sebuah acara untuk anak-anak di stasiun TVRI yang diasuh oleh Pak Tino Sidin, "Ayo Menggambar". Dalam acara itu Pak Tino Sidin memberikan pelajaran teknik dasar menggambar, seperti pak guru yang sedang memberi pelajaran di kelas. Di sela-sela acara atau di akhir acara Pak Tino Sidin akan menampilkan gambar-gambar kiriman anak-anak dari seluruh Indonesia. Setiap kali menampilkan sebuah gambar hasil kiriman penonton itu Pak Tino Sidin akan memberikan komentar, saran dan pujiannya. Tetapi, apa pun gambar yang dikirim, baik yang bagus maupun yang jelek akan selalu dikatakan, "Bagus". Tidak pernah sekali pun Pak Tino Sidin menjelek-jelekkan gambar yang sudah dikirim oleh penonton acaranya.

"Berikut ini adalah gambar kiriman dari temanmu Teddy di Magetan, Jawa Timur. Garis-garisnya sudah tegas dan warnanya berani. Bagus!"

Selayaknya kita para orang tua bertindak seperti Pak Tino Sidin, yang selalu mengatakan "Bagus" terhadap apa pun yang dihasilkan oleh anak kita, untuk memotivasi. Berilah hadiah atas pencapaian anak meski itu hanya sebuah pujian atau acungan jempol.

  • Meremehkan Imajinasi Anak

Seringkali kita memarahi anak yang suka coret-coret buku tulis atau tembok dengan gambar-gambar yang tidak jelas. Kalau gambar binatang tidak jelas binatang apa. Kalau gambar kendaraan juga tidak jelas kendaraan apa. Kalau gambar robot tapi tidak seperti robot yang biasa kita lihat.

Seringkali kita menyalahkan dan mengoreksi gambar-gambar anak kita karena di mata kita gambar-gambar tersebut tidak proporsional, tidak logis atau tidak masuk akal, aneh, warnanya tidak lazim dan lain sebagainya. Tetapi, itulah cara anak dalam menyampaikan imajinasinya, sering tidak masuk akal di mata orangtua. Kita sebagai orang tua lupa pernah menjadi anak-anak dan tidak paham cara menghadapi anak-anak. Janganlah mematikan imajinasi anak dengan meremehkan atau menyepelekannya. Bukankah barang-barang yang ada sekarang ini hampir semuanya hasil dari sebuah imajinasi.


Bagi kita orang tua tentu menganggap aneh karakter seperti Pokemon, Power Rangers, Kura-Kura Ninja atau makhluk-makhluk aneh dalam film Star Wars. Tetapi itulah yang justru menghibur anak-anak kita bahkan orang tua juga dan menghasilkan uang buat penciptanya. Jadi biarkanlah jika anak-anak Anda menggambar yang aneh-aneh, siapa tahu kelak mereka menjadi animator-animator handal yang hasil karyanya bisa menghibur orang banyak.

Selain menggambar terkadang anak juga bercerita 'ngalor-ngidul' tidak karuan juntrungannya. Biarkan saja, dengarkan saja. Jangan dipotong ceritanya apalagi 'acungkan jempol dislike'. Itu hanya akan mematahkan semangatnya bercerita. Sering anak-anak bercerita yang aneh-abeh dan tidak masuk akal, biarkan saja. Dia sedang mengembangkan imajinasinya. Siapa tahu kelak dia akan menjadi penulis cerita fiksi yang handal dan bukunya selalu menjadi 'best seller'. Banyak novel dan film-film fiksi yang laris manis dan membuat penulisnya kaya. Anda tentu mengenal film fiksi ilmiah "Jurassic Park" yang diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Michael Crichton atau serial "Harry Potter" karya JK Rowling. Semuanya hasil dari sebuah imajinasi.

  • Menganggap Jurusan IPA Lebih Hebat Dari Jurusan IPS

Begitulah anggapan sebagian besar masyarakat kita. Anggapan tersebut memang tidak salah. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa siswa yang memilih jurusan IPA jika melanjutkan kuliah bisa mengambil kuliah jurusan IPA dan IPS. Sedangkan yang memilih jurusan IPS hanya bisa melanjutkan kuliah jurusan IPS saja.

Masyarakat kurang menyadari atau memahami bahwa jurusan IPS pun juga bisa susah. Jurusan IPS lebih berkaitan dengan kehidupan manusia, baik sosial, budaya, ekonomi, hukum dan politiknya. Hal ini membuat parameter-parameter yang ada dalam ilmu IPS terkadang sering berubah-ubah dan susah ditebak. Ini sangat berbeda dengan Matematika, misalnya, yang hukum-hukumnya sudah pasti. Kalau 2+2 sudah pasti =4. Hasil-hasil dari ilmu pasti bisa ditebak.

Menciptakan pasar (dikerjakan orang ekonomi) lebih sulit daripada membangun pasar (dikerjakan orang teknik). Membangun ruko itu gampang tapi bagaimana supaya ruko cepat terjual itu tidak gampang. Membangun hotel itu gampang tapi bagaimana supaya banyak tamu yang menginap itu tidak gampang. Membangun mall itu gampang tapi bagaimana caranya supaya mall selalu ramai pengunjung itu tidak gampang.

Bagi pembaca yang sekolah atau kuliah di jurusan IPS, jangan minder, berbanggalah! Jurusan IPS itu sama susahnya dengan jurusan IPA.

  • Terlalu Heboh Dalam Menyikapi UN

Saya tidak tahu persis kapan mulainya muncul fenomena yang menurut saya (cukup) menggelikan setiap menjelang dan sesudah pelaksanaan UN, baik yang tingkat SMP maupun SMU/SMK. Fenomena itu menjangkiti dunia pendidikan kita dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. UN dianggap sebagai momok atau monster yang menakutkan dan siap memakan korban siapa saja, mulai dari siswa, guru, kepala sekolah, pejabat Diknas hingga Menteri Pendidikan.

  • (Dulu) Polisi Dilibatkan Untuk Menjaga Distribusi Soal UN

Saya merasa kasihan dengan pihak kepolisian. Di tengah-tengah tugas utamanya yang sudah demikian banyak, masih juga dibebani tugas untuk menjaga distribusi soal UN. Sepertinya pihak Departemen Pendidikan Nasional sudah tidak mempercayai lagi pengawas-pengawas dari kalangan internal mereka sendiri dalam menjaga kerahasiaan soal-soal UN sehingga harus memakai pengawas dari pihak luar.

Selain masalah distribusi yang (seringkali) tidak bisa tepat waktu, isu kebocoran soallah yang memaksa pihak Departemen Pendidikan Nasional melibatkan kepolisian dalam mengawal distribusi soal-soal UN. Tapi meskipun sudah dikawal oleh pihak kepolisian, isu kebocoran soal di beberapa tempat masih saja terjadi. Dan yang lebih menyedihkan, masih saja ada orang tua atau siswa yang percaya dengan bocoran ini. Orang tua dan siswa yang punya rasa percaya diri tentu tidak akan terpengaruh atau tergoda untuk mendapatkan bocoran soal UN ini.

Masalah distribusi soal UN ini sedikit teratasi dalam beberapa tahun terakhir karena Departemen Pendidikan Nasional telah menerapkan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK), meski belum seluruh sekolah siap melaksanakannya. Soal-soal UN dikirim ke sekolah melalui teknologi internet. Meski masalah baru muncul sehubungan dengan koneksi internet tetapi setidaknya sudah mengurangi keterlibatan pihak kepolisian.

  • Ritual Baru Menjelang UN

Dalam pengamatan saya, akhir-akhir ini ada beberapa ritual agak 'nyeleneh' yang sering muncul menjelang UN. Saya katakan agak 'nyeleneh' karena tidak ada kaitannya secara langsung dengan pelaksanaan UN. Ritual itu antara lain ; sungkeman, ziarah kubur dan istighosah.

(gambar dari joglosemar.co)
(gambar dari joglosemar.co)
Pertama, sungkeman. Dalam ritual sungkeman ini para siswa yang akan menjalani UN berbaris untuk sungkeman dengan para guru. Para siswa memohon maaf sekaligus memohon do'a restu semoga lancar dalam mengerjakan soal-soal UN. Suasananya pun dibuat sedemikian dramatis sehingga tidak sedikit yang mengucurkan air mata.

Pertanyaannya, memohon maaf untuk apa? Untuk kesalahan siswa? Tentu saja siswa punya banyak kesalahan terhadap guru-gurunya, tapi kenapa baru menjelang UN memohon maaf? Kenapa tidak dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya? Atau memohon maaf seandainya nanti tidak bisa menjawab soal-soal UN? Belum mengerjakan, kok sudah mohon maaf. Kemudian memohon do'a restu. Tanpa siswa memohon do'a restu pun para guru dan orang tua sudah serta selalu mendo'akan kelancaran siswa mengerjakan UN. Justru do'a para guru dan orang tua lebih 'kenceng' dari do'a para siswa yang menjalani UN.

Tapi, itu kan bertujuan baik? Ya, kalau memang bertujuan baik, kenapa tidak dijadikan rutinitas saja sekalian supaya menjadi tradisi. Seminggu sekali atau dua minggu sekali, tiap hari Jum'at atau Sabtu, misalnya. Bukan hanya menjelang UN saja baru ada sungkeman.

Kedua, ziarah kubur. Saya hanya bisa 'ngowoh' saja ketika menyaksikan berita di sebuah stasiun TV swasta. Diberitakan serombongan siswa dan guru dari sebuah sekolah sedang melakukan ziarah kubur di sebuah kuburan seorang tokoh agama di Jawa. Ziarah itu bukan ziarah biasa karena dilakukan menjelang dilaksanakannya UN tingkat SMU/SMK. Salah seorang guru yang diwawancarai mengatakan bahwa ziarah itu dimaksudkan untuk menambah kekuatan mental siswa-siswanya yang akan menjalani UN. Rupanya ziarah kubur selain bertujuan untuk mengingat akan kematian juga untuk menambah mental siswa sebelum menjalani UN. Yah ... semoga saja benar adanya. Asalkan bukan untuk minta jawaban soal-soal UN ke arwah yang dikubur saja.

Ketiga, istighosah. Sepengetahuan saya istighosah dilakukan untuk meminta pertolongan terhadap suatu permasalahan yang yang 'luar biasa' atau 'super berat'. Jika istighosah ini dilakukan untuk menghadapi UN sebenarnya tidak ada salahnya tapi menurut saya (agak) terlalu berlebihan. Seharusnya UN tidak dianggap sebagai masalah yang 'super berat'. Jika sebuah permasalahan dianggap berat tentu akan terasa berat. Sebaliknya jika dianggap ringan akan terasa ringan. Seharusnya pihak sekolah memberikan sugesti kepada para siswa bahwa UN hanyalah sebuah 'kerikil' dalam perjalanan hidup seorang siswa. Kerikil yang mudah dilewati.

  • Dunia Serasa Kiamat Ketika Tidak Lulus Ujian

Saya sangat sedih, prihatin sekaligus heran ketika mendengar dan membaca berita seorang siswi SMU nekat bunuh diri karena tidak lulus ujian. Sedemikian beratnya tekanan yang harus ditanggung anak sekolah jaman sekarang, baik dari lingkungan pergaulannya maupun dari keluarga atau orang tuanya. Atau sedemikian rapuhnya jiwa anak sekarang sehingga sampai mengambil jalan pintas seperti itu. Kejadian ini pun tidak hanya sekali terjadi.

Tidak lulus ujian sekolah bukanlah akhir dari segalanya. Tidak lulus ujian sekolah bukan berarti masa depan akan suram. Jangan cengeng. Jalan untuk menggapai masa depan masih panjang. Masih banyak harapan terbentang bagi orang yang selalu optimis. Banyak contoh orang-orang yang gagal di pendidikan formal tapi bisa sukses menjalani kehidupan. Seperti salah satu teman SMA saya. Di saat yang lain bergembira merayakan kelulusannya, teman saya itu terpaksa harus mengulang lagi tahun berikutnya. Tetapi dia cukup cerdas mengendalikan emosinya, menyadari kesalahannya dan bangkit di tahun berikutnya. Sekarang, jika dilihat dari segi ekonomi teman saya itu jauh lebih sukses dari saya yang tidak pernah mengalami kegagalan dalam ujian sekolah.

  • Mafia Buku Pelajaran

Bagi masyarakat awam, mafia buku pelajaran ini bagaikan kentut, hanya bisa dicium dan didengar tapi tidak bisa dilihat dan dipegang. Tetapi, teman saya yang mantan guru membenarkan adanya mafia buku pelajaran itu.

Di tahun 80-an buku pelajaran sekolah diseragamkan di seluruh Indonesia untuk tingkat pendidikan yang sama dan bisa diwariskan ke adik kelas. Buku-buku pelajaran dipinjam dari perpustakaan sekolah. Saat ini kondisinya sudah jauh berbeda. Masing-masing sekolah memakai buku pelajaran yang berbeda. Bahkan untuk sekolah yang sama tiap tahun buku pelajarannya selalu berganti sehingga tidak bisa diwariskan ke adik kelas. Siswa 'diwajibkan' membeli dari sekolah karena perpustakaan sekolah tidak menyediakan buku-buku tersebut. Akibatnya perpustakaan sekolah saat ini semakin sepi dari kunjungan siswa. Bahkan di beberapa sekolah sudah tidak memiliki ruang perpustakaan karena sudah dialih fungsikan menjadi ruang kelas.

Pihak Departemen Pendidikan memang hanya memberikan panduan materi buku pelajaran sesuai dengan kurikulum yang sudah ditetapkan. Materi pelajaran ditulis oleh para guru. Akibatnya muncul banyak versi buku dan sepanjang itu sudah sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan, maka buku tersebut bisa dipakai.

(gambar dari nasional.tempo.co)
(gambar dari nasional.tempo.co)
Sebenarnya pihak Departemen Pendidikan sudah menyediakan buku pelajaran dalam bentuk digital atau lebih dikenal dengan BSE (Buku Sekolah Elektronik). Buku-buku tersebut bisa diunduh gratis dari halaman resmi Departemen Pendidikan di sini. Namun sayang sekali sepertinya tidak banyak sekolah yang memanfaatkan/memakainya. Sekolah lebih senang menjual buku yang ditawarkan oleh agen atau distributor buku karena sekolah akan mendapatkan fee untuk setiap penjualan buku tersebut. Jumlahnya tentu cukup lumayan karena sekarang setiap mata pelajaran setidaknya ada dua buku, buku pelajaran itu sendiri (diktat) dan buku LKS (Lembar Kerja Siswa) untuk mengerjakan soal-soal. Untuk tingkat SD saja ada sepuluh mata pelajaran, = 10 mata pelajaran x 2 buku = 20 buku.

Tingkat SMP dan SMU/SMK bisa lebih banyak lagi. Di sinilah para agen dan distributor buku saling adu pintar dan lobby ke kepala sekolah untuk mendapatkan hak 'memasukkan buku' ke sekolah tersebut.

Kebijakan Departemen Pendidikan yang tidak lagi memonopoli penulisan buku ini bagaikan dua sisi mata uang. Kebijakan ini bisa merangsang para guru untuk menulis buku yang pada akhirnya bisa menjadi sumber penghasilan tambahan untuk para guru. Selain para guru, percetakan dan penerbit buku pun ikut 'kecipratan berkah' dari kebijakan ini. Tetapi, jutaan orang tua yang menjerit karena tiap tahun ganti buku (saya pernah mengeluarkan uang buku untuk anak saya yang masih SD sebesar Rp. 480.000,-).

Jika kebijakan ini dicabut dan dikembalikan seperti tahun 80-an, para orang tua yang senang karena tidak tiap tahun harus bayar buku. Tetapi, para guru kembali tidak kreatif dan kehilangan potensi penghasilan tambahan. Bahkan mungkin ada percetakan dan penerbit yang akan gulung tikar. Untuk saat ini tampaknya para orang tua masih harus mengalah.

Untuk terbebas dari 'racun-racun' di atas bisa kita mulai dari diri kita sendiri. Tidak perlu menunggu orang lain yang melakukannya. Berat memang, karena lingkungan kita sudah terpapar sedemikian parahnya oleh racun-racun tersebut. Meski berat bukan berarti tidak bisa. Asal kita punya kemauan pasti bisa.

Di depan memberi contoh/teladan

(Ing ngarsa sung tuladha)

Di tengah memberi semangat/spirit

(Ing madya mangun karsa)

Di belakang memberi dukungan/dorongan

(Tut wuri handayani)

 Itulah yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara.

"Selamat Hari Pendidikan Nasional"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun