Mohon tunggu...
Tri Muhammad Hani
Tri Muhammad Hani Mohon Tunggu... -

Sekedar menulis pemikiran yang terkadang aneh, nyeleneh dan melawan arus...Serta selalu menjaga liarnya pikiran

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Quo Vadis Jamkesda: Mau Dibawa Kemana Hubungan “Kita”?

29 April 2015   02:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:34 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Pasal 6 Ayat (1) menyatakan bahwa Kepesertaan Jaminan Kesehatan bersifat WAJIB dan dilakukan secara bertahap sehingga mencakup seluruh penduduk. Untuk pentahapannya dimulai pada 1 Januari 2014 untuk peserta PBI Jaminan Kesehatan, Anggota TNI/PNS di lingkungan Kementerian Pertahanan dan anggota keluarganya, Anggota Polri/Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Polri dan anggota keluarganya, Peserta asuransi kesehatan Perusahaan Persero (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES) dan anggota keluarganya dan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Perusahaan Persero (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) dan anggota keluarganya (Perpes 12/2013 Psl 6 Ayat (2) huruf a).

Sedangkan untuk pendaftaran peserta di luar itu dilakukan sejak tanggal 1 Januari 2014 sampai dengan paling lambat tanggal 1 Januari 2019 sebagaimana diatur dalam peraturan yang sama pada Pasal 6 Ayat (2) huruf b. Artinya bahwa pada tahun 2019 SELURUH penduduk Indonesia akan menjadi peserta BPJS Kesehatan sebagaimana tujuan akhir dari program JKN adalah Universal Health Coverage (UHC).

Dalam Perpres Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Perpres 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan pada Pasal 6A disebutkan bahwa penduduk yang BELUM termasuk sebagai Peserta Jaminan Kesehatan DAPAT diikutsertakan dalam program Jaminan Kesehatan pada BPJS Kesehatan oleh pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota. Sedangkan pada Peraturan yang sama pada Pasal 16 Ayat (1a) dijelaskan bahwa Iuran Jaminan Kesehatan bagi penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah dibayar oleh Pemerintah Daerah. Besaran iuran untuk Jaminan Kesehatan bagi penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah selanjutnya diatur pada Pasal 16A yang berbunyi Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta PBI Jaminan Kesehatan serta penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah sebesar Rp 19.225,00 (sembilan belas ribu dua ratus dua puluh lima rupiah) per orang per bulan.

Dengan berdasarkan pada ketentuan-ketentuan diatas, maka timbul pertanyaan : bagaimana dengan penduduk dengan status Pekerja Bukan Penerima Upah (Pekerja Informal) dan penduduk Bukan Pekerja yang termasuk dalam kategori miskin berdasarkan pendataan daerah namun TIDAK termasuk dalam peserta PBI Jaminan Kesehatan ?

MASYARAKAT MISKIN (TIDAK MAMPU) DAN PBI

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan, diantaranya disebutkan bahwa :


1. Kriteria fakir miskin dan orang tidak mampu ditetapkan oleh Menteri Sosial setelah berkoordinasi dengan Menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait.

2. Hasil pendataan fakir miskin dan orang tidak mampu yang dilakukan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik (BPS) diverifikasi dan divalidasi oleh Menteri Sosial untuk dijadikan data terpadu.

3. Data terpadu yang ditetapkan oleh Menteri Sosial dirinci menurut provinsi dan kabupaten/kota dan menjadi dasar bagi penentuan jumlah nasional PBI Jaminan Kesehatan

4. Menteri Kesehatan mendaftarkan jumlah nasional PBI Jaminan Kesehatan sebagai peserta program Jaminan Kesehatan kepada BPJS Kesehatan.

Untuk tahun 2014, peserta PBI JKN berjumlah 86,4 juta jiwa yang datanya mengacu pada Basis Data Terpadu (BDT) hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) yang dilaksanakan pada tahun 2011 oleh BPS dan dikelola oleh Sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). (Sumber : Website resmi TNP2K)

Namun demikian, mengingat sifat data kepesertaan yang dinamis, dimana terjadi kematian, bayi baru lahir, pindah alamat, atau peserta adalah PNS, maka Menteri Kesehatan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 149 tahun 2013 yang  memberikan kesempatan kepada Pemerintah Daerah untuk mengusulkan peserta pengganti yang jumlahnya sama dengan jumlah peserta yang diganti. Adapun peserta yang dapat diganti adalah mereka yang sudah meninggal, merupakan PNS/TNI/POLRI, pensiunan PNS/TNI/POLRI, tidak diketahui keberadaannya, atau peserta memiliki jaminan kesehatan lainnya. Disamping itu, sifat dinamis kepesertaan ini juga menyangkut perpindahan tingkat kesejahteraan peserta, sehingga banyak peserta yang dulu terdaftar sebagai peserta Jamkesmas saat ini tidak lagi masuk ke dalam BDT. (Sumber : Website Resmi TNP2K). Artinya tidak ada penambahan jumlah kepesertaan (zero growth), namun hanya bersifat MENGGANTI peserta lama yang sudah tidak aktif kepada peserta baru berdasarkan usulan daerah.

JAMKESDA

Pada program percepatan pengentasan kemiskinan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) termasuk dalam klaster I selain program RASKIN, PKH, BOS dan KIP. Persoalan mendasarnya adalah ketika terdapat "perbedaan" data antara jumlah penduduk miskin berdarakan Basis Data Terpadu (BDT) Nasional dengan jumlah penduduk miskin daerah maka terdapat kelompok "irisan" dimana penduduk miskin yang sudah dijamin oleh pemerintah pusat melalui PBI Jaminan Kesehatan yang dan juga terdapat kelompok "diluar irisan" yang artinya terdapat sejumlah penduduk yang menurut data pemerintah daerah setempat adalah masuk kriteria miskin, namun tidak termasuk dalam BDT. Jumlah penduduk yang "diluar irisan" ini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah untuk memberikan jaminan kesehatan sehingga munculah program Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA) di setiap kabupaten/kota dengan variasi nama yang berbeda-beda namun memiliki prinsip sama yaitu menjamin masyarakat miskin yang belum masuk dalam kriteria miskin oleh TNP2K dalam BDT.

Pertanyaanya kemudian adalah dalam era JKN menuju Universal Health Coverage (UHC) 2019 ini apakah pemerintah daerah masih diperbolehkan melaksanakan program JAMKESDA ? Jawabannya adalah masih boleh (FAQ website resmi TNP2K). Namun dalam rencana peningkatan kepesertaan JKN salah satunya adalah dengan pengembangan kepesertaan integrasi JAMKESDA ke dalam JKN. Dalam Peta Jalan Menuju Kepesertaan Semesta (Universal Health Coverage), mulai tahun 2015 kegiatan BPJS Kesehatan akan dititikberatkan pada integrasi kepesertaan JAMKESDA dan asuransi kesehatan komersial ke BPJS Kesehatan.

Skema program JAMKESDA di setiap propinsi dan kabupaten/kota cukup bervariasi, beberapa daerah sudah mengikuti sistem JKN dimana membayar kapitasi untuk FKTP dan pembayaran paket INA CBGs untuk FKRTL. Akan tetapi beberapa daerah juga masih menggunakan skema fee for services dengan jaminan penuh ataupun dengan mekanisme menetapkan plafond tertentu dan adanya chost sharing kepada peserta. Contoh paling nyata adalah program Kartu Jakarta Sehat (KJS) milik Pemprov DKI Jakartayang pada awalnya menggunakan metode pembayaran  fee for services namun kemudian beralih mengikuti sistem pembayaran JKN dikarenakan permasalahan likuiditas alokasi dana Pemprov DKI Jakarta khusus untuk program KJS ini membengkak dan terancam tidak bisa dilanjutkan.

Kembali kepada persoalan JKN oleh BPJS Kesehatan, berdasarkan Perpres 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana diubah dalam Perpres 111 Tahun 2013 maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah daerah :

1. WAJIB mendaftarkan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri (PPNPN) seperti pegawai tidak tetap, pegawai honorer, staf khusus dan pegawai lainnya yang sumber penggajian berasal dari APBD selambat-lambatnya 1 Januari 2016.

2. DAPAT mendaftarkan penduduk yang belum termasuk sebagai Peserta Jaminan Kesehatan dengan iuran yan dibayarkan oleh pemerintah daerah sebesar Rp 19.225,00 (sembilan belas ribu dua ratus dua puluh lima rupiah) per orang per bulan dengan hak rawat inap Kelas III (setara peserta PBI Jaminan Kesehatan).

Poin kedua ini sebenarnya dapat diterjemahkan sebagai masyarakat miskin berdasarkan data dari TKPK (Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan) Propinsi dan Kabupaten/Kota namun BELUM menjadi peserta PBI Jaminan Kesehatan dalam Basis Data Terpadu atau dapat disebut sebagai MISKIN DAERAH. Sifat "DAPAT" dalam Perpres 111 Tahun 2013 akan menjadi WAJIB ketika mengacu pada sifat kepesertaan JKN yaitu WAJIB bagi seluruh penduduk Indonesia dan WNA yang menetap minimal 6 bulan. Ini juga sesuai dengan peta jalan Universal Health Coverage (UHC) pada tahun 2019 sehingga pendaftaran penduduk "miskin daerah" ini WAJIB didaftarkan oleh Pemerintah Daerah paling lambat 1 Januari 2019.

PERMASALAHAN

1. Sudahkah semua propinsi dan kabupaten/kota memiliki Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota yang bekerja secara optimal sebagaimana amanat Perpres Nomor 15 Tahun 2010 ?

2. Sudahkah setiap daerah memiliki Basis Data Terpadu (BDT Daerah) tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota yang meliputi data jumlah penduduk miskin daerah secara by name by address berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh TKPK Propinsi dan Kabupaten/Kota ?

3. Jika BDT Daerah sudah tersedia, apakah sudah dilakukan perhitungan tentang besaran alokasi anggaran yang harus disediakan oleh pemerintah daerah melalui APBD untuk melakukan integrasi program JAMKESDA ke program JKN ? (Meliputi proses pendaftaran dan pembayaran iuran kepesertaan).

4. Terkait dengan beberapa daerah yang masih ingin mempertahankan program JAMKESDA sampai batas waktu tanggal 1 Januari 2019, apakah sudah dilakukan kajian dan studi perbandingan (comparation study) tentang besarnya alokasi APBD yang harus disediakan antara tetap menjalankan JAMKESDA dengan jika mengikuti program JKN ? Untuk melakukan studi ini maka harus secara non - apple to apple, artinya program JAMKESDA yang akan dikaji adalah yang menjalankan skema fee for services dengan program JKN (sistem kapitasi dan paket pelayanan INA CBGs). Tidak bisa disandingkan secara apple to apple dengan menggunakan skema yang sama, karena hasil kajian tersebut dipastikan akan memperlihatkan besaran alokasi anggaran yang sama sepanjang jumlah kepesertaan yang dihitung adalah sama.

Waktu terus berjalan, jarum jam terus berputar menuju ke tanggal 1 Januari 2019. Sampai dengan tanggal tersebut memang pemerintah daerah masih memiliki "kesempatan" untuk tetap menjalankan program JAMKESDA, namun perlu dikaji lagi tentang alokasi anggaran untuk program JAMKESDA tersebut apakah memang lebih kecil biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah daerah dengan program JAMKESDA ini atau justru pemerintah daerah akan mampu mengendalikan (menekan) biaya pelayanan jaminan kesehatan ketika sudah memutuskan untuk mengikuti program JKN. Yang harus dipahami bersama bahwa ini semua bersifat sementara sampai dengan tenggat waktu terakhir pada tanggal 1 Januari 2019 dimana pemerintah daerah sudah memiliki KEWAJIBAN untuk mendaftarkan penduduk miskin daerah ini menjadi peserta JKN.

Yang lebih menarik lagi sebetulnya ini adalah momentum yang sangat baik untuk menyusun Sistem Kesehatan Daerah (SISKESDA) dan memenuhi amanat UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dimana alokasi untuk sektor kesehatan adalah minimal 5 % dari APBD seiring juga dengan tuntutan pemenuhan anggaran kesehatan minimal sebesar 10 % dari APBN. Inilah sebetulnya yang dicita-citakan oleh semua pemangku kepentingan sektor kesehatan baik di tingkat nasional ataupun daerah yaitu : 1). terbentuknya SISKESDA dan 2). pemenuhan anggaran sektor kesehatan sesuai dengan amanat Undang-Undang.

Saya memang tidak bekerja di lembaga yang berfungsi sebagai regulator (Dinas Kesehatan atau BAPPEDA), kebetulan saya bekerja di sebuah rumah sakit milik pemerintah daerah penyedia pelayanan kesehatan yang setiap hari merasakan betapa beratnya melayani pasien peserta program JAMKESDA. Data dari Dinas Kesehatan berdasarkan pembayaran klaim program JAMKESDA menunjukkan bahwa 95 % peserta JAMKESDA berkunjung ke rumah sakit daerah yang nota bene milik pemerintah kabupaten dan hanya sekitar 5 % yang melakukan kunjungan ke RS privat (swasta). Jadi terbayanglah betapa rumit dan kompleksnya melayani pasien peserta JAMKESDA dengan berbagai macam perilaku, karakter dan pola pikir masyarakat yang cenderung mengabaikan (menyepelekan) kelengkapan administrasi seperti KTP dan Kartu Keluarga. Persoalan pembayaran klaim yang tidak "selancar" pembayaran klaim oleh BPJS menjadi persoalan tersendiri dan yang pasti akan sangat berdampak terhadap cash flow rumah sakit. Hal ini pula yang menjadi salah satu alasan utama beberapa rumah sakit privat (swasta) terkesan "enggan" melayani pasien peserta program JAMKESDA.

Jadi.... Mau dibawa kemana hubungan "kita" (JAMKESDA dengan JKN) ini ? Quo Vadis JAMKESDA ??

Salam,

Tri Muhammad Hani

RSUD Bayu Asih Purwakarta

Jl. Veteran No. 39 Kabupaten Purwakarta - Jawa Barat

*) Ditulis menjelang rapat koordinasi terpadu tentang JKN oleh BAKORWIL II Propinsi Jawa Barat di Gedung Sigrong Purwakarta, Rabu 29 April 2015.

Bahan Bacaan :

1. UU 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

2. UU 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

3. Peraturan Pemerintah (PP) 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan

4. Peraturan Pemerintah (PP) 101 Tahun 2012 tentang PBI Jaminan Kesehatan

5. Perpres 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan

6. Perpres 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Perpres 12 Tahun 2013

7. Website Resmi Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di http://www.tnp2k.go.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun