"Seyogyanya, setiap perjanjian kerjasama kemitraan itu, didasari pada kepentingan bersama, adil dan saling menguntungkan. Tapi praktiknya, seperti inilah. Sebagaimana teman-teman pelaku UMKM sampaikan, mereka pengusaha besar itu, tidak melaksanakan kemitraan yang berkeadilan," ujar Kamser, putra asal Samosir ini.
"Keberadaan KPPU di negeri ini justeru ingin mendorong terciptanya praktik-praktik bisnis yang berkeadilan, persaingan sehat dan anti monopoli," lanjut Lumbanradja, yang masa tugasnya sebagai komisioner KPPU baru diperpanjang Presiden Jokowi, sehari sebelumnya, untuk masa tugas 2 bulan ke depan.
Begitu juga dengan Nasril Bahar, anggota Komisi VI DPR RI. Legislator asal Sumatera Utara ini menyebutkan, bentuk kerjasama atau kemitraan usaha antara pelaku UMKM dengan perusahaan besar, memang harus selalu diawasi.
Bentuk kerjasama atau kemitraan yang ada selama ini, lanjut Nasril, berlaku tanpa prinsip berkeadilan, dan tidak saling menguntungkan. Perusahaan besar justeru menentukan sendiri bagaimana system pembayarannya, spesifikasi produk, bahkan finalti terhadap pelaku usaha kecil, bila tidak tepat waktu atau tidak sesuai pesanan.
"Sebaliknya, hampir tidak ada sanksi bagi perusahaan besar bila mereka menunda pembayaran kepada pengusaha kecil," kata Nasril.
Nasil Bahar berjanji akan membawa masalah tersebut ke Komisi VI, dan akan membicarakannya dengan kementerian terkait, yaitu Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, serta kementerian yang lain.
Di Sumatera Utara sendiri, sudah cukup banyak pelaku usaha di tingkat UMKM, yang menjadi "korban" perusahaan swalayan besar, yang menjadi suplayernya. Mulai dari persoalan pembayaran yang molor, produk yang menumpuk di gudang, produk yang dinyatakan retur sesudah lebih 3 bulan disuplay, hingga masalah pajak yang menjadi tanggungan pemilik produk.
Di sisi lain, dinas terkait yang ada, selalu membangga-banggakan ketika mampu membawa UMKM nya, menjadi suplayer ke swalayan berkelas yang ada di daerahnya. Sayangnya, para pejabat di dinas dimaksud tidak mengawasi perjalanan kerjasama atau kemitraan tersebut, apakah menguntungkan UMKM atau justeru merugikan.
Bila saja para pejabat di dinas itu melihat kenyataan, bagaimana pelaku UMKM yang menjadi suplayer ke swalayan-swalayan besar itu silih berganti, adalah karena pelaku UMKM memang pada posisi terus merugi, sehingga UMKM menghentikan kerjasama tersebut.
Sementara UMKM yang sama sekali belum mengetahui keuntungan dan kekurangnya, kemudian menjadi suplayer baru di swalayan besar untuk menggantikan yang lama, dan begitulah seterusnya. UMKM akan tetap menjadi pihak yang paling dirugikan, sepanjang praktik kerjasama atau kemitraan antara UMKM dengan perusahaan besar, tidak menjalankan prinsip berkeadilan dan saling menguntungkan. (***)