Mohon tunggu...
Fathan Muhammad Taufiq
Fathan Muhammad Taufiq Mohon Tunggu... Administrasi - PNS yang punya hobi menulis

Pengabdi petani di Dataran Tinggi Gayo, peminat bidang Pertanian, Ketahanan Pangan dan Agroklimatologi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Inspirasi Berqurban dari Seorang Pensiunan

25 September 2015   10:40 Diperbarui: 25 September 2015   11:36 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melihat lelaki tua ini, sekilas mengingatkanku tentang sosok almarhum Mbah Marijan, juru kunci gunung Merapi yang terkenal itu, ada sedikit kemiripan wajah. Tapi sama sekali tidak ada hubungan antara lelaki tua ini dengan Mbah Marijan, karena keduanya memang tidak saling mengenal.

Aku mulai mengenal lelaki 71 tahun ini pada tahun 1990 yang lalu, saat aku mulai bekerja sebagai pegawai negeri, kebetulan dia adalah pesuruh sekaligus penjaga kantor Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Tengah, instansi dimana pertama kali aku ditugaskan. Namanya cukup sederhana, Giman. Sesederhana orangnya. Lelaki yang usianya mulai merambat senja ini belum terlihat renta, dia masih kuat mendayung sepeda ontel tuanya untuk mengais rejeki di kebun miliknya yang tidak seberapa luas itu, dia masih kuat menanam ubi, pisang, beberapa jenis sayuran sambil merawat kebun kopinya. Selama lebih dari 25 tahun aku mengenalnya. Hampir semua sisi kehidupannya sudah kuketahui, karena memang dia sering “curhat” padaku, baik di kantor maupun di rumahku, aku sendiri sudang menganggap dia sebagai pamanku sendiri, sehingga aku memanggilnya Pak Lik.

Lalaki tua kelahiran Magetan, jawa Timur tahun 1944 yang lalu itu mulai menapakkan kakinya di bumi Serambi Mekkah pada tahun 1964 yang lalu, saat usianya baru menapak 20 tahun. Dia berangkat bersama puluhan temannya dari tanah Jawa untuk bekerja sebagai buruh kontrak perkebunan karet di daerah Singkil, waktu itu di daerah tersebut memang sangat banyak perusahaan yang membuka areal perkebunan karet. Tergiur iming-iming gaji yang lumayan, Giman muda yang hanya tamat Sekolah Rakyat inipun nekat meninggalkan kampung halamannya di daerah Magetan untuk merantau jauh ke ujung pulau Sumatera. Tapi kenyataan tak seindah yang dia bayangkan. Sesampainya di perkebunan karet di daerah Singkil yang waktu itu masih merupakan bagian dari kabupaten Aceh Selatan, diapun mulai bekerja sebagai buruh kontrak yang pekerjaannya mengurus tanaman karet yang baru ditanam. Mulai bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 4 sore, Giman hanya digaji sekedar cukup untuk makan sehari-hari, bahkan tidak jarang dia harus berutang ke warung yang ada sekitar tempatnya bekerja, hanya sehkedar untuk mengisi perutnya, karena upah yang dia terima terkadang tidak mencukupi kebutuhannya sehari-hari.

Hanya mampu bertahan selama 3 tahun sebagai buruh di perkebunan karet itu, kebetulan dia mendapat seorang kenalan yang berasal dari daerah Gayo Aceh Tengah, yang kemudian mengajaknya untuk “mengubah nasib” di Tanoh Gayo. Tanpa fikir panjang lagi, Giman menyambut ajakan kenalannya itu, melalui perjalanan darat dengan kondisi jalan yang sangat sulit selama dua hari dua malam, sampailan Giman di Takengon, yang waktu itu masih merupakan kota kecil yang sepi. Diapun “ditampung” di rumah kenalannya itu untuk membantu pekerjaan di kebunnya, tapi itu tidak berlangsung lama, karena kemudian kenalannya itu meninggal dunia akibat penyakit malaria yang “terbawa” dari Singkil.

Sepeninggal temannya itu, Giman seperti “anak ayam kehilanhan induknya”. Tak tau kemana harus mengadukan nasibnya. Tapi Giman bukanlah sosok yang mudah putus asa. Dia mulai menjalani pekerjaan serabutan mulai dari mencari kayu bakar di hutan untuk di jual, bekerja di kebun orang yang membutuhkan tenaganya, dan pekerjaan “kasar” lainnya. Yang penting dia bisa bertahan hidup, karena untuk kembali ke Jawa, dia sudah merasa malu. “Petualangan” Giman, sebatang kara mencari sesuap nasi, akhirnya mulai menemukan titik terang, sebuah keluarga keturunan Jawa yang sudah lama tinggal turun temurun di Tanah Gayo, kemudian “menampungnya” sebagai “anak angkat”. Melihat sosok Giman yang rajin itu, akhirnya  pada tahun 1969 dia dijodohkan dengan salah seorang anak dari orang tua angkatnya itu, dan mulailah Giman merasakan pahit getirnya kehidupan rumah tangga yang nyaris tanpa “modal” itu, beruntung mertuanya memberikan sepetak tanah untuk membangun rumah kecil bersama isterinya.

Setahun setelah menikah, lahirlah anak pertama mereka. Giman semakin merasakan beratnya beban rumah tangganya, karena dia belum juga mendapatkan pekerjaan tetap, karena dia memang hanya mengandalkan tenaganya saja, tapi dia tetap menjalani hidupnya yang “berat” itu dengan tabah. Sampai akhirnya dia mendapatkan sebuah pencerahan. Seorang pejabat daerah, Ir. Mahreje Saril, yang saat itu menjabat sebagai kepala Dinas Pertanian setempat akhirnya merekrut Giman menjadi pesuruh di kantornya, meski masih dengan status tenaga honorer tidak tetap. Dengan penghasilan yang “tidak pasti” itu, kemudian Giman mulai menjalani kehidupan sebagai orang “kantoran”, ya meski pekerjaanya hanya sekedar sebagai cleaning service sekaligus penjaga kantor.

Beruntung Giman masih menympan selembar ijazah Sekolah Rakyat yang dibawanya dari Jawa seagai “modal” merantau ke Aceh. Dengan modal ijazah itu akhirnya Giman terangkat juga sebagai pegawai negeri dengan golongan I/a, pangkat terendah di jajaran aparatur sipil, namu dia sangat bersyukur bisa jadi pegawai negeri yang punya gaji tetap mekipun sangat kecil. Hari demi hari dijalaninya sebagai petugas kebersihan, pesuruh dan penjaga kantor, sudah berkali-kali pimpinan di kantor itu berganti, namun Giman tetap etahan di kantor itu, karena dia memang tidak punya skill sama sekali, hanya mengandalkan tenaganya semata. Tapi satu hal yang membuatku salut, adalah kejujuran dan loyalitasnya terhadap pekerjaan. Terkadang dia diserahi tugas untuk menjaga gudang kantor yang berisi puluhan ton pupuk, namun tidak pernah terpikirkan dibenaknya untuk mengambil barang yang diamanahkan kepadanya, padahal kondisi ekonomi keluarganya sangat “memprihatinkan”, tapi dia tetap teguh dengan kejujurannya, bahkan ketika ada “oknum” yang berusaha membujuknya untuk ber”kolaborasi” jahat, dia tetap bergeming dengan pendiriannya.

Satu hal yang membuat orang-orang di kantor menyukainya, adalah kerajinannya dalam bekerja. Pagi buta dia sudah menyapi dan mengepel lantai kantor, kemudian dengan sepeda ontel tuanya dia mengantarkan surat-surat ke kantor pos atau kantor-kantor lainnya di lingkungan pemerintah kabupaten Aceh Tengah, setelah itu dia memegang cangkul untuk membersihkan lingkungan kantor. Rutinitas seperti itu dijalaninya selama puluhan tahun, sampai akhirnya tiba batas usia pensiunnya pada tahun 2000 yang lalu.

Meski sudah pensiun, tapi hubunganku dengan pak Giman terus berjalan seperti biasa, walaupun sudah tidak pernah lagi ketemu di kantor, tapi dia sering datang ke rumahku terutama pada hari minggu ketika aku libur kerja. Terkadang dia betah seharian di rumahku, bercerita tentang kesulitan hidupnya membiayai dua orang anaknya yang kuliah di Banda Aceh, dan tanpa diminta, akupun sering membantunya semampuku, itulah sebabnya dia begitu dekat denganku maupun keluargaku.

Kini memasuki masa tuanya, Giman masih terus bekerja untuk menutupi kebutuhan keluarganya, karena meskipun dua anaknya kini sudah meraih gelar sarjana dan sudah bekerja di instansi pemerintah, dia masih punya tanggungan seorang isteri dan dua anaknya yang tidak punya pekerjaan tetap. Sepetak kebun kopi dan sebidang tanah yang dibelinya beberapa tahun lalu, menjadi tumpuan hidup keluarganya.

Saat memasuki hari raya Idul Adha seperti saat  ini, aku jadi selalu ingat sosok lelaki tua ini. Aku kagum dengan semangatnya untuk ikut berqurban ersama kami, padahal aku tau dia bukanlah orang yang “mampu”. Awalnya, setiap kali ada pemotongan hewan Qurban di komplek tempat tinggalku, aku tidak pernah lupa menyisihkan setumpuk daging untuk keluarga pak Giman, karena dari segi ekonomi, keluarga Giman memang layak sebagai penerima daging qurban. Tidak jarang aku mengundang dia untuk menyaksikan pemotongan hewan Qurban di komplek tempat tinggalku. Dan ternyata itu membuatnya hatinya tergerak untuk ikut ikut berqurban, meski dia sadari itu cukup berat baginya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun