Mohon tunggu...
MJK Riau
MJK Riau Mohon Tunggu... Administrasi - Pangsiunan

Lahir di Jogja, Merantau di Riau

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kembali ke Jogja

17 Desember 2018   07:34 Diperbarui: 17 Desember 2018   08:08 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: explorewisata.com

sebelumnya

Postingan Politik

eps 3

Semangat juang yang terbentuk dari jauhnya jarak dari Jalan Mataram ke BenSLA yang harus ditempuh dengan jalan kaki, ternyata berubah total dengan riuhnya Jakarta sewaktu mencoba kuliah dari Pademangan ke Otista. Berebut untuk naik bus kota menjadi suatu perjuangan yang bukan hanya menyita waktu dan tenaga, tetapi juga membenturkan budaya 'alon alon waton kelakon' dengan "siapa cepat dia dapat". 

Suasana Jogja yang adem ayem dengan suasana beringas kehidupan Jakarta, secara kontras telah menghabisi daya juang anak Jawa yang sok pede pengin ke Amirika. Pilihan politik 'ngluruk tanpo bolo', 'ijen tanpo rewang' dan 'jer basuki mowo bea' hilang tak berbekas. 

~~~

Dari lebih 2.000 an yang mendaftar pada test umum, terdapat pengumuman tertulis nama saya pada urutan ke 50 an. Kemudian diadakanlah test psikologi sebelum test terakhir berupa wawancara, jika mampu lulus dari test psikologi. Ketika hari h test wawancara itulah terjadi satu peristiwa politik yang sulit dilupakan. 

Masih teringat pada test psikologi diminta menggambar enam buah pada enam buah kotak. Ada dua buah gambar yang masih teringat sampai saat ini adalah ketika ada gambar garis lengkung saya buat menjadi bibir. Ketika ada gambar titik titik saya buat menjadi grafik yang menjadi sketsa 'tolak peluru'. Saya pikir itu dibaca oleh pewawancara, dan membuat beliau marah ketika tiba pada saat test wawancara berlangsung.

"Kamu berasal dari mana ?

Kamu tahu dari mana ikut mendaftar test di sini.

Kamu jauh jauh dari Jogja, kalau kuliah di sini dengan siapa kamu tinggal!"

Dengan nada marah beliau membentak dan memukul meja. 

Saya ke luar ruangan test wawancara dengan lesu. Cerita cerita kakak kelas yang sudah kuliah di situ, bahwa peserta test hari pertama pasti diterima, sedang yang ikut hari ke dua belum pasti, sudah tidak saya dengar lagi. Saya putuskan saya pulang ke Jogja. 

Sampai di Jogja pun saya mencari info kuliah kuliah yang memberikan bea siswa yang lain. Saya ikut mendaftar ke tempat tempat yang memberikan beasiswa itu. Sampai suatu hari ada telepon dari Jakarta. Om saya yang bekerja di Kopkamtib Pak Domo menilpun. Segera berangkat ke Jakarta. 

Saya baru teringat kalau alamat yang saya pakai mendaftar bukan di Pademangan seperti pada saat wawancara, tetapi di Kopkamtib Pak Domo. Saya juga baru teringat kalau waktu pengumuman test psikologi saya urutan ke 21. 

Tanpa pikir panjang saya pun tidak lagi menunggu hasil pengumuman Sipenmaru, saya berangkat ke Jakarta untuk menembus Amirika. Ijen tanpo rewang, nglurug tanpo bolo dan jer basuki mowo bea menjadi pegangan politik dasar saya melangkah.

~~~

Namun Jakarta tidak hanya membutuhkan tekad, tetapi juga kesabaran, keuletan, kegigihan, kemampuan untuk beradapatasi yang lama lama runtuh dari jiwa saya, karena satu dan lain hal. 

Bagaimana mau ke Amirika kalau hanya berada di peringkat belasan ? 

Walaupun persahabatan tetap terjalin dari berbagai suku bangsa di tanah air sewaktu kuliah di Jakarta, karena pergaulan dengan teman teman kuliah. Pergaulan teman-teman sewaktu masih di BenSLA yang berasal dari Bandung, Jakarta, bahkan ada yang pernah ikut dengan Bapaknya saat bertugas di Papua, serta tentu saja gelora panggilan Bung yang pernah saya keluarkan, masih dapat menempatkan diri saya sebagai salah anak Indonesia. 

Namun memang ada yang merasa bahwa pengalaman saya sehari-hari dari Pademangan ke Otista, itu bukan fenomena Jakarta sesungguhnya.  Jakata yang hijau, bukan seperti Kali Mati yang panas.

sumber: suara.com
sumber: suara.com
Pulang kuliah ada yang mengajak saya ke Karet. Ditunjukkannya Jakarta yang hijau, bukan seperti situasi dan kondisi Kali Mati, tempat saya naik turun bus kota jurusan Priok Lapangan Banteng. Kadang saya juga main dengan teman-teman di Gang Asem belakang Kampus Otista. 

Ada juga saya sempat berkunjung ke tempat teman, yang tetangganya orang orang Jawa yang bekerja di WK, suatu perusahaan konstruksi besar di Jakarta saat itu. Sungguh kehangatan yang sampai saat ini masih saya rasakan

Semangat teman-teman dari Jawa yang begitu hangat itu, membawa saya ke dunia lain dari sekedar berebut bus kota dan bergelantungan jika berangkat dan pergi kuliah. Suatu pemandangan yang diceritakan oleh teman kakak saya ketika dia ketemu saya di bus kota sedang tidur bergelantungan di bus. Lalu dia ceritakan hal itu ke kakak saya seaktu di Jogja.

Seringnya saya pulang naik KA ekonomi dengan cara berada di antara gerbong gerbong yang penuh sesak dari Jakarta ke Jogja kalau hari libur. Walau pun malam minggu berangkat ke Jogja, malam senin sudah harus naik KA lagi ke Jakarta. Buku buku test ujian masuk yang tidak pernah saya tinggalkan setiap hari, bukannnya buku  buku kuliah yang seharusnya saya dalami. 

Amirika sudah terhapus dari kamus. 

Pilihan saya kembali harus berjuang untuk mengikuti test ujian masuk PTN. Bea siswa kuliah saya gunakan untuk memulai hidup baru di Jogja. Saya ikut test dengan empat pilihan fakultas yang semuanya saya isi dengan fakultas dan PTN yang sama. 

Pulang dari kegiatan camping dari teman teman kuliah di Jakarta, saya mampir ke Sukaraja, kampung salah satu teman yang saat ini menjadi pejabat. Dari Sukaraja saya naik KA ke Jogja. Dari Jakarta saja saya ahli naik KA apalagi dari Sukaraja. 

Tapi saya turun tidak di stasiun Tugu. Saya turun pun sambil meloncat pada saat KA berjalan lambat. Mungkin itu setelah lewat kediaman Pangeran Diponegoro. Relnya dua dan saya hampir teeguling di rel yang kosong. Kemudian saya naik colt campus. Memang colt campus itu berputar baru lewat Jalan Mataram rumah saya. Namun sebelum sampai di jalan Mataram ada penjual Koran yang didalamnya ada pengumuman peserta yang lulus Sipenmaru dalam lembaran lembaran besar. 

Saya turun dan membeli Koran. Satu demi satu saya cari nama saya. 

Alhamdulillah. Saya diterima di UGM. Pilihan politik saya untuk kembali ke Jogja berhasil.

sumber: ultraamed.wordpress.com
sumber: ultraamed.wordpress.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun