Mampukah KPPU melindungi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)? Pertanyaan ini mengemuka ketika KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) menyelenggarakan seminar bertemakan, "Perlindungan UKM dalam Persaingan Usaha Anti Monopoli," berlangsung di Prime Plaza Hotel Kualanamu, Kabupaten Deliserdang, Propinsi Sumatera Utara, Kamis (1/3).
Seminar yang diikuti sekitar 50 pelaku UMKM dari beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara ini, menghadirkan narasumber; Komisioner KPPU, Kamser Lumbanradja, anggota Komisi VI DPR RI, H.Nasril Bahar, pengusaha eksportir keripik singkong, Muhdi dan moderator Maskur Abdullah, Direktur Eksekutif Pinbis Indonesia.
Ada banyak persoalan yang dialami para pelaku usaha skala UMKM, muncul dalam workshop ini. Mulai dari masih tingginya bunga pinjaman (kredit) di bank - bila dibandingkan negara Asean lainnya, juga tentang kemitraan UMKM dengan perusahaan skala besar, yang justeru cenderung merugikan UMKM itu sendiri.
"Awalnya, ketika produk kita bisa masuk ke super market  atau swalayan besar di mall, betapa senangnya hati ini," kata Muhdi, yang menjadi narasumber dalam workshop tersebut.
"Setelahnya, hati kita hancur dan porak-poranda, setelah produk yang sudah laku terjual pun, pembayaran dari pihak swalayan kepada kita, ditunda-tunda bahkan bisa molor hingga 3 sampe 4 bulan," ucap pengusaha keripik singkong ini.
"Omong kosong kalau pengusaha-pengusaha swalayan itu mengatakan mereka telah membantu UMKM dengan menampung produk kita dan menjualkannya. Sebaliknya yang benar, kitalah para pelaku UMKM yang membantu perusahaan besar itu. Kita yang memodali mereka, kita yang setiap bulan harus membayar bunga bank, sedang pengusaha swalayan tanpa resiko apa pun bisa mengambil untung 30 persen, itu pun bayarnya molor 3 sampe 4 bulan," lanjut Muhdi.
Hal terkait tingginya bunga bank diungkapkan Muhammad Yusuf, pengusaha meubel dari Perbangunan, Kabupaten Serdang Bedagai. Menurut Yusuf, KPPU harus mampu menyelesaikan persoalan tentang masih tingginya bunga bank bagi UMKM, dibanding negara Asean lainnya.
"Bagaimana kita diminta untuk mampu bersaing, sementara dari sisi bunga bank saja kita sudah kalah. Ibarat pertandingan tinju, UKM ini sebagai petunju amatir, tapi mau diadu dengan petinju profesional kelas berat," kata Ketua Forum Daerah Usaha Kecil dan Menengah (Forda UKM) Serdang Bedagai ini.
Kemitraan Yang Tidak Adil bagi UMKM
Komisioner KPPU, Kamser Lumbanradja, menyebutkan, mereka memang sudah mencium gelagat "tidak adil" yang dipraktikkan para pengusaha besar -- super market -- swalayan besar, terhadap para pelaku UMKM yang menjadi mitranya.
"Seyogyanya, setiap perjanjian kerjasama kemitraan itu, didasari pada kepentingan bersama, adil dan saling menguntungkan. Tapi praktiknya, seperti inilah. Sebagaimana teman-teman pelaku UMKM sampaikan, mereka pengusaha besar itu, tidak melaksanakan kemitraan yang berkeadilan," ujar Kamser, putra asal Samosir ini.
"Keberadaan KPPU di negeri ini justeru ingin mendorong terciptanya praktik-praktik bisnis yang berkeadilan, persaingan sehat dan anti monopoli," lanjut Lumbanradja, yang masa tugasnya sebagai komisioner KPPU baru diperpanjang Presiden Jokowi, sehari sebelumnya, untuk masa tugas 2 bulan ke depan.
Begitu juga dengan Nasril Bahar, anggota Komisi VI DPR RI. Legislator asal Sumatera Utara ini menyebutkan, bentuk kerjasama atau kemitraan usaha antara pelaku UMKM dengan perusahaan besar, memang harus selalu diawasi.
Bentuk kerjasama atau kemitraan yang ada selama ini, lanjut Nasril, berlaku tanpa prinsip berkeadilan, dan tidak saling menguntungkan. Perusahaan besar justeru menentukan sendiri bagaimana system pembayarannya, spesifikasi produk, bahkan finalti terhadap pelaku usaha kecil, bila tidak tepat waktu atau tidak sesuai pesanan.
"Sebaliknya, hampir tidak ada sanksi bagi perusahaan besar bila mereka menunda pembayaran kepada pengusaha kecil," kata Nasril.
Nasil Bahar berjanji akan membawa masalah tersebut ke Komisi VI, dan akan membicarakannya dengan kementerian terkait, yaitu Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, serta kementerian yang lain.
Di Sumatera Utara sendiri, sudah cukup banyak pelaku usaha di tingkat UMKM, yang menjadi "korban" perusahaan swalayan besar, yang menjadi suplayernya. Mulai dari persoalan pembayaran yang molor, produk yang menumpuk di gudang, produk yang dinyatakan retur sesudah lebih 3 bulan disuplay, hingga masalah pajak yang menjadi tanggungan pemilik produk.
Di sisi lain, dinas terkait yang ada, selalu membangga-banggakan ketika mampu membawa UMKM nya, menjadi suplayer ke swalayan berkelas yang ada di daerahnya. Sayangnya, para pejabat di dinas dimaksud tidak mengawasi perjalanan kerjasama atau kemitraan tersebut, apakah menguntungkan UMKM atau justeru merugikan.
Bila saja para pejabat di dinas itu melihat kenyataan, bagaimana pelaku UMKM yang menjadi suplayer ke swalayan-swalayan besar itu silih berganti, adalah karena pelaku UMKM memang pada posisi terus merugi, sehingga UMKM menghentikan kerjasama tersebut.
Sementara UMKM yang sama sekali belum mengetahui keuntungan dan kekurangnya, kemudian menjadi suplayer baru di swalayan besar untuk menggantikan yang lama, dan begitulah seterusnya. UMKM akan tetap menjadi pihak yang paling dirugikan, sepanjang praktik kerjasama atau kemitraan antara UMKM dengan perusahaan besar, tidak menjalankan prinsip berkeadilan dan saling menguntungkan. (***)