Mohon tunggu...
Mas Nawir
Mas Nawir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Penulis lepas

Vlogger Blogger Youtuber

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Resepsi di Rumah Sendiri, Habis Resepsi Pindah ke Kontrakan

15 Januari 2020   22:28 Diperbarui: 15 Januari 2020   22:34 1389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar hanya ilustrasi /dokpri

Mbah Soleh, perempuan sepuh itu   terlihat ramah melayani pelanggan. Kerut-kerut kerentaan sudah mulai menguasai wajahnya. Terkadang dengan gemetar Mbah Soleh menyerahkan kopi atau teh ke tangan pelanggan. Tak jarang kopi tumpah sebelum sampai ke tangan pelanggan.

Iya .. Mbah Soleh, orang-orang menyebutnya begitu. Entah siapa nama aslinya saya juga tidak tahu.

Sebelum suaminya meninggal beberapa tahun yang lalu, ia berjualan bersama suaminya. Biasanya suaminya hanya menunggu dan sesekali membantu mencuci gelas atau piring. Terkadang pula membantu menjelang air, tapi  sering lupa mematikan kompornya.

Di warung berupa gubug kecil pinggir lapangan itu mereka menyambung hidup. Berjualan nasi bungkus, gorengan, serta minuman panas dan dingin. Teh, kopi, jeruk dan sebagainya.

Dulu sekali waktu saya masih jualan keliling, sering mampir ke warung ini. Sekedar menikmati segelas kopi sambil bercerita tentang kehidupan.

Diusia makin lanjut, beban hidup yang dihadapi  justru semakin berat.

Semenjak suaminya meninggal Mbah Soleh putri  hidup sendiri. Anak tunggalnya telah meninggalkannya  karena salah faham yang tak pernah ketemu jawabannya.

Kejadian 11 tahun yang lalu menyisakan luka yang teramat dalam. Bahkan sampai sekarang anaknya tak pernah menyambanginya. Walaupun tinggal hanya satu kota.

Bermula dari anak tunggalnya, sebut saja namanya Eko (bukan nama sebenarnya), berkeinginan menikah dengan gadis pilihannya. Lalu orang tua saling berunding menetapkan hari pernikahan.

Sebagaimana biasa, ijab kabul dilaksanakan di rumah mempelai putri. Dilanjutkan dengan resepsi lumayan mewah. Tamu undangan ratusan yang datang . Solo orgen dengan 3 orang biduan cantik ikut memeriahkan acara.

Mbah Soleh pun ngunduh mantu dengan acara sederhana, dengan mengundang tetangga kiri kanan dan para kerabat.

Beberapa hari setelah ngunduh mantu. Anaknya datang lagi bersama istrinya. Meminta kekurangan biaya resepsi di tempat pengantin putri. Ternyata anak mbak Soleh sudah terlanjur berjanji akan membantu setengah dari seluruh biaya yang dikeluarkan orang tuanya. Padahal menurut kabar yang didengar Mbah Soleh, biaya sudah mencukupi. Ada lebihan sumbangan malah.

Ternyata bukan masalah biayanya sudah mencukupi, tapi janji anaknya mbak Soleh yang tidak dimusyawarahkan dengan orang tuanya yang jadi embrio perselisihan.

Mbah Soleh sudah memohon pada fihak  besan bahwa ia sudah tidak punya uang lagi. Sehabis ngunduh mantu semua simpananya sudah tak lagi tersisa.

Tapi orang tua besan terus menekan anak mantunya agar segera menyelesaikan semua janjinya. Posisi saling menekan itu membuat Mbah Soleh terjepit.

Satu-satunya harta yang tersisa hanyalah rumah yang ditempatinya, yang sesungguhnya memang direncanakan akan diberikan kepada anaknya.

Apa boleh buat, rumah pun dijual. Uangnya diserahkan fihak besan, dan sisa yang tak seberapa digunakan untuk mengontrak rumah dekat ia tinggal.

Semenjak itu Mbah Soleh Kakung sering sakit-sakitan, warung juga jarang buka. Akhirnya serangan jantung mendadak menimpa Mbah Soleh, ia menghembuskan nafas terakhirnya diiringi tangis istri dan para tetangga. Anaknya juga datang melayat bersama keluarga besan. Tapi setelah itu tak tampak lagi sampai sekarang.

"Nek dolan mriki malah senengane teng umahe niko (kalau main ke sini sukanya ke rumah itu)",  kata Mbah Soleh putri sambil menyebut nama dan  menunjuk sebuah rumah agak jauh dari warung.

Untuk modal, Mbah Soleh putri harus hutang pada bank harian (kami menamakannya dengan Bank Thithil). Setiap hari tukang tagih itu datang bahkan saat belum seorang pun masuk ke warungnya.

"Lha pripun mas, nek mboten utang bank thithil ajeng utang sinten Malih?"
(Lha bagaimana mas kalau tidak hutang di bank harian mau hutang siapa lagi?), Kata Mbah Soleh memelas.

Saat ini Mbah Soleh putri  sendirian di warungnya.

Terakhir kali saya mampir isi warungnya juga  nyaris tak ada apa-apa. Beberapa piring yang tersaji di meja hanya berisi beberapa potong tahu bacem dan gorengan. Sudah tak lagi komplit seperti yang dulu.

Semoga anak Mbah Soleh segera datang menengok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun