Hari-hari berlalu. Raka semakin merasa dirinya hebat. Setiap kali Ilham mengingatkan, ia menolak dengan angkuh.
"Sudahlah, Ham. Jangan ceramahi aku. Aku tahu mana yang baik buat diriku," ucapnya suatu kali dengan nada ketus.
Puncaknya terjadi ketika sekolah mengadakan lomba Cerdas Cermat Antar-Kelas. Di sini, menyontek mustahil dilakukan. Semua peserta harus menjawab spontan di depan dewan juri dan disaksikan banyak orang.
Raka maju dengan percaya diri. Senyumnya melebar, tatapannya penuh gengsi. Namun begitu pertanyaan pertama dilontarkan, wajahnya pucat. Tangannya gemetar, keringat bercucuran. Ia tak mampu menjawab meski soal itu sebenarnya mudah. Seluruh siswa mulai berbisik-bisik, sebagian menahan tawa.
"Bukankah ini yang katanya juara kelas?" bisik seseorang di belakang.
Sementara itu, Ilham tampil dengan tenang. Ia tidak selalu benar, tetapi ia jujur dalam setiap jawaban. Suaranya mantap, tatapannya yakin. Di akhir lomba, justru kelas Ilham yang keluar sebagai juara.
Setelah lomba usai, Raka duduk di sudut halaman sekolah. Senyumnya lenyap, wajahnya tertunduk malu. Ia merasa seluruh topeng yang selama ini dikenakan runtuh dalam sekejap. Guru yang biasanya memujinya kini menatap penuh kecewa. Teman-temannya pun mulai menjauh, tak lagi menganggapnya istimewa.
Ilham menghampiri pelan. "Aku sudah pernah bilang, Rak. Hidup dengan kepura-puraan itu hanya akan menyakitkan diri sendiri. Belajar itu untuk kebaikan kita, bukan untuk terlihat hebat di mata orang."
Raka terdiam. Kata-kata itu menembus hatinya yang keras. Untuk pertama kalinya, ia menyadari betapa lelahnya hidup dalam kebohongan. Air matanya jatuh perlahan. Ia teringat bagaimana dulu ia menolak setiap nasihat, membiarkan hatinya membatu, dan membungkus semua kelemahan dengan senyum palsu.
Hari-hari setelah itu menjadi masa yang berat bagi Raka. Ia harus menerima cibiran dan rasa tidak percaya dari teman-temannya. Setiap kali guru memberi tugas, ada saja yang berbisik, "Ah, dia pasti bohong lagi." Namun, di situlah awal perjalanan barunya.
Raka mulai belajar sungguh-sungguh. Malam-malamnya diisi dengan membuka buku, bukan lagi gim. Ketika gagal menjawab soal, ia tidak malu mengakui, "Saya belum bisa, Bu." Ia berusaha bangkit, meski perlahan.