Mohon tunggu...
Mas Gagah
Mas Gagah Mohon Tunggu... Dosen - (Lelaki Penunggu Subuh)

Anak Buruh Tani "Ngelmu Sampai Mati"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Gaduh, Nomor Urut, dan Masa Depan Bangsa

21 September 2018   19:09 Diperbarui: 21 September 2018   21:32 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bukan Pak Jokowi dan Pak Prabowo yang menunggu hasil penentuan nomor urut Capres petang ini. Seluruh jutaan pasang mata seluruh rakyat Indonesia juga ikut menantikan hasil dari penentuan nomor urut capres. Nomor inilah yang kelak akan menentukan arah nasib bangsa Indonesia. Nomor 1 atau nomor 2, menjadi faktor penentu arah pembangunan bangsa Indonesia hingga tahun 2024. 

Kita berharap nomor yang akan didapatkan oleh pasangan capres ini bukan hanya mitos lima tahunan saja. Kenapa saya sebut sebagai mitos? Sebab undian nomor seperti ini selalu ada dalam pesta demokrasi lima tahunan bangsa kita. Tetapi, coba kita renungkan sejenak, apa dampaknya terhadap rakyat Indonesia. 

Pergantian kekuasaan yang telah berlangsung lama, tapi hanya sebatas pembangunan phisik dan lain-lain. Pembangunan sumber daya manusia yang sejahtera masih jauh dari harapan. Indeks pembangunan sumber daya manusia sejak 70 tahun terakhir ini belum juga menjadi lebih baik. Misalnya yang paling baru adalah kasus impor beras yang gaduh. Kemana semboyan swasembada pangan yang dulu pernah ada.

Menggunakan termin yang sering disandingkan kepada Almarhum Pak Harto "Kepiye, isih enak jaman ku to?"

Ke depan, simbol nomor satu atau nomor dua akan menjadi lebih bermakna politik. Angka yang pada awalnya hanya sebuah ukuran matematis kemudian akan menjadi ukuran politis. Nomor 1 atau nomor dua menjadi sebuah perdebatan identitas politis.

Mungkin yang tidak memilih nomor satu disebut sebut sebagai anti Pancasila, anti kebhinekaan, anti keberagamaan. Ataupun sebaliknya, jika tidak mendukung nomor 2 pun akan dicap sebagai anti Pancasila, anti kebhinekaan, anti keberagamaan, dan lain-lain. Angka 1 atau pun dua kemudian menjadi sebuah angka matematis politis yang akan menentukan arah nasib bangsa Indonesia.

Menilik lebih jauh di luar makna angka-angka yang telah dijelaskan di atas, dalam demokrasi kita saat ini, kadang ukurannya bukan untuk kesejahteraan seluruh rakyat. Pesta demokrasi hanya dinikmati oleh pelaku politik itu sendiri. Rakyat Indonesia hanya menjadi penonton yang kadang ikut gaduh tetapi tidak bisa ikut menentukan ke mana masa depan bangsa Indonesia berjalan.

Maka, penentuan nomor urut capres inipun sangat menentukan bagaimana arah masa depan bangsa Indonesia. Demokrasi saat ini menurut saya kurang menarik, sebab hanya diikuti oleh dua pemain. Yang terjadi kemudian adalah tanding ulang antara Prabowo dan Jokowi.

Begitulah kekuasaan, kata Antonio Gramsy selalu menuntut hegemoni. Orang selalu saja menginginkan selalu berada dalam puncak kekuasaan. Orang yang berada pada puncak kekuasaan tentu akan mendapatkan segala kemudahan kepentingan.

Politik selalu saja menarik untuk diperbincangkan bagaimana pun bentuknya. Demokrasi yang menjadi rumah politik, selalu saja menimbulkan berbagai intepretasi kepentingan. Demokrasi dan politik merupakan dua kata yang merupakan rumah bagi hegemoni kekuasaan.

Kita tunggu saja siapa yang akan mendapatkan nomor 1 dan siapakah yang akan mendapatkan nomor 2. Nomor-nomor itu tidak akan memiliki makna apapun jika rakyat Indonesia masih berada dalam kondisi miskin. Rakyat Indonesia hanya dijadikan sebagai ceruk suara. Setelah itu, rakyat tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari proses demokrasi yang gaduh.

Kepemimpinan politik Indonesia ke depan memang ditentukan oleh nomor yang ditunggu. Tetapi tidak selesai sampai di situ, rakyat Indonesia menunggu realisasi janji-janji politik yang gaduh. Apakah mereka nanti benar-benar akan melaksanakan janji kampanye, itupun kita masih menunggu.

Jutaan rakyat Indonesia selalu menagih janji politik pada presiden yang terpilih. Meskipun, tangis menagih janji itu pun kadang tidak didengar oleh pemegang kekuasaan.  Setelah berada di puncak kekuasaan, politik menjalankan perannya yang dalam bahasa Gramsy sebagai hegemoni kekuasaan.

Dan, rakyat Indonesia sampai saat ini masih berada dalam kantong-kantong kemiskinan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun