Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jelang Usia Seabad, NU Kokoh Kawal Aswaja Nusantara

2 Februari 2020   04:49 Diperbarui: 2 Februari 2020   09:52 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lambang NU | talkypic.com

Suatu ketika, Kiai Hasyim didatangi santrinya yang bernama Basyir. Sang santri bercerita perihal seseorang yang berdakwah dengan cara yang berbeda dengan pendakwah pada umumnya. Setelah mengetahui ciri-cirinya, Kiai Hasyim berkata,"Oh, itu Kang Darwis." 

Beliau pun menyuruh santrinya yang asal Kauman Yogyakarta itu untuk membantu dakwah orang itu. Dan beberapa puluh tahun kemudian, anak santri Basyir pun menjadi orang nomor satu di organisasi yang didirikan oleh pendakwah asal Yogya tadi, Muhammadiyah. Dialah KH. Azhar Basyir.

Fakta di atas kadang menjadi bahwa candaan orang NU ke Muhammadiyah, yakni bahwa pemimpinnya Muhammadiyah itu ya orang NU. Fakta lainnya adalah bahwa dua ormas Islam asli Indonesia ini merupakan hasil perjuangan KH. Ahmad Dahlan yang bernama kecil Muhammad Darwis dan KH. Hasyim Asyari yang di masa mudanya pernah nyantri bareng di bawah asuhan KH. Muhammad Shalih bin Umar al-Samarani atau Kiai Soleh Darat, Semarang.

Nahdlatul Ulama, Berawal dari Kerisauan Ulama Jawa

Tanggal 31 Januari 1926 adalah hari lahir (harlah) organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Diinisiasi oleh Hadratusysyaikh Muhammad Hasyim Asyari dan dibantu oleh KH. Abdul Wahhab Hasbullah serta KH. Bisri Syansuri, NU menjadi sebuah perhimpunan para pengikut ahlussunnah wal jamaah (sunni) hingga kini. 

Berdirinya NU diawali oleh munculnya penguasa baru di jazirah Arab yakni Klan Saud yang memenangkan persaingan dengan klan Rasyidi. Kekalahan Turki yang merupakan sekutu Rasyidi pada Perang Dunia I membuka jalan bagi berkuasanya Klan Saud, mulai dari Nejd, Hail sebagai pusat kekuasaan Rasyidi, Hijaz, Makkah dan Madinah hingga Jeddah. 

Di bawah pemerintahan baru yang memegang teguh ajaran Syekh Muhammad Abdul Wahhab (1702-1792 M) atau yang kerap disebut Wahhabi, terjadi perusakan situs-situs peninggalan Islam yang diklaim sebagai biang kerusakan akidah umat. 

"...Muhammad Abd al-Wahhab menanamkan paham dan ajaran-ajarannya dengan kekerasan sehingga tanpa rasa risih menuduh orang yang menolaknya sebagai orang kafir dan syirik yang boleh dibunuh aau membongkar kuburan dan meratakannya dngan tanah dan merusak bangunan mesjid kalau itu dianggapnya merupakan tempat yang membawa kepada kemusyrikan."

Demikian paparan guru besar Ulumul Quran IAIN Antasari Prof. Dr. H. A. Athaillah, M.Ag dimuat dalam situs Muhammadiyah.or.id.

Bermula dari kerisauan itulah para ulama Jawa dan Madura sepakat untuk membentuk sebuah kelompok kecil yang diberi nama Komite Hijaz. Komite itulah yang menjadi cikal bakal perhimpunan para ulama yang dinamai Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama).

Komite kecil itu diutus untuk mengantarkan surat kepada Ibnu Saud yang diantaranya berisi permohonan untuk membebaskan pelaksanaan peribadatan dalam 4 mazhab (Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah) dan tetap diramaikannya tempat-tempat bersejarah karena tempat tersebut diwakafkan untuk masjid. 

Friksi Pemikiran Wahhabi dan Umat Islam Lain

Dalam hal perilaku umat dalam ziarah kubur, Wahhabi dan umat Islam lain memiliki persamaan dan perbedaan. Bagi mereka yang meminta atau berdoa kepada ahli kubur, ke dua pihak sama-sama menghukuminya syirik. Namun saat pembahasan sampai pada tawassul dan tabarruk*, keduanya memiliki perbedaan prinsipil dimana Wahhabi mengharamkan sementara banyak umat Islam dalam berbagai mazhab membolehkan.

Hingga kini, perbedaan pemahaman tentang berbagai hal masihlah terasa dan terbukukan dalam banyak tulisan ulama ke dua pihak. Bisa diambil contoh dari kalangan non Wahhabi adalah karya Mafahim Yajib an Tushahhah (diterjemah menjadi Meluruskan Kesalahpahaman) karya ulama Saudi Sayyid Muhamad Alwi al-Maliki (1944-2004), al-Mutasyaddidun Manhajuhum wa Munaqasyatu Ahummi Qadayahum (dialihbahasakan menjadi Menjawab Da’wah Kaum ‘Salafi’) karya ulama Mesir Prof. Dr. Ali Jumah dan ratusan tulisan ulama lain termasuk ulama-ulama Nusantara.

Dan jauh hari sebelumnya, pendiri NU Syekh Hasyim Asyari telah mewanti-wanti umat Islam akan pemikiran 'pendiri' Wahhabi dalam kitabnya yang berbahasa Arab, Risalah Ahlissunnah wal-Jamaah.

Perkembangan NU 

NU kini telah berkembang menjadi organisasi massa Islam besar yang memiliki cabang-cabang di luar negeri (Pengurus Cabang Istimewa/PCINU). Bahkan di Afghanistan, para ulama setempat telah membentuk Jam'iyyah Nahdlatul Ulama berkiblat pada NU dan diikuti ulama dari 4 negara lain yakni Libanon, Yunani, Lithuania, dan Rusia.

NU sendiri telah melewati beberapa fase dalam perkembangannya, termasuk saat mundur dari kepesertaan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dan memilih untuk membentuk partai politik sendiri. Partai NU mengikuti 2 kali Pemilu yaknibtahun 1955 dan 1971 sebelum mengalami fusi pada tahun 1977 dan melebur dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). 

NU kembali kepada identitas awalnya sebagai ormas kemasyarakatan pada kisaran 1983. Konsep dasar kembalinya NU ke khittah ditulis oleh KH. Achmad Siddiq dan mendapat sambutan positif dari para peserta Munas NU di tahun itu. Lalu pada Muktamar ke-27 NU di Situbondo, naskah itu menjadi dokumen resmi Munas sebagai dasar merumuskan Khittah Nahdliyah. Demikian dikutip dari NU Online.

Pasca reformasi, untuk mewadahi aspirasi warga NU, Gus Dur yang juga cucu pendiri NU menginisiasi berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dalam perjalanannya, PKB diwarnai intrik yang melibatkan Gus Dur dan beberapa fungsionaris PKB dalam waktu yang berbeda. Yakni Matori Abdul Jalil, Alwi Shihab dan Muhaimin Iskandar. Dan diantara ketiganya, Muhaimin Iskandar yang berhasil memenangkan pergumulan melawan pendiri partai.

NU dan Islam Nusantara

Islam Nusantara (IN) menjadi tema dalam Muktamar ke-33 NU di Jombang. Istilah ini memicu kontroversi karena dalam Islam tidak dikenal sekat geografis sehingga IN dianggap mereduksi keluasan Islam sendiri. Bahkan ada yang berseloroh bahwasanya IN adalah aliran baru yang melenceng dari Islam rahmatan lil alamin. 

Kontroversi itu membuat NU harus bolak-balik mengklarifikasi bahwa IN sejatinya hanya istilah untuk memberi nama Islam yang sudah berjalan selama ini yang menjadi ciri khas Islam di Nusantara. Dari segi akidah dan fikih, NU tetap berpegang pada mazhab Asy'ariyah yang dirunuskan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asyari (874-936 M) dan bidang fikih berkiblat pada Imam Syafi'i. 

Terlepas dari hal itu, NU berhasil mengadakan pertemuan tingkat dunia, International Summit Of Moderate Islamic Leaders (ISOMIL) pada 2016 lalu. Salah satu dari 16 poin yang dihasilkan dalam pertemuan tersebut adalah pandangan tentang tidak adanya pertentangan antara agama dan kebangsaan. Hal ini pula yang dipahami oleh para founding fathers NU sehingga dikenallah adagium Hubbul  Wathan Minal Iman (cinta tanah air adalah sebagian dari iman).

Baca juga artikel lainnya :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun