Mohon tunggu...
Masfik Seven
Masfik Seven Mohon Tunggu... Freelancer - Pegiat Literasi

Bismillah! Lillah!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Diplomasi Islam Masa Khilafah Bani Abbasiyah

1 November 2019   23:33 Diperbarui: 2 November 2019   02:39 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada zaman Khilafah Bani Abbasiyah, ummat Islam menemui berbagai tantangan baru dalam memajukan dan mempertahankan peradabannya. Maka, artikel ini akan membahas diplomasi selama masa Khilafah Abbasiyah dengan membaginya dalam beberapa bidang. Selamat membaca!

BIDANG SOSIAL

Wilayah Daulah Islamiyyah yang semakin luas, menyebabkan keberagaman etnis dan kabilah semakin bertambah. Ketika masa Daulah Bani Abbasiyah sendiri ada banyak etnis, seperti Arab, Persia, Syria, Kopti, Barbar, Vandal Gothik, Turki dan lain sebagainya. Kemajemukan ini menjadi tantangan tersendiri bagi daulah untuk mempersatukannya. Maka, salah satu usaha yang ditempuh adalah melakukan perkawinan khalifah atau putra mahkota dengan elemen-elemen non-Arab (Susmihara & Rahmat, 2013).

Hal ini merupakan salah satu bentuk diplomasi yang dipakai oleh Bani Abbasiyah untuk mempertahankan kesatuan daulahnya. Meskipun hal ini menjadikan dominasi bangsa Arab menghilang, namun hal ini terbukti efektif. Pemerintahan Bani Abbasiyah kemudian diwarnai berbagai macam etnis Ummat Islam yang berbeda-beda (Susmihara & Rahmat, 2013).

Sikap Toleransi dan Keterbukaan

Hal menarik yang mengandung unsur diplomasi adalah dimana pada masa kekhalifahan Harun Al-Rasyid dan Al-Mutawakkil, terjadi perpindahan agama besar-besaran dari Kristen ke Islam. Sejumlah lima ribu ummat Kristen Bani Tanukh memeluk Islam secara sukarela. Diantara beberapa faktor yang mendorong mereka masuk Islam adalah karena siapapun yang masuk Islam terbebas dari pajak jizyah. Selain itu, menjadi Muslim juga memberikan mereka kebebasan yang lebih banyak dalam berbagai hal seperti keamanan, politik maupun kesehariannya (Susmihara & Rahmat, 2013).

Unsur diplomasi ini terletak ketika Islam tidak memberikan paksaan kepada penganut agama lain untuk serta-merta berpindah agama. Namun, disisi lain Islam memberikan keadilan yang sesuai dengan kebutuhan, hak dan kewajiban warga negaranya.

Disisi lain, masih ada pula ummat non-muslim minoritas yang mendiami wilayah daulah Islam. Sikap toleransi dan keterbukaan diterapkan oleh khalifah-khalifah Bani Abbasiyah kepada mereka. Bahkan, beberapa Kristen maupun Yahudi mendapatkan jabatan yang strategis dalam pemerintahan, seperti Kepala Kantor Militer, Wazir, Pegawai Bank, Ahli Finansial dan sebagainya. Mereka mendapatkan jaminan untuk melaksanakan budaya dan ajaran agamanya.

Sikap keterbukaan dan pengakuan ini juga melahirkan perkembangan keilmuan yang pesat pada masa Daulah Abbasiyah. Ummat Kristen diberi kesempatan untuk mengadakan debat keagamaan di depan khalifah. Thimothi (seorang patriarch aliran Nestarian) menerbitkan karya tentang 'pahala' menurut ajaran Islam dan Kristen. Al-Kindi menerbitkan karangan yang sama pada tahun 819. Ali Al-Tabari menulis buku Al-Din wa Al-Daulah bersama Khalifah Al-Mutawakkil, menjelaskan tentang Agama Kristen berdasarkan dalil-dalil Bibel. Penerjemahan kitab Bibel dan Perjanjian Lama ke Bahasa Arab juga telah dilakukan pada permulaan pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid (Susmihara & Rahmat, 2013).

BIDANG EKONOMI

Pada masa Abbasiyah, perekonomian mengalami kemajuan yang pesat. Sistem perdagangan internasional mulai terbentuk mulai dari dunia Barat (Romawi dan Eropa) hingga dunia Timur (China, India, dan Nusantara). Dunia Islam yang berada diantara dua belahan dunia ini menjadi pedagang-pedagang yang menghubungkan berbagai macam komoditas, seperti sutera, kertas, mutiara, batu zamrud, batu akik, marmer berbagai bahan makanan, rempah dan sebagainya (Syaefudin, 2013). Perdagangan inilah yang menjadi salah satu jalan penyebaran Islam ke berbagai penjuru dunia. Kapal-kapal dagang yang dinahkodai oleh saudagar muslim turut ditunggangi oleh ulama-ulama yang kemudian memperkenalkan Islam di tempat-tempat persinggahan.

DIPLOMASI PADA MASA KEPEMIMPINAN HARUN AL-RASYID

Harun al-Rasyid lahir pada 17 Maret 763 di Teheran, Iran. Ia menjadi khalifah pada tahun 170 H (786 M) di usia 23 tahun. Harun Al-Rasyid adalah kalifah kelima dari kekalifahan Abbasiyah dan memerintah antara tahun 170-186 H / 786-803 M. Ayahnya bernama Muhammad Al-Mahdi, khalifah yang ketiga dan kakaknya, Musa Al-Hadi adalah kalifah yang keempat. Ibunya Jurasyiyah dijuluki Khayzuran berasal dari Yaman (Fatah, 2015).

Khalifah Harun Al-Rasyid kerap kali melakukan hubungan diplomatik melalui surat-menyurat dengan Kerajaan Romawi yang saat itu dipimpin oleh Ratu Irene. Awal tahun 187 H menjadi momentum awal Khalifah Harun Al-Rasyid menunjukkan kekuatannya. Harun Al-Rasyid bersama pasukan Abbasiyah mengepung Konstantinopel. Akhirnya, Ratu Irene memutuskan untuk tunduk dan mengakui kekuasaan Daulah Abbasiyah. Ratu Irene pun sepakat untuk membayar pajak (jizyah) dan menyatakan taat kepada Harun Al-Rasyid.

Namun, kondisi damai Daulah Abbasiyah dan Bizantium Romawi ini terusik, setelah kepemimpinan Ratu Irene digantikan oleh Raja Naqfur (Nicheporus). Raja Naqfur meminta Khalifah Harun untuk mengembalikan pajak yang pernah diberikan oleh pendahulunya. Permintaan tersebut disampaikan melalui surat dengan nada bahasa yang provokatif dan memicu perang. Akhirnya, peperangan pun tak terhindarkan, namun Raja Naqfur mampu ditaklukan oleh pasukan Abbasiyah (Sasongko, 2019). Akhirnya, Romawi pun menyerah dan menandatangi perjanjian damai, serta kembali membayar pajak jizyah.

Ketika Harun Al-Rasyid akan kembali ke Baghdad, beliau jatuh sakit. Ketika mendengar kabar itu, Raja Naqfur kembali melanggar perjanjian dan melakukan perlawanan di beberapa wilayah (Fatah, 2015).

Hubungan baik juga terjalin antara Khalifah Harun Al-Rasyid dengan Raja Prancis, Charlemagne. Keduanya sering bertukar utusan sekaligus membawa hadiah. Khalifah Harun pernah memberikan hadiah berupa jam air yang dapat bergerak dan Raja Charlemagne pernah memberikan kunci Baitul Maqdis dan Gereja Al-Qiyamah (Sasongko, 2019).

Daftar Pustaka

Fatah, N. (2015, February 15). Khalifah Harun Al-Rasyid dan 'Anjing Romawi'. Retrieved October 22, 2019, from Hidayatullah.com: https://www.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2015/02/15/38992/khalifah-harun-al-rasyid-dan-anjing-romawi.html

Sasongko, A. (2019, April 30). Diplomasi Islam di Masa Abbasiyah. Retrieved October 22, 2019, from Khazanah Republika.co.id: https://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/dunia/pqrbfp313/diplomasi-islam-di-masa-abbasiyah

Susmihara, & Rahmat. (2013). SEJARAH ISLAM KLASIK. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Syaefudin, M. (2013). Dinamika Peradaban Islam Perspektif Historis. Yogyakarta: CV. Pustaka Ilmu Group.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun