Mohon tunggu...
Langit Cahya Adi
Langit Cahya Adi Mohon Tunggu... Ilmuwan - Technical Assistant

Technical Assistant || Universitas Gadjah Mada (2010-2015) Universite de Bordeaux-Perancis (2016-2018) Osaka Daigaku/Universitas Osaka-Jepang (2019-2022) || Twitter: @LC_Adi07

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Budaya Ilmiah Nggak Hanya Buat Ilmuwan!

16 November 2022   09:08 Diperbarui: 16 November 2022   13:03 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu perpustakaan di l'Université de Bordeaux - Perancis (dokumen pribadi)

Dengan menggunakan fitur tanya-jawab (Question) di Instagram, seorang teman lama bertanya pada Instagram Story akunnya seperti ini, "Menurut kalian, apakah skripsi perlu buat kuliah jenjang sarjana strata satu (S-1)?" Bila dilihat dari jumlah pengikutnya yang mencapai 4 digit, bisa dibilang ia seseorang yang punya pengaruh di luar maupun di dalam jagad internet.

Saya yang kebetulan sedang membuka unggahan itu menjawab, “Perlu, karena untuk melatih mahasiswa untuk berpikir/berbudaya ilmiah.”

Dia merespon tanggapan saya di Instagram dengan berucap, “Iya sih, tapi ‘kan nggak semua mahasiswa akan jadi ilmuwan.”

Baiklah. Kita semua sudah mengerti bahwa salah satu peran perguruan tinggi ialah untuk jadi pusat sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan melalui aktivitas pengajaran kepada dan belajar oleh mahasiswa/i dan kegiatan riset atau penelitian. Hanya saja, meskipun benar tidak semua mahasiswa akan jadi ilmuwan, apakah benar bahwa berbudaya ilmiah hanya diperuntukkan bagi para ilmuwan saja?

Lagipula, berbudaya ilmiah itu seperti apa?

Kita akan mendapatkan banyak pengertian bila kita mencari definisinya dari berbagai referensi tetapi secara garis besar, berbudaya ilmiah dapat kita pahami sebagai sikap hidup yang dipandu oleh sikap hidup yang dipandu oleh kaidah atau metode ilmiah. Kita hidup mengacu oleh ilmu karena lewat ilmu-lah segala sesuatu yang dapat teramati bersifat bisa dipelajari secara terstruktur.

Terminologi “metode ilmiah” tidak mesti menyangkut dan mengandung penelitian yang rumit berbekal seabrek teori dari buku atau publikasi ilmiah, melainkan tentang kemampuan mengidentifikasi masalah yang dapat diamati secara empiris dengan cermat dan mencoba mengaitkan masalah tersebut dengan teori atau pengetahuan berbekal ilmu yang sudah ada dan relevan demi mendapatkan jawaban dan penjelasan yang sifatnya rasional.

Dengan ilmu kedokteran, kita dapat mendiagnosis gangguan di dalam badan kita sekalipun kita menyangkalnya dan firasat kita berkata kita baik-baik saja. Berbekal ilmu astronomi, gerhana terbukti sebagai peristiwa alam biasa yang bahkan bisa diprediksikan kapan terjadinya, bukan karena benda langit diterkam oleh raksasa jahat.

Menggunakan ilmu sejarah, kita mampu menelusuri arsip-arsip kerajaan di Nusantara dan mengerti adab dan adat yang dipraktikkan pada kurun waktu tertentu serta, mungkin, menguak fakta tak semua penguasa sebaik yang diceritakan turun-temurun dari mulut ke mulut. Berkat ilmu psikologi, seseorang yang gangguan mental dapat ditolong, bukannya dikurung karena dianggap kerasukan setan.

Maka, antitesis dari budaya ilmiah ialah pola pikir irasional seperti berpikir berlandaskan takhayul dan istilah yang paling sesuai dengan konteks situasi di Indonesia hingga hari ini bisa jadi ialah yang biasa disebut oleh Tan Malaka sebagai logika mistika seperti yang dia tuliskan di dalam “Madilog” dan “Aksi Massa”. Bukankah Mochtar Lubis melalui bukunya “Manusia Indonesia” juga menyatakan bahwa salah satu ciri utama manusia Indonesia ialah percaya kepada takhayul?

Itu belum ditambah dengan banyaknya hoaks dan teori konspirasi yang merebak di mana-mana karena banyak dari saudari-saudara sesama warga Indonesia yang tidak mampu mengkaji dan mengolah berita dengan baik.

Sebenarnya, berbudaya ilmiah menunjukkan bahwa kita sebagai mahkluk yang berkesadaran dan berakal budi mampu memaksimalkan potensi intelektual kita dengan sepenuhnya dan dengan seluruh kemerdekaan yang kita punyai. Budaya ilmiah menuntut kejujuran dengan mengakui bahwa ada yang belum kita ketahui dan kita masih harus terus belajar karena masih banyak yang harus dipelajari. Alih-alih pasif dan menanti keajaiban sekonyong-konyong muncul, manusia dituntut untuk mandiri berpikir dan mengambil inisiatif.

Selama ini mahasiswa/i dipandang sebagai agen perubahan dan perguruan tinggi diibaratkan “dapur” yang mematangkan agen-agen tersebut. Dalam hal ini, skripsi tetap diperlukan dan bahkan menjadi keharusan. Bukan malah direduksi sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana saja.

Seorang mahasiswa/i suka atau tidak suka ikut menyandang tanggung jawab perguruan tinggi untuk mendiseminasi pengetahuan yang diproduksi oleh kegiatan risetnya untuk menyumbangkan pemahaman baru dan spirit berpikir ilmiah. Untuk sementara, tak usah risau bila kontribusinya dari penelitian relatif kecil dikarenakan keterbatasan fasilitas penelitian yang tersedia.

Tidak semua mahasiswa selepas studi sarjana akan menjadi ilmuwan, tentu saja. Di luar negeri, lulusan program doktoral pun banyak yang bekerja di sektor industri atau menjadi konsultan. Di atas semua itu, mahasiswa/i Indonesia sampai saat ini ialah kaum yang memiliki privilese menonjol di tengah masyarakat lebih-lebih di tengah kesulitan ekonomi yang diakibatkan oleh adanya pandemi COVID-19.

Artinya, mahasiswa/i pada kondisi idealnya selalu diharapkan mampu menyumbangkan gagasan untuk menyelesaikan masalah, lepas mau bekerja di tengah masyarakat secara langsung atau melalui instansi tertentu. Tak peduli dia hendak bekerja sebagai ilmuwan atau bukan, budaya ilmiah adalah bekal terbaik yang dapat diraih selama pendidikan di perguruan tinggi sebagai salah satu bukti dan warisan kemajuan peradaban dan harus disebarkan.

Tentu saja cara terbaik untuk membangun budaya ilmiah ialah dengan membiasakan sikap ilmiah secara intensif dengan berbekal fondasi-fondasi yang dibangun dari penelitian yang patuh pada kaidah ilmiah secara ketat. Bukan sekedar mengakali data pengamatan, memanipulasinya, atau berbohong supaya memuaskan si peneliti atau keinginan dosen pembimbingnya.

Dalam diri mereka yang berbudaya ilmiah, tidak ada prasangka dan asumsi buta karena eksperimen, pengamatan, dan pengujian mengikis habis segala dugaan yang tak dapat dibuktikan atau terbukti salah. Saya tidak tahu, apakah semua civitas akademia di Indonesia sudah menerapkan prinsip itu?

Kita boleh berteori bila budaya ilmiah sungguh dibangun maka Indonesia dapat berkembang lebih pesat dan secara tak langsung salah satu darma perguruan tinggi, yakni pengabdian masyarakat, dapat terpenuhi. Budaya ilmiah bukan sesuatu yang sifatnya elit karena terbatas dimiliki oleh para ilmuwan, melainkan sesuatu yang seharusnya dirawat dan tumbuh secara merata di tengah masyarakat Indonesia untuk Indonesia yang lebih baik. Demi demokrasi dan kerukunan Indonesia yang lebih baik melalui kecerdasan dan lurus berpikir spula.

Sebagai penutup, alangkah baiknya bila kita renungkan ucapan Tan Malaka dalam “Aksi Massa” berikut:

Marilah kita pergunakan pikiran yang rasional sebab pengetahuan dan cara berpikir yang begitu adalah tingkatan tertinggi dalam peradaban manusia dan tingkatan pertama buat zaman depan. Cara berpikir yang rasional membawa kita kepada penguasaan atas sumber daya alam yang mendatangkan manfaat, dan pemakaian yang benar—kepada cara pemakaian itu makin lama makin bergantung nasib manusia. Hanya cara berpikir dan bekerja yang rasional yang dapat membawa manusia dari ketakhayulan, kelaparan, wabah penyakit dan perbudakan, menuju kepada kebenaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun