Mohon tunggu...
Mas Nawir
Mas Nawir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Penulis lepas

Vlogger Blogger Youtuber

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bisakah Perempuan Melawan Kekerasan dalam Rumah Tangga?

9 Maret 2020   07:55 Diperbarui: 9 Maret 2020   08:36 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perempuan dalam budaya patriarki memang sering berada di pihak yang kalah. Sebab dalam kondisi ini penguasaan terhadap anak dan harta benda berada di tangan laki-laki. Lihat di sini

Dalam sebuah keluarga memang sudah terbiasa bahwa suami yang  bekerja,  sementara istri di rumah menjaga harta suami dan melayani semua keperluan keluarga. Karena tidak  bekerja mencari uang seorang istri menjadi semacam beban tersendiri bagi seorang lelaki.

Keberadaannya dibutuhkan,  tapi eksistensinya terabaikan.

Dalam rumah saat ada tamu,  istri terbiasa di belakang,  sebab kalau istri ikut menemui tamu,  apalagi tamu laki-laki dan ikut duduk ngobrol bersama suami dianggap tidak sopan.

Keturunan juga ditetapkan dari garis laki-laki,  sebab laki-laki yang  menanam benih dan perempuan hanya merawatnya.

Soal warisan,  perempuan mendapat setengah dari bagian laki-laki,  karena peran perempuan dalam keluarga tidak sepenting laki-laki.

Laki-laki muncul sebagai pemimpin sedangkan perempuan hanya mengikuti. Sebagai contoh,  kalau suaminya  duduk sebagai lurah,  istrinya pasti dipanggil bu lurah.  Tapi kalau istri yang  jadi lurah,  suaminya tak mungkin dipanggil pak lurah.

Perempuan memang seperti menjadi warga kelas dua,  dianggap sekedar pelengkap kehidupan.

Bahkan dalam sejarah masa lampau,  perempuan rampasan perang di daerah pendudukan dianggap sebagai "ammah" /budak yang tak punya kemampuan melawan  apapun. Sehingga para ammah ini diposisikan sebagai pemuas nafsu belaka,  dan bisa dimanfaatkan tanpa harus dinikahi terlebih dahulu. Bahkan dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa aurat perempuan ammah sama dengan aurat laki-laki.

Memang ada ratu-ratu di masa lampau yang  memimpin dunia.  Tapi keberadaan para  ratu inipun tak mudah mengubah budaya patriarki yang sudah sangat kuat mengakar.

Kondisi semacam ini membuat para perempuan dari generasi ke generasi diperlakukan sama oleh para lelaki.  Terlebih keberadaan mahar  perkawinan dianggap  sebagai sebagai "tukon", barang untuk membeli. Sehingga karena merasa sudah membeli perempuan dari orang tuanya membuat lelaki semena-mena.

Taat dan patuh adalah budaya yang  yang  ditetapkan oleh laki-laki pada perempuan. Tidak ada boleh ada kata membantah atau menolak bila laki-laki punya keinginan. Bila itu terjadi,  maka tak segan laki-laki bertindak kasar,  menyakiti,  bahkan melukai.

Biasanya lelaki akan menyakiti bila argumennya kalah dengan perempuan.  Dalam sebuah pertengkaran,  seringkali hujjah perempuan lebih baik dibanding laki-laki.  Sebab saat melihat penyelewengan dalam rumah tangga,  seorang perempuan akan melihat masalah dengan lebih peka dan terbuka,  sementara laki-laki cenderung menutupi.

Seorang laki-laki yang telah terbuka aibnya dan tak mampu memberikan alasan secara rasional biasanya akan tersulut emosinya karena ia merasa dominan dalam keluarga,  menjadi tulang punggung dalam mencari nafkah sehingga berhak melakukan apapun.

Selingkuh,  berhubungan intim dengan wanita lain, serta berfoya-foya adalah diantara bentuk penyelewengan dalan keluarga. Bahkan tak segan seorang lelaki tega menyakiti anggota keluarga terutama istri bila suatu saat ketahuan melakukan penyelewengan.

KDRT ( Kekerasan Dalam Rumah Tangga)  memang marak terjadi.  Motifnya bisa karena masalah ketidakmampuan suami dalam mencari sumber  ekonomi. Dan bisa juga terjadi karena perasaan mendominasi  dari lelaki karena merasa dirinya berada di posisi utama dalam keluarga.

Banyak ungkapan dalam masyarakat yang  memposisikan perempuan sebagai pihak kelas dua "swarga nunut neraka katut' adalah salah satunya.  Yang memberikan perempuan berada di posisi pengikut.  

Ada juga "gari nadhah karo  mlumah isih mbantah", adalah ungkapan yang  lebih menohok lagi.  Karena hanya memposisikan perempuan yang  hanya menerima dan tidur terlentang,  tanpa perlu membantah.

KDRT dalam budaya patriarki memang tak bisa begitu saja.  Sebab perlu banyak literasi sebagai bahan pelajaran,  bahwa lelaki dan wanita sesungguhnya adalah setara.  Setara fungsi dalam rumah tangga,  dan memiliki kewenangan yang  sama dalam mengelola keluarga.

Perjuangan akan kesetaraan hak dalam rumah tangga memang harus disuarakan dan ditumbuhkan secara terus-menerus, agar menjadi sebuah budaya dan memunculkan sikap dan anggapan bahwa perempuan memiliki hak Yang setara dalam keluarga. Dan harus melawan bila ada penindasan dan kesewenang-wenangan dalan rumah tangga.

Selamat berjuang para perempuan.

Selamat Hari Perempuan 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun