Mohon tunggu...
Mas Sam
Mas Sam Mohon Tunggu... Guru - Guru

Membaca tulisan, menulis bacaan !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Khianat

5 Juli 2020   09:46 Diperbarui: 5 Juli 2020   09:48 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
majelisadatsasak.org

Kegelisahan hatiku lah yang telah menuntunku ke pondoknya yang teduh.  Letaknya jauh dari keramaian, di pinggiran hutan.  Untuk sampai ke sana harus melewati pematang sawah setapak, kemudian menyusuri sungai kecil yang berhulu dari tengah hutan.

Sebetulnya pondok ini akrab denganku ketika aku masih kecil dulu.  Di sini aku belajar mengaji dan menunutut ilmu agama.  Kesibukanku sehari-hari di kota membuatku melupakan tempat yang menenteramkan hati ini. Beberapa pengasuh pondok masih mengenaliku saat aku datang.

"Silahkan tunggu dulu ya mas, kyai masih berdzikir", kata salah seorang pengasuh pondok sambil mempersilahkan aku istirahat.

Ingatanku melayang ke masa ketika aku bersama teman-teman mengaji di pondok ini.  Berdirinya pondok ini sebenernya banyak ditentang masyarakat yang masih menganut ilmu kejawen.  Itulah kenapa akhirnya pondok ini berada di pinggir hutan.  Berkat bapakku yang sedikit berpandangan luas, bapak dapat meyakinkan masyarakat untuk mengijinkan pak kyai mendirikan pondok pesantren.  Syaratnya pondok harus didirikan jauh dari perkampungan penduduk.

Begitulah akhirnya pondok dapat berdiri dan pak kyai dapat mengajarkan ilmu agama dengan tenang.  Sayangnya masyarakat, terutama anak-anak, hanya sedikit yang mau belajar agama. Dari kampungku hanya tiga anak yang bersedia, salah satunya aku.  Setelah pagi sekolah dan siangnya mmbantu bapak ke sawah malam harinya aku mengaji ke pondok.  Setengah jam sebelum maghrib kami mendatangi pondok.  Pas waktu maghrib tiba kami sholat berjamaah dimami pak kyai.

"Assalamu alaikum. Udah lama datangnya nak ?", tiba-tiba suara yang dulu akrab di telingaku membuyarkana anganku.

"Wa alaikum salam. Belum pak kyai. Baru sebentar kok", jawabku gugup.

"Gimana keadaanmu di kota ?", tanyanya yang kurasakan seakan menohok ke ulu hatiku.

Aku tak kuasa menjawabnya, aku hanya dapat menarik nafas panjang.

"Ya udah ayo masuk dulu", katanya sambil membimbingku masuk ke dalam pondok.

                                                          *

"Sesungguhnya anak dan istri adalah ujian bagi suami", kata pak kyai memulai wejangannya kepadaku.

Aku hanya menunduk tak kuasa menatap wajahnya yang teduh penuh kharisma itu.  Dosa-dosa yang menyelimuti hatiku membuatku merasa begitu hina di hadapan pak kyai.  Lidahku pun kelu tak mampu berkata-kata.  

Memang selama ini aku telah melupakan petuah pak kyai sewaktu melepaskan aku ketika aku dulu pamit mau merantau ke kota.

"Carilah harta dengan cara yang hala", begitu singkat pesan pak kyai.

Awalnya aku memegang kuat kata-kata pak kyai.  Aku begitu gigih mengumpulkan kekayaan sampai aku berani menyunting seorang gadis.  Dari sinilah awal petaka dalam kehidupanku.  Istriku memang dari keluarga yang berada.  Dia mau menjadi istriku juga lebih didasari karena aku mempunyai banyak harta dari saha kerasku.

Terbiasa hidup kecukupan istriku pun menuntut untuk kehidupan yang enak.  Untuk aktivitasnya sehari-hari dia minta disdikan mobil khusus untuknya.  Lebih aman setir sendiri daripada harus kesana-kemari di antar sopir, pikirku.  Dia juga menuntut aku untuk memenuhi kebutuhannya untuk bersosialisasi dengan teman-temannya dari kalangan high class. Dari pakaian, tas, sepatu, jam tangan, perhiasan dan alat-alat kecantikan yang bermerk. Semua aku penuhi untuk menyenangkan hatinya.

Begitu lahir anak kami kebiasaan hidup mewahnya semakin menjadi-jadi.  Alasannya demi anak semata wayang. Pakaian anak-anak dan maian semua tersedia dengan lengkapnya.  Setiap minggu kami jalan-jalan ke mall, makan-makan dan belanja.  Akhir bulan kami pergi pelesiran ke tempat wisata.  Bahkan setiap liburan semester kami pergi ke luar negeri menginap seminggu.

Semua itu pasti perlu biaya.  Aku harus menunjukkan sebagai suami dan bapak yang dapat membahagiaan anak dan istri.  Akupun mencari uang dengan segala cara. Untuk mendapatkan proyek aku menyogok kepada pejabat-pejabat yang bisa menggolkan proposal bisnisku. 

Untuk mendapatan untung besar tak ada salahnya keluar sedikit biaya, begitu prinsipku. Begitulah kenyataannya karena aku bisa mengentertainmen orang-orang kantoran itu bisnisku lancar terus.  Proyek-proyek bisnisku tak berhenti-henti jalan.

Karena aku sibuk mengurusi bisnis maka anak istriku aku turuti semua yang mereka mau.  Aku account khusus untuk mereka dengan saldo yang tak terbatas.  Aku merasa dengan uang itulah aku telah memberi kasih sayang kepada mereka.  Aku sendiri semakin tenggelam dengan urusan bisnis.  Aku harus mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya untuk membahagiakan keluargaku.

                                                               *

"Kamu sudah berkhianat", kata pak kyai mengagetkanku.

"Khianat kepada siapa kyai. Semua janji sudah aku tunaikan !".

Kamu lupa yang dulu saya ajarkan.  Dalam hal harta kelak di alam kubur akan ditanyakan dua hal, dari mana harta itu kau peroleh dan untuk apa harta itu kau gunakan. Kamu lupa pesanku untuk mencari harta secara halal. 

Kau juga menghambur-hamburkan uang untuk kesenangan duniawi belaka. Sesungguhnya Alloh SWT telah memberikan kepercayaan kepadamu dengan menitipkan harta yang berlimpah. Kamu telah mengkhianati kepercayaanNya maka kamu tidak mendapatkan ketenangan dalam kehidupanmu. Panjang lebar pak kyai menjelaskan untuk membuka kesadaranku.

"Ya kyai !". 

Hanya itu yang bisa aku katakan. Semua yang dikatakannya benar adanya.

"Sekarang kamu ambil wudhu sana", perintah pak kyai.

Akupun melangkah penuh takzim. Aku merasakan betapa menyejukkannya air wudhu dari genthong tanah itu. Aku merasakan kedamaian ketika air membasahi wajahku seakan membasuh hatiku yang gersang. Damai sekali!

Jkt, 050720

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun