Kalau di Jakarta dan sekitarnya, angkringan hanya buka dari sore hingga tengah malam, di desaku angkringan buka buka dalam 2 shift. Ada yang dari pagi hingga siang atau sore, ada pula yang jam malam. Bukan cuma satu atau dua, bisa dikatakan banyak, gaes.Â
Pabrik Gula dan Urban Legend
Aset daerah lain yang ada di sekitar desaku adalah sebuah pabrik gula yang dibangun dan beroperasi semenjak zaman Belanda. Saat kecil, aku dan teman-temanku punya tradisi nakal saat lori-lori yang mengangkut tebu dari perkebunan menuju pabrik. Pabrik itu terletak di pusat kota kecamatan Ceper. Aku lupa sejak kapan tepatnya pabrik gula itu tak beroperasi lagi.
Menurut cerita bapak, Klaten yang memiliki 2 pabrik gula --pabrik satunya berlokasi di desa Gondang-- membuat produksi tak efektip. Karena areal perkebunan tebu saat ini sebenarnya cukup dihandle oleh sebuah pabrik gula saja. Maka pabrik di Ceper akhirnya di grounded. Dulu saat SD, pabrik itu masih beroperasi.
Di sana pun pernah diadakan kompetisi Pramuka sekecamatan. Pesta Siaga nama helatannya dan aku menjadi salah satu perwakilan SD-ku. Kini, semak belukar memenuhi areal yang entah berapa luasnya itu. Gelap gulita kalau malam, gaes.Â
Ada sebuah tradisi masyarakat sekitar yang masih berjalan hingga kini. Dulu, sebelum musim giling -- sebutan untuk aktivitas produksi pabrik, pada musim panen tebu -- biasanya diawali dengan pengadaan pasar malam. Kami menyebutnya dengan cembrengan.Â
Hingga kini, cembrengan itu masih digelar meski pabrik gula sudah tak beroperasi lagi. Kalau nggak salah, dilaksanakannya saat menjelang tahun baru Islam atau Jawa, yakni Muharram atau Sura.
Itulah sekitas cerita tentang kampung halamanku. Yang hingga saat ini, masih saja kurindukan. Seperti lagu itu.
*Mulai ditulis di Ceper dan diselesaikan di atas Kereta Senja Utama yang tengah melaju ke Jakarta