Mohon tunggu...
Masta Marselina Sembiring
Masta Marselina Sembiring Mohon Tunggu... -

Saya seorang Mahasiswa jurusan keguruan, ingin mencoba menulis apa yang saya pikirkan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Perempuan Bercerita

20 April 2011   08:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:36 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

(Masta Marselina Sembiring)

Lembaran itu mulai akan di tulis. Tinta hitam akan terhapus. Diganti dengan tinta emas yang lenkat dari suatu pengakuan. Memiliki sosok lain dalam hidup adalah impian. Impian yang diwarnai dengan jutaan warna. Warna-warna yang indah. Mungkin merah, kuning, unggu, perak dan semua warna yang kupadu. Aku jijik dengan hidupku dulu. Semua yang kulakukan dulu ingin kukubur dalam-dalam bahkan sedalam-dalamnya. Aku gali lobang sangat dalam dan kumasukkan nyawa-nyawa kotor itu dan kubalut dengan lapisan-lapisan tanah berton-ton beratnya. Aku tidak ingin hariku ada yang menghancurkan. Bertahun-tahun aku capek, letih, bahkan remuk ingin bangkit dari duniaku yang hitam, lengam, yang selalu meninggalkan nada-nada kesunyian

Udaranya segar, nyanyian burung-burung masih jernih terdengar, riuknya air keluar dari pancuran air sangat menyegarkan. Keramaham, senyuman bertebar luas menyambut pagi. Matahari selalu menyaksikan keakraban dari setiap penghuninya. Cukup menyesal aku jika kuingat masa lalu. Aku tergambar gadis, namun tidak suci lagi. Aku dulu kotor sekarang terlihat bersih. Semua orang di rumah ini dan sosok yang kukangumi yakni mamak mencintaiku. Yang kupanggil mamak merupakan calon mertuaku. Yang tiga hari lagi akan menjadi ibu mertuaku. Aku akan menikah dengan Idon anaknya. Laki-laki yang kukenal di simpang gang kosku dulu. Banyak kisah yang dia tahu tentang aku. Tetapi untuk mamak rahasia itu tidak pernah terungkap. Calon suamiku Idon selalu membanggakanku di depan orang tuanya. Dia anak laki-laki satu-satunya dari tiga bersaudara. Dan haya dia pula yang belum menikah dan memilih aku. Sebenarnya aku cukup malu. Malu terhadap diri sendiri. Malu terhadap malam. Malu terhadap dinding. Malu terhadap kasur dan bantal. Dan malu terhadap dunia. Aku takut semua akan terungkap. Semua kisah itu. Walau kota itu jauh dari duniaku sekarang. Walau keberuntungan sekarang ini menggubah nasibku. Namun, aku takut jika luka yang mengendap akan meluap dari nyawa lain.

***

Malam itu yang berbicara. Sudah berhari-hari aku di kota ini. Semua janji tak ditepati. Aku datang dari pulau lain. Walau kusebut tak cukup cerita untuk itu. Dengan tidak memiliki modal apa pun, aku berangkat dengan kawan-kawan sekampung. Umurku masih kira-kira 15 tahun, itu pun aku tidak ingat. Aku tidak sempat tamat SD. Tapi aku masih ingat sedikit bahwa aku adalah anak ke 6 dari 12 bersaudara. Ayahku dulu bekerja sebagai buruh pabrik. Ibu hanya sebagai tukang cuci dan menggosok yang tidak jelas pendapatannya. Aku hanya mengenyam pendidikan sampai kelas 4 SD. Karena banyaknya mulut yang harus di isi dangan makanan, maka ayah memberhentikan aku sekolah. Aku sangat benci itu. Karena sakin banyaknya anak ayah dan ibu, dia lupa nama-nama anaknya. Aku ingat namaku Sumi. Itu pun saat aku dipanggil laki-laki paruh baya, yang bernama pak Narto.Kami dibariskan di lorong sempit gang kampung dalam. Ayah tidak sempat menggantar aku. Hanya Ibu dengan adikku yang masih berumur 2 bulan digendong dan menuntun 2 orang adikku yang lain, karena jarak kelahiran adik-adikku hanya sekitar setahunan. Sedangkan saudara-saudaraku yang lain tidak dapat ikut karena sibuk bekerja sebagai buruh di kebun teh, tukang botot, dan bahkan sebagai pengamen jalanan.

Aku melihat sosok wanita yang berdiri di samping mobil Pick-up dengan bergaya ramah. Dia seperti penjual emas yang berjalan. Kalungnya yang besar, deretan cin-cin berbaris rapi di sepuluh jarinya. Dengan isapan sebatang rokok, dia terlihat hebat. Pakaian ketat melekat ditubuhnya yang besar. Gulungan rambut keritingnya ditambah tebalnya lapisan bedak dan olesan lipstick merah menggores bibirnya yang tebal. Dia senyum terpaksa kepada setiap orang tua yang melepas anaknya yang dijanjikan bekerja di kota. Sarinah namanya.Salah satunya terkena rayuan Sarinah adalah Ibu. Dengan bujukannya saat itu datang ke rumah dan memberikan lembaran uang Rp. 50.000-an, dia merayu ibu dan memilih –milih aku dan 3 saudara perempuanku yang diatasku. Namun, dia lebih menyukai aku. Padahal aku jorok, bau sampah, hitam, dekil. Entah alasan apa dia memilih aku.

Sarinah juga mengunjungi seluruh kampung dan mencari anak-anak yang lain. Dulu aku bertanya kenapa hanya anak perempuan yang terpilih? Yang akhirnya aku mendapatkan jawabannya sekarang. Aku diberangkatkan.Berjam-jam di mobil tua itu. tidak ada istirahat. Tidak ada makanan. Tidak ada minuman. Kekejaman wanita itu telah nampak. Sarinah yang kejam.

“Tidak ada makan, sebelum bekerja,” tegasnya pada kami. Padahal dia dengan Narto bisa makan di hadapan kami. Kami hanya bisa diam. Kami masih kecil. Untung saja ibu memasukkan sebotol air ke dalam tasku. Tas yang berisi tiga baju kaos, 3 celana pendek, 2 rok serta 2 kolor dan 2 buah kutang. Aku menyatukan bibirku dengan bibir botol itu. Dan kubagikan juga kepada bibir-bibir yang lain. Walau hanya mengenyangkan sebatas air. Untuk beristirahat kami berhenti di tempat yang sepi. Untuk buang air dan melepskan penat di dalam mobil. Kira-kira 6 jam lama perjalanan. Entah dimana tempatnya, kami diturunkan. Kami dibagikan sebungkus kue dan segelas minuman. Baru itu kami makan. Saat makan, aku ingat orangtuaku dan saudara-saudaraku. Apakah mereka sudah makan? Dengan memendam rasa rindu sesaat. Perutku seakan bersorak karena kedatangan makanan yang lumayan dapat mengenyangkan batas sejengkal perut ini.

Sarinah masuk ke ruangngan itu. Di sekelilingku hanya ada besi-besi tua. Tidak ada sinar matahari yang bercanda, tidak ada kipasan daun yang gugur. Hanya sinar lampu yang tersenyum menyambut kami. Narto dengan memengang kertas, mungkin berisikan nama-nama kami duduk di hadapan kami. Kami hanya diam, memenadam rasa takut. Beberapa menit Sarinah keluar bersama seorang laki-laki berdasi, bermata sipit. Entah orang apa dia. Matanya berbeda dengan mataku, kulitnya putih sedangkan aku hitam. Aku tidak tahu siapa dia. Mungkin suami Sarinah, ah tapi tidak mungkin. Sarinah sudah terlalu tua. Laki-laki bersama sarinah membagi kami menjadi dua kelompok. Kelompok dalam dan luar. Aku tak tahu maksudnya. Aku dan lima temanku masuk ke kelompok luar. Kami hanya terpilih 6 orang. Sedangkan delapan orang lagi ke kelompok dalam. Setelah Sarinah bersalaman dengan laki-laki sipit itu. Sarinah membawa amplob coklat entah apa isinya. Dia mencium balutan itu dan langsung membawa kelompok dalam dari kami.

Dari saat itu, aku tidak jumpa lagi dengan Sarinah dan Narto yang membuat aku masuk ke dunia lain. Aku dibawa si mata sipit dengan naik kapal entah kemana letaknya. Aku sedikit lupa. Namun, dengan umurku yang belia aku sudah dikenalkan dengan pakaian tipis, seksi. Pipiku di oles dengan berbagai bedak. Pertama kali aku dijual dengan harga cukup mahal. Aku tidak mengerti kenapa hargaku cukup mahal. Namaku tidak lagi Sumi namun Suci. Aku di jual dengan harga 1 juta 5 ratus ribu, bagiku uang segitu sudah sangat banyak. Dulunya aku tidak pernah melihat uang nominal besar. Dulu hanya melihat nominal 500 dan 1000. Dengan harga pertamaku aku sanggat takut. Tapi yang kudapatkan hanya 300 ribu. Kata simata sipit aku harus memotong modal untuk pakaian, bedak, makanan dan semuanya. Entah siapa laki-laki pertama yang menikmati tubuhku, aku tidak ingat. Aku hanya ingat rasa sakit dan perih, serta ceceran darah keluar dari kegadisanku. Yang belum kusadari bahwa itu yang membuat aku mahal. Beberapa tahun aku masih harga mahal. Pekerjaan melacur tidak kenal letih. Aku tidak ingat orang tuaku. Aku terkadang sedih dengan hidupku. kadang aku kangen, namun aku tidak tahu apa yang kurindukan. Mungkin mereka sudah melupakanku. Aku tidak tahu alamat mereka. Sepi hariku ditemani dengan laki-laki yang berbeda. Aku berjasa. Jasa untuk orang-orang yang menginginkanku. Entah berapa puluh laki-laki yang telah kujamu. Mereka kadang raja dan terkadang setan. Mereka terkadang Tuhan yang berwujud iblis. Aku duka dengan keadaan ini. Aku merasa aku wanita yang tidak berharga. Tidak terasa aku sudah 7 tahun melonte. Dan kecantikanku sudah meredup. Makin banyak perempuan muda yang dikirim ke tempat aku melacur. Aku tidak laku lagi. Aku dianggap merugikan si sipit. Aku pun di usir dari tempat aku bekerja. Saat itu juga aku keluar dari tempat setan itu.

Untung saja aku memiliki tabungan. Umurku saat itu sudah 22 tahun. Aku keluar dari tempat itu. Aku gugup melangkah tanah yang baru. Aku ragu menghirup udara baru. Aku merinding ketika matahari menyentuh kulitku. Dengan perjalanan cukup jauh. Aku masuk gang sempit. Disana aku melihat rumah petak yang disewakan. Tanpa ragu aku menyewanya. Harganya lumayan mahal, aku tidak pandai menawar. Akhirnya, aku memilih tempat itu. Saat disana aku masih bingung mau kerja apa. Selama ini aku hanya tahu bersolek dan menjual tubuh ini. Tidak ada pengalaman lain. Aku memutuskan untuk tetap datang ke tempat kerja yang lama, walau pendapatan hanya cukup makan saja. Terkadang aku kangen keluargaku yang besar. Tapi aku tidak tahu mau pulang kemana. Mereka tidak pernah mencariku. Apa mereka masih ingat aku. Dalam rasa sunyi, aku memutuskan bekerja di malam hari. Agar bisa membayar uang kontrak rumah dan sepiring nasi. Dengan tiap hari pulang malam, saat itu aku jumpa dengan Bang Idon, laki-laki yang melepaskan aku dari dunia hitamku. Membuang kertas lama. Menerima aku apa adanya. Dia meyakinkan aku dengan cintanya.

***

Hari indah telah tiba, pukul 10.00Wib aku akan mendapat pengakuan. Aku sangat mengistimewakan hari ini. Mamak sudah menyiapkan kebaya pengantin. Mamak sendiri yang akan merias aku. Penikahan ini hanya disaksikan oleh keluarga dekat bang Idon. Mulai dari sanak saudara yang tinggal di dekat kampung serta para tetangga. Aku merasa malaikat nasib itu memngangkat aku ke istananya. Membayangkan aku bersama Bang Idon duduk santai, meminum secangkir teh, dan hidup dengan hasil ladang yang kami kerjakan bersama. Tidak ada sikap maksiat lagi, tidak ada nafsu laki-laki, tidak ada bau laki-laki kurang ajar, hanya ada bang Idon.

Mamak mengajak aku kekamarnya. Dia mulai merias aku. Aku merasakan sentuhan kasih sayangnya. Mamak sangat baik. Saat itu aku kangen ibu. Ibu dulu jarang memelukku karena saudaraku sangat banyak. Ibu tidak mungkin mengurus kami satu persatu. Di sini aku mendapat segalanya. Dengan penuh kelembutan mamak merias wajah dan rambutku dengan indah.

Dengan menatap cermin yang seakan berbicara padaku, aku mengingat kisahku denganbang Idon. Saat malam itu berjalan. Aku setiap pagi pulang dari kerja. Terus diantar oleh Ojeknya. Dia bekerja membawa Ojek di malam hari. Di siang hari dia bekerja sebagai Satpam di salah satu Bank Swasta. Tiap malam dia menunggu aku. Tak merasa malu dia berbicara padaku. Dia tahu apa kerjaku. Dia tidak pernah kurang ajar padaku. Sesekali kami berhenti di warung dekat gang untuk mengisi perut. Dia sering bertanya-tanya kenapa aku sampai ke kota ini. Dengan adanya waktu aku bersamanya, aku sering bercerita tentang hidupku. Mulai dari aku masih di desa sampai sekarang. Dengan bujukan dan perhatiannya aku lepas dari dunia malamku. Dia mencarikan aku pekerjaan baru. Tanpa ijajah aku bekerja sebagai pembersih toko. Abu dan kotoran sangat akrab denganku. Setiap pulang dari toko di saat sore mulai menyapa Bang Idon terus menjemputku.

Aku senang melihatnya. Aku juga merasakan dia sangat baik padaku. Dia tidak peduli masa laluku. Dengan penuh keberanian yang dia simpan selama bertahun-tahun, dia memberanikan diri untuk melamarku. Dan usiaku juga sudah cukup untuk menikah dan mungkin kira-kira saat ini 26 tahun, karena aku lupa tanggal lahirku. Aku hanya mengira saja. Mulai saat aku berangkat, hingga saat aku sudah tidak gadis nakal lagi, mungkin umurku terhitung segitu.

Bulan mengintip dari celah baju langit gelap. Bang Idon menyatakan cintanya kepadaku, melamar aku dengan lembut. Laki-laki yang kukenal 4 tahun belakangan ini sangat menghibur aku. Aku masih ingat bahasa Cintanya itu, bisa kusebut itu romantis.

“Dek, cukup aku mengenalmu 4 tahun. Aku tidak ingin engkau sedih. Aku ingin mengisi sisa hidup kita bersama. Kita akan tinggalkan kota yang kejam ini. Menikahlah denganku. Aku sakit jika malam tetap menyiksamu, aku ingin membangun surga baru di malam kita,” bahasa bang Idon membuat aku berpikir lama. Banyak pertanyaan yang melintas di pikirku. Apakah aku sanggup dengan suasana baru itu. Apa cerita lamaku tidak akan terungkap. Aku senang bercampur tanya. Aku merasakan sentuhan tangannya menyambar tanganku. Aku sulit berucap. Aku sulit bernafas.

“Bagaimana Dek?” Tanyanya membuat aku harus memutuskan untuk tidak. Tidak akan merusak masa depannya. Tidak akan menghancurkan nasib baiknya. Tidak akan menodai kisahnya yang indah dengan kisah hitamku. Lama bagiku untuk berpikir menerima lamaran itu. Namun beberapa hari dari malam itu. Aku memutuskan untuk bersamanya. Dengan keputusan itu juga dia membawa aku ke kampungnya, desa kecil, indah dan segar. Aku diterima dikeluarganya. Rahasia yang kubawa di masa laluku hanya sebuah cerita. Bang Idon mengenalkan aku sebagai anak yatim piatu yang hidup di pantiasuhan. Mungkin dengan latar belakang itu Mamak menerima aku dan menyayangi aku.

Aku menatap cermin kembali. Wajahku sudah cantik. Tempelah riasan wajah seakan menutup luka lamaku yang dulu. Mamak memakaikan aku anting, kalung, dan gelang. Dengan segala kasih sayang itu. Teteasan air mata jatuh dari pelipis mataku. Aku meragukan pernikahanku. Aku berdosa telah membohongi mamak. Aku tidak ingin menyakitinya.

“Nakku, jangan menangis! Nanti riasannya rusak,” mamak memeluk tubuhku dengan kasih sayang. Mamak hanya sebagai calon mertua yang sangat menyayangi aku. Dia termasuk keluarga mapan di desa ini. dadaku sangat sesak. 30 menit lagi aku akan menikah. Ijab Kabul itu akan berucap. Aku tidak ingin ada rahasia antara aku dengan mamak. Saat mamak ingin melepas pelukannya dan menghapus pipiku karena tetesan air mata aku menahan tanggannya.

“Ada apa Ci? Tidak usah sedih lagi. Idon pasti sayang padamu, nak,” bahasa mamak menyakinkan aku. Aku harus menjawab dan bercerita pada mamak.

“Bukan itu mak. Aku tahu mamak dan bang Idon sayang padaku. Aku tidak ingin ada rahasia antara kita. Aku tidak ingin di masa yang akan datang mamak kecewa padaku. Mamak tidak pernah bertanya siapa aku. Darimana aku. Mamak sangat baik.” Aku terus bercerita dan mengungkapkan rahasia dalam hidupku. semua kekotoranku. Aku yakin mamak akan menolak aku dan membantalkan perkawinan ini. “Aku mantan seorang lonte, mak”. Mamak hanya diam sejenak tak ada kata. Dinding seakan bersorak padaku, kamar ini seakan meruntuhkan harapanku. Dengan tangan itu dia mengangkat pipiku, bukan tamparan yang kudapat. Namun, kata kemerdekaan jiwaku.

“Apa seorang perempuan lonte tidak berhak untuk menikah? Apa seorang perempuan yang yang tubuhnya melacur tidak memiliki wali tidak bisa menikah? Apakah status selalu diperhitungkan dari suatu kehiddupan? Hanya perempuan yang mengerti sesama perempuan, nak. Walau kadang perempuan menghianati sesama perempuan itu juga. Tapi, aku bukan perempuan itu, nak. Aku juga dulu seorang yang rendahan. Sorang yang murahan. Kisahmu mengingatkan aku dengan masa laluku. Jangan merasa aku akan memukulmu. Aku tidak ingin sebagai cuka yang menyiram lukamu yang tertimbun bertahun-tahun. Aku ingin seperti matahari yang mampu memberika kehangatan bagimu. Jangan sedih, nak.” Jawaban mamak membuat aku tergerak, mamak sangat baik. Mamak mengangkat bahuku untuk bangkit. Dia merapikan kembali riasanku. Dia berdiri disampingku. Dan menggucapkan kalimat yang tak terlupakan bagiku.

“Lihat wajahmu di kaca itu. Apa bedanya kau dengan wanita yang masih perawan. Ingatlah bukan dari fisik menilai seatu pengorbanan. Tetapi dari hati.” Mamak mengantarkan aku keluar dari kamar. Dan duduk di sebelah bang Idon. Saat itu juga dunia lamaku akan berubah. Dengan tegas dan lantang Bang Idon mengucapkan ijab Kabul itu. Aku bangga padanya. Hatiku seakan bersorak saat kalimat “sah” keluar dari semua saksi yang hadir. Aku meminta restu mamak yang sekarang sah menjadi mertuaku sekaligus orang tuaku. Adik-adik bang Idon juga memberikan selamat kepadaku. Semua pujian yang terucap. Semua doa yang terlantun. Semua berkah yang berkumandang. Bang Idon bisa sebagai imam bagiku. Imam yang sudah dapat menggubah kertasku yang kotor dan menjadi kosong kembali. Dinding rumah seakan tersenyum indah padaku, udara seakan berbisik ria padaku, aku tidak akan takut berkaca. Aku tidak akan takut melangkah lagi. Aku tidak takut matahari menyentuh kulitku. Aku juga tidak takut lagi saat bulan menyelimuti malamku. Langit rumah bertepuk tangan atas kemenanganku itu. Bang Idon memelukku, terimakasihku kepada orangtuaku kusujudkan dengan doa tanpa mereka aku tidak bisa bertemu dengan laki-laki yang mencintaiku. Aku belajar semua dari awal. Belajar menjadi seorang istri, belajar agama dan belajar mencintai keluarga baruku. Kasih sayang dilimpahkan keluarga ini tak terbayangkan bagiku, terkadang aku merasa mimpi. Namun itu tidak mimpi, itu nyata. Saat itu juga aku tidak takut untuk tidur dan melukis mimpiku, karena suatu saat mimpi itu akan nyata seperti hari ini. (20 April 2011)


Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun