Melihat Peristiwa dengan Keheningan Hati
Membaca artikel Susy Haryawan dengan judul Mantan Pastor Kamuflase Gereja Karimun dan Toa kita seakan tersentak. Â Kejadian dan eufuoria dominasi agama di sebuah kawasan seakan menjadi ancaman bagi sebuah eksistensi agama lain sebagai minoritas.
Terlebih persoalan simbol-simbol agama yang  menjadi etalase perselisihan tidak menemukan jalan,  dan berakhir stuck.
Akhir dari peristiwa ini adalah pelarangan bagi simbol agama berupa salib. Padahal itu jelas sebuah gereja, Â dimana ornamen-ornamen seperti gambar, Â patung, Â alat-alat ritual, Â merupakan hal yang biasa dalan sebuah rumah ibadah.
Sehingga memaknai sebuah peristiwa dengan menyertakan asumsi tanpa melihat secara dekat,  adalah tindakan yang  tidak adil.
Karimunjawa adalah negeri impian, Â saya mengunjunginya beberapa waktu lalu, Â dan menuliskannya di kompasiana dengan judul Cintaku Tertambat di Pulau Karimunjawa.
Saya menikmati semua keindahan pulau eksotis ini bersama istri selama dua hari. Â Bergaul dengan masyarakat setempat dalam mengikuti tur wisata, dan perjalanan ini menimbulkan kesan luar biasa.
Di Karimunjawa ada Masjid Besar dan ada juga gereja yang bangunannya megah tak kalah dengan masjid. Â Selama ini Karimunjawa menjadi contoh adanya kehidupan toleransi. Â Meskipun penduduk Karimunjawa hanya 120/km2 dengan luas 71,2/km2.
Mayoritas beragama Islam dengan penduduk nasrani sekitar 5% dari total populasi. Sehingga kebaktian gereja di Karimunjawa memang datang  jemaat dari luar pulau semisal Jepara. Mereka datang  menggunakan perahu mesin setiap hari minggu atau menumpang kapal penumpang ekspres.
Bahkan di hari minggu banyak juga wisatawan yang  ikut kebaktian pagi sebelum tur laut dimulai.
Hal ini menegaskan bahwa masyarakat Karimunjawa tidak terganggu dengan aktifitas gereja.
Saat wisatawan datang, penduduk lokal juga tidak bertanya kepada para wisatawan agamanya apa. Sebab sebuah pulau wisata terbuka bagi agama apapun untuk mengunjunginya.
Ada banyak paragraf yang  ditulis oleh saudara  Susy Haryawan,  kemudian menghubungkan dengan mantan pastor dan pemurtadan.
Coba lihat secara gamblang isi sebuah berita di media. Â Kemudian komparasikan dengan media yang lain dengan genre yang sama. Â Agar anda bisa melihat sebuah peristiwa secara nyata tanpa harus memposisikan salah satu pihak sebagai terdakwa.
Hanya satu nama yang  disebut, tapi dalam rentetan masa Karimunjawa. Tidak salah to?
Coba baca  tentang psikologi massa
"Psikologi massa seringkali dipengaruhi oleh hilangnya tanggung-jawab seseorang dan pandangan akan perilaku universal; keduanya bertambah sesuai dengan jumlah massa"
Narasi-narasi provokatif memang sangat mempengaruhi kondisi. Â Sehingga konflik tersulut dengan mudah apalagi dengan aroma kebencian dan rasa ketersinggungan. Jadi klop kan?
Saya mengenal beberapa orang pemandu wisata yang ada  di sana dan masih berhubungan dengan baik sampai saat ini. Ketika saya mengkonfirmasikan masalah ini mereka bilang "jangan percaya isu media".
Mereka ingin pariwisata tetap hidup dan menghidupi orang-orang yang berada di dalamnya sebagai pelaku wisata.
Dan bila media terus memblow up sebuah peristiwa lalu orang-orang hanya melihat kulitnya tanpa pendalaman dan ikut menyebarkannya begitu saja, Â pasti sektor wisata di Karimunjawa akan terpukul dengan sendirinya. Â
Buat apa berkunjung kalau sebuah lokasi tak lagi ramah dengan para wisatatawan?
Ayo mas Susy Heryawan.. Buka lagi pandangan anda, Â jangan hanya melihat permukaan sebagai sesuatu yang bisa mewakili isi secara keseluruhan. Â Melihat sebuah peristiwa dengan bijak dan mengapresiasi dengan memilih diksi yang tepat tentu lebih baik daripada sekedar menulisnya dengan sembarang kata.
Mohon tanggapan secepatnya...
Terima kasih.. Â Salam literasi..
Dan.. Â Salam hangat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI