Mohon tunggu...
Meneer Pangky
Meneer Pangky Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger

Blogger | Wiraswasta | meneerpangky.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Negara Inferior Mengurusi Harga Barang Pokok?

6 April 2018   07:40 Diperbarui: 6 April 2018   09:09 1014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang petani sedang menunggu pembayaran dari bandar gabah. @2013, Meneer Panqi

Saya agak lama nggak pantengin lagi kompasiana. Meski nggak nulis, dulu masih suka nongkrong di kompasiana. Berhubung aktivitas di dunia offline meningkat, ngurusin BUMDes, maka saya sering absen. Lama tak jumpa, saya kok jadi kangen ya!

Eee, pas nongkrong ada event BC soal stabilitas harga dari Pak Mendag. Awalnya sedikit menduga bahwa Pak Mendag kehabisan gagasan untuk menyetabilkan harga bahan pokok. Namun kemudian saya menganulir pikiran suudzon tersebut. Saya memaklumi Pak Mendag meminta masukan opini dari rakyat terkait hal ini.

Bukan lantaran kehabisan ide, namun karena ini menjadi kebutuhan mendasar rakyat. Maka sebagai subjek sekaligus objek, rakyat harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan ini. Saya anggap ini sebagai usaha nyata Presiden Widodo untuk memenuhi urusan perut rakyatnya.

Apalagi setelah swasembada pangan pada tahun 1984 dan 2008 Indonesia belum pernah lagi mencapai kesuksesan itu. Saya kira soal stabilitas harga barang pokok hanya ada dua isu penting yang menjadi momok problem. Pertama, soal pasokan dan ketersediaan barang. Kedua, perilaku pedagang.

Nah, ribetnya pada kasus pertama. Ini penyakit kronis. Sudah komplikasi. Bagaimana mau swasembada pangan jika rakyat malas bertani? Seusia saya saja 30 tahun yang tinggal di sebuah desa Indramayu---daerah lumbung beras. Anak-anaknya malas meneruskan profesi mulia orangtuanya. Lebih bangga menjadi pegawai. Konon, enak sih terima gaji tiap bulan. Beda dengan petani, yang empat bulan sekali. Itu juga bila panennya jadi.

Sedangkan, petani-petani di desa saya sudah senja semua. Akibatnya susah diajak maju dengan pembaruan teknologi. Anti inovasi. SDM Kolot. Diperparah oleh konversi lahan yang tinggi, sawah berubah menjadi perumahan dan pabrik. So, bagaimana mau bertani sedangkan lahan garapan saja nggak ada? Satu sisi lainnya populasi penduduk bertambah terus tiap tahun.

Padahal swaswembada pangan dimaksudkan agar rakyat Indonesia bisa memenuhi kebutuhan pangannya sendiri, tidak melulu menggantungkan diri pada impor. Bukan soal anti impor. Tetapi mana ada bagus-bagusnya bila apa-apa selalu menggantungkan diri pada impor, bisa negatif dong perdagangan negeri alias tidak surplus.

Menurut Bapak saya, jaman Pak Harto segala kebutuhan para petani dipermudah. Pupuk gampang didapat, bibit mudah diperoleh, semua dengan harga yang ditekan dan ditentukan! Karena semua kebutuhan petani bisa gampang diperoleh dan dengan harga murah, maka petani dengan mudah, tenang, dan leluasa  mengolah sawahnya.

Meski Bapak saya mengeluh harga beras yang murah---bapak juga juga tukang tempur gabah dan beras---pada saat itu. Sebagai petani dan pedagang beras sekaligus, namun satu sisi lainnya memaklumi nrima karena harga bahan pokok lainnya murah. Dari BBM, listrik, dan seterusnya.

Alhasil meski nggak menjadi kaya dan sejahtera waktu itu. Bapak memuji masih enak jaman Pak Harto. Sebab, biar harga beras sekarang mahal, petani sekarang tetap nggak kaya dan sejahtera juga. Padahal sudah ganti berapa presiden. Itu persaksian bapakku. Apa yang bapak alami, saya juga mengamini. Saya melihat meski harga beras mahal, tapi harga gabah tetap murah. Melansir dari kompas.com biaya produksi gabah per kilo di Indonesia 2,5 kali biaya produksi gabah di Vietnam yakni Rp. 4.079,-. [27/07/2017]

Tentang biaya produksi di atas saya amini. Sebagai petani, saya bayar tukang tandur, traktor, penderep, buruh jemur, tukang pelatsemuanya minta upah naik. Alasannya, menurut mereka listrik, bbm, gas semua naik. Kami juga minta naik. Sisi lainnya, gabah saya setelah panen ditawar murah hanya kisaran Rp. 4.400-4.700,-/kg. Keuntungan saya tipis. Misal produksi sawah saya yang sehektar menghasilkan 6 ton. Maka kalikan saja 6.000 kg dengan Rp. 500,-. Saya hanya dapat untung Rp. 3.000.000,- selama 4 bulan. Atau taruhlah dengan harga tertinggi margin untungnya Rp. 700,-. Saya pun hanya dapat untung Rp. 4.200.000,-.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun